Ir. Soekarno sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia
Siapakah Ir. Soekarno?
Ir. Soekarno atau akrab dipanggil Bung Karno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur dengan nama kecilnya Kusno Sosrodihardjo dan wafat pada 21 Juni 1970 di Jakarta. Soekarno adalah seorang negarawan, orator, dan Presiden Indonesia pertama yang menjabat sejak tahun 1945 sampai 1967.
Soekarno menjabat sebagai presiden setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama wakilnya, Mohammad Hatta. Selain dikenal sebagai Bapak Proklamator, Soekarno dikenal juga sebagai pencetus Pancasila, dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.
Baca Juga: Mohammad Hatta: Sang Proklamator Kebanggaan Bangsa Indonesia
Soekarno adalah pemimpin perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari penjajah Belanda. Ia adalah pemimpin terkemuka gerakan nasionalis Indonesia selama masa kolonial dan menghabiskan lebih dari satu dekade di tahanan Belanda hingga dibebaskan oleh penjajah Jepang dalam Perang Dunia II.
Setelah Jepang menyerah, Soekarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Soekarno diangkat menjadi presiden.
Soekarno memimpin perlawanan Indonesia terhadap upaya penjajahan kembali Belanda melalui cara diplomatik dan militer hingga pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Oleh karena itu, ia diberi gelar "Bapak Proklamasi."
Baca Juga: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945: Pengertian, Sejarah, Naskah, dan Maknanya
Setelah Gerakan 30 September tahun 1965, jenderal militer Soeharto mengambil alih kendali negara dalam penggulingan pemerintah yang dipimpin Soekarno oleh militer yang didukung Barat. Pada tahun 1967, Soeharto resmi memangku jabatan presiden, menggantikan Soekarno, yang tetap berada dalam tahanan rumah hingga meninggal pada tahun 1970.
Putri sulungnya Megawati Soekarnoputri, yang lahir pada masa pemerintahan ayahnya pada tahun 1947, kemudian menjabat sebagai presiden kelima Indonesia dari tahun 2001 hingga 2004.
Biografi dan Perjuangannya
Soekarno adalah presiden pertama Republik Indonesia dan Bapak Proklamator Indonesia. Ia lahir pada 6 Juni 1901, dari rahim seorang ibu keturunan bangsawan dari Singaraja, Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo.
Soekemi menyematkan nama Kusno ditambah nama belakang dirinya kepada putranya (Salam 1982: 18). Sebelumnya, pasangan Soekemi dan Ida Ayu telah dikaruniai seorang putri bernama Soekarmini. Kusno kecil sering terserang sakit, seperti malaria dan disentri, sehingga Soekemi mengganti nama Kusno menjadi Soekarno.
Kelahiran Soekarno juga menandai suatu abad baru, yaitu 1901 yang merupakan awal abad ke-20. Lebih dari itu, abad ke-20 juga menjadi awal zaman baru sekaligus tonggak nasionalisme di kalangan penduduk Bumiputra, yang dimulai dari kaum intelektual (Niel 1970).
Masa Kecil
Masa kecil Soekarno dihabiskan di beberapa kota di Jawa Timur, mulai dari Surabaya, Jombang, hingga Mojokerto. Hal itu karena profesi sang ayah sebagai guru yang sering dipindahtugaskan, sehingga Soekarno pun ikut serta berpindah tempat tinggal.
Kota pertama yang disinggahi adalah Jombang. Saat berusia enam tahun, keluarga Soekemi hijrah ke Mojokerto. Persinggahannya di berbagai kota dikenang oleh Soekarno sebagai babak-babak baru yang mempengaruhi pemikiran dan kedewasaannya.
Mojokerto menjadi persinggahan yang berkesan justru karena keterbatasan yang dimiliki keluarga kecil Soekemi. Dengan gaji sekitar $ 25 per bulan, Soekemi harus menghidupi istri dan kedua anaknya (Palmier 1957: 101-119).
Keadaan serba terbatas tersebut sering kali membuat Soekarno termenung dan kadang-kadang menangis tersedu. Apalagi, ketika ia mendengar suara anak-anak yang bermain petasan saat lebaran. Dalam kondisi demikian, ibu yang memiliki kebesaran hati adalah kekuatan terbesar Soekarno.
Soekarno juga sangat menyukai sungai. Sungai adalah kawan terbaiknya saat kecil, karena ia dapat bermain di sana tanpa harus mengeluarkan biaya. Selain menyukai berbagai hal yang memiliki unsur air, Soekarno juga memiliki minat dan kecintaan yang tinggi terhadap seni. Hal itu telah muncul sejak ia masih kecil.
Pendidikan
Soekarno memulai pendidikan formal di Sekolah Angka Loro (Sekolah dasar kelas dua untuk anak-anak Bumiputra dengan lama pendidikan tiga tahun). Ketika itu, ayahnya sedang bertugas di Sidoarjo. Saat berusia 12 tahun, Soekarno disekolahkan di sekolah Kelas Satu.
Berkat kepandaiannya, Soekarno dipindahkan ke Europeese Lagere School (ELS). Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, Soekarno dikirim ke HBS di Surabaya. Soekarno tinggal di rumah sahabat ayahnya, yaitu Tjokroaminoto yang tidak lain adalah pemimpin Sarekat Islam (SI).
Tjokroaminoto tinggal bersama istri dan lima anaknya. Mereka tinggal di rumah depan, sementara Soekarno mendiami salah satu kamar di belakang yang disewakan (Adams 1986). Di Surabaya, Soekarno berkenalan dengan banyak pemimpin politik, antara lain Tjokroaminoto sendiri, Agus Salim, Sneevliet, Semaun, Musso, Alimin, dan Ki Hadjar Dewantara (Ricklefs 2005: 375).
Baca Juga: Henk Sneevliet: Tokoh yang Membawa Ideologi Komunis ke Indonesia
Pada 1918, Soekarno menjadi anggota gerakan Jong Java dan mulai menulis di surat kabar SI dan Oetoesan Hindia. Ia juga mulai menunjukkan kemampuan retorik yang mengesankan dalam rapat-rapat SI. Soekarno berhasil lulus dari HBS pada 1921 dan melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Sebelumnya, ia telah mempersunting Utari, putri Tjokroaminoto. Oleh karena usia Utari yang masih sangat muda, mereka terikat dalam sebuah ikatan perkawinan yang pernikahannya ditunda atau disebut kawin gantung (Ricklefs 2005: 376).
Setelah menamatkan sekolah di Surabaya, Soekarno hijrah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Technishe Hoogeschool (sekarang ITB). Bagi Soekarno, Bandung adalah “Gerbang ke Dunia Putih”. Pada Agustus 1921, Soekarno pernah kembali ke Surabaya ketika Tjokroaminoto ditangkap karena dituduh telah memberikan sumpah palsu.
Soekarno meninggalkan kuliah dan kembali untuk bekerja sebagai pegawai perusahaan kereta api di Surabaya. Tujuannya adalah untuk menjadi tulang punggung keluarga Tjokroaminoto. Ketika Tjokroaminoto dibebaskan, Soekarno kembali ke Bandung.
Di Bandung Soekarno bertemu dengan Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkususmo yang membuatnya sangat terkesan. Ia juga dekat dengan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga tokoh itu, dengan pemikiran yang tidak hanya berfokus pada kerangka Islam, namun juga nasionalisme dan marxisme, telah memberi pengaruh besar dalam pemikiran Soekarno.
Pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI)
Pada 1925, Soekarno mendirikan kelompok studi bernama Algemeene Studie Club (ASC). Pendirian ASC terinspirasi dari Studi Club yang didirikan oleh dr. Sutomo di Surabaya. Di tengah-tengah dilema antara menjadi pegawai pada dinas pemerintah atau bergerak di bidang politik, Soekarno menerbitkan artikel-artikel yang berisi imbauan agar Islam, marxisme, dan nasionalisme semestinya bersatu untuk kemerdekaan.
Baca Juga: Pengertian Nasionalisme, Unsur, Ciri, Tujuan, Bentuk, dan Contohnya
Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar Indonesia Moeda yang diterbitkan oleh ASC. Soekarno menulis artikel bertajuk “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang terbit dalam tiga nomor berturut-turut. Ia menyerukan kerjasama yang erat di antara tiga golongan tersebut (Prabowo, t.t.: 28).
Dengan berdasar pada pemikiran bahwa tidak ada perbedaan yang berarti dari ideologi-ideologi tersebut, terlebih karena kekuatan-kekuatan seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI yang sedikit melemah, Soekarno telah menetapkan pilihan karier politik.
Pilihan itu sekaligus menandai zaman baru bagi nasionalisme Indonesia, karena ia ikut membidani pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI).
Masa Pengasingan
Oleh karena pergerakan politik yang dilakukan sangat radikal, maka dalam kurun waktu 1930-1942 Soekarno beberapa kali keluar masuk penjara, bahkan pengasingan seperti di Flores dan Bengkulu. Selama Soekarno dipenjara sampai 1931, PNI telah membubarkan diri karena pemerintah kolonial Belanda menetapkan PNI sebagai partai terlarang.
Tidak lama kemudian, berdiri dua partai baru, yaitu Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Mr. Sartono dan PNI Baru pimpinan Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir. Pada 1932, setelah dibebaskan dari penjara, Soekarno bergabung dengan Partindo dan mengusahakan fusi antara Partindo dan PNI Baru.
Sebelumnya, Soekarno telah menerbitkan koran baru bernama Pikiran Ra’jat. Namun, pada 28 Maret 1933, Soekarno harus menerima surat pengasingan dari Pemerintah Kolonial Belanda atas kegiatan yang dianggap pembangkangan. Soekarno diasingkan ke Ende di Nusa Tenggara Timur.
Pada Februari 1938, Soekarno dipindahkan ke Bengkulu (Prabowo, t.t.: 31). Di tempat pengasingan inilah Soekarno bertemu dengan Fatmawati. Mereka saling jatuh cinta dan menikah pada 1943, setelah Soekarno menceraikan Inggit Garnasih.
Dalam sebuah pengadilan di Bandung sebelum diasingkan, Soekarno membacakan pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat” (Soekarno 1951). Dalam pidato tersebut Soekarno menyatakan bahwa kelompok elite intelektual bangsa Indonesia telah menyadari jika di kemudian hari Indonesia akan turut mendapatkan pengaruh dari benturan yang terjadi di antara negara-negara adikuasa di Pasifik Barat (Goto 1998: 293).
Pidato Soekarno terbukti ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia pada 1942 dan pada tahun itu juga Soekarno dibebaskan dari hukuman pembuangan. Pada awal masa pendudukan Jepang, Soekarno bersama dengan Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H.M. Mansur mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) (historia.id, 2018).
Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan Empat Serangkai, dan pada akhir 1943 PUTERA dibubarkan.
Perumusan Dasar Negara
Pada sidang pertama BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan gagasan dan konsep tentang dasar negara yang disebut Pancasila yang disetujui oleh forum rapat BPUPKI. Dalam rapat tersebut juga disepakati Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi Indonesia.
Baca Juga: Pengertian BPUPKI, Sejarah, Anggota, Tujuan, Tugas, dan Sidang BPUPKI
Pada 9-14 Agustus 1945, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diundang oleh Marsekal Terauchi ke Dalat, Saigon, Vietnam. Usai pertemuan tersebut, Soekarno menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak perlu menunggu “jagung berbuah”.
Sebagai salah seorang pendiri bangsa dan presiden pertama Indonesia, Soekarno secara konsisten melestarikan nilai-nilai nasionalisme dalam pembangunan karakter bangsa. Masalah nasionalisme tidak berhenti dan tidak selesai setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Pada 1948 di Yogyakarta, Soekarno menegaskan bahwa dalam kemerdekaan Indonesia, nasionalisme adalah perekat yang menyatukan rakyat dalam mencapai cita-cita kemerdekaan, yaitu: tidak memihak, makmur, dan masyarakat terhormat berdasar ideologi Pancasila (Soekarno 1965).
Hal itu wajar karena apa yang disebut sebagai negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebenarnya merupakan hasil dari proses sejarah yang panjang yang melibatkan berbagai elemen sosial di Nusantara (Frank 1998: 97-98).
Sejak diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, Soekarno tidak lagi berperan sebagai Kepala Pemerintahan, melainkan hanya sebagai Kepala Negara. Jadi secara konstitusional, wewenang Soekarno sebagai presiden telah dibatasi. Namun demikian, sampai dengan Pemilu 1955, pemerintahan Indonesia masih mencari dasar yang kokoh bagi demokrasi parlementer karena persoalan politik, ekonomi, dan ancaman disintegrasi.
Pada 1956, Soekarno sebagai Kepala Negara melakukan kunjungan ke beberapa negara antara lain untuk mencari dukungan atas penyelesaian persoalan Irian Barat. Namun, setelah kembali ke Indonesia, Soekarno justru menghadapi ancaman disintegrasi akibat gerakan separatisme, perpecahan politik, ketidakmampuan Badan Konstituante (hasil Pemilu 1955) dalam menyusun konstitusi, serta perdebatan seputar kebudayaan nasional yang tidak kunjung menemukan titik temu.
Berdasar pada persoalan-persoalan tersebut, Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin (Giebels 2015: 338). Hal itu didasarkan kondisi objektif bahwa dengan sistem demokrasi liberal, bangsa Indonesia berada dalam situasi konflik yang sangat keras, yang mengancam integrasi nasional.
Baca Juga: Demokrasi Terpimpin: Sejarah, Tujuan, Ciri, dan Dampaknya
Pada 21 Februari 1957 Soekarno mengumumkan konsepsinya mengenai Demokrasi Terpimpin dan disaksikan oleh sekitar 900 tamu. Ia membagikan refleksi sementara mengenai Demokrasi Terpimpin di Istana Negara Jakarta yang juga disaksikan oleh ribuan orang di Lapangan Merdeka. Pidato dilaksanakan pada pukul delapan malam dengan harapan disaksikan oleh para elite bangsa.
Soekarno konsisten menempuh jalan yang mengarah pada penerapan “Demokrasi Terpimpin” dengan melibatkan partai politik dari semua aliran, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Pelibatan PKI itulah yang kemudian menimbulkan keberatan dari partai politik berideologi Islam seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Soekarno juga harus menghadapi reaksi keras negara-negara Barat. Meskipun demikian, dengan maksud untuk mengonsolidasikan seluruh kekuatan, pada 17 Agustus 1957 Soekarno menyinggung tentang konsepsi Demokrasi Terpimpin dan menyebut 1957 sebagai “tahun keputusan” (Giebels 2015: 378).
Pada 19 Juni 1959 Soekarno kembali ke Indonesia dari kunjungannya ke luar negeri. Kedatangan Soekarno di Bandara Kemayoran disambut oleh para anggota kabinet dengan pengawalan ketat. Pada saat itu, Soekarno menyampaikan bahwa beberapa hari ke depan ia akan mengumumkan pernyataan penting.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pada 2-3 Juli, Soekarno melanjutkan tugas kepresidenannya dan menyatakan akan memulihkan konstitusi 1945. Pada 5 Juli 1959, Soekarno membacakan Dekrit Presiden yang kemudian dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Beberapa poin penting dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara lain pembubaran Dewan Konstituante dan mengembalikan konstitusi Indonesia pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Baca Juga: Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Isi, Latar Belakang, dan Kronologi Sejarahnya
Pada 6 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda mengajukan pengunduran diri yang juga menandai penerapan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana amanat UUD 1945 (Giebels 2015: 412-413).
Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin yang sekaligus juga mengembalikan fungsinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan telah menjadi momentum bagi Soekarno untuk fokus mengembangkan pembangunan karakter bangsa.
Bagi Soekarno, nasionalisme juga harus berlandaskan rasa saling menghormati dan anti-imperialisme, sehingga terbangun peradaban baru yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kerjasama. Dalam konteks ini, Soekarno berperan aktif dalam mensinergikan kekuatan nasionalisme bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara Asia dan Afrika.
Konferensi ini telah berhasil meningkatkan saling pengertian dan kesadaran di antara para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika. KAA bahkan menjadi momen yang tepat untuk menyelenggarakan acara-acara terkait yang lebih operasional seperti Konferensi Jurnalis Asia Afrika, Konferensi Pemuda Asia Afrika, Konferensi Perempuan Asia Afrika, dan lain-lain.
Soekarno telah secara konsisten mempertahankan paham nasionalisme dan anti imperialisme dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Contoh konsistensi Soekarno adalah ketika ia menanggapi polemik kebudayaan yang terjadi selama masa Demokrasi Liberal.
Berbagai polemik yang terjadi seputar kebudayaan selama hampir satu dasawarsa karena perdebatan menyangkut etnisitas, otentisitas, dan ancaman kebudayaan Barat, menurut Soekarno adalah akibat dari penerapan aturan asing yang tidak cocok untuk Indonesia. Oleh sebab itu, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kebijakan budaya tentang “identitas nasional” didominasi oleh gagasan Soekarno berlandaskan pada nasionalisme (Jones 2015: 110).
Manifesto Politik (Manipol)
Pada peringatan Hari Kemerdekaan 1959, Soekarno menyampaikan pidato berisi program umum pemerintah yang disebut dengan Manifesto Politik (Manipol) oleh Dewan Pertimbangan Agung (Jones 2015: 97). Manifesto Politik merupakan dokumen bersejarah yang menjelaskan program pokok dan program umum Revolusi secara menyeluruh (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, 1961: 77).
Baca Juga: Manipol USDEK: Sejarah, Latar Belakang, Tujuan, dan Isi Pentingnya
Manifesto Politik Republik Indonesia ini kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara yang bersisi; (1) Undang-undang Dasar 1945; (2) Sosialisme Indonesia; (3) Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin (5) Kepribadian Indonesia, untuk selanjutnya disebut USDEK (Soyomukti 2010: 153).
Masa Demokrasi Terpimpin menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk membentuk kepribadian bangsa dan menolak kolonialisme dalam bentuk apapun (Minggu Pagi 1963: II). Soekarno memulainya dengan kebijakan nasional antikolonialisme dan antiimperialisme.
Pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun 1963, Soekarno menyampaikan pidato berjudul "Suara Gema Revolusi Indonesia" yang menekankan pentingnya pembangunan karakter bangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan: masyarakat yang makmur, tidak memihak, dan sejahtera dalam bingkai persatuan dan kebersamaan.
Soekarno mengusung semboyan politik yang dikenal dengan Trisakti Revolusi Indonesia, yaitu (1) kedaulatan dalam politik, (2) kemandirian dalam ekonomi, dan (3) kepribadian bangsa dalam budaya.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis, Soekarno menciptakan berbagai program, seperti “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri) yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor.
Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi industri anak bangsa dari tekanan kekuatan asing, serta nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Kemandirian tersebut tidak hanya terbatas dalam bidang ekonomi, tetapi juga politik.
Oleh karena itu pada era Soekarno nasionalisme dijadikan dasar untuk membangun dan memperkokoh integrasi politik nasional sebagaimana tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan separatis dan perjuangan yang gigih untuk mengembalikan Irian Barat dalam NKRI.
Nekolim
Soekarno adalah juga seorang pemimpin yang memiliki pemikiran global. Pemikiran-pemikiran Soekarno dimanifestasikan terutama melalui pidato dalam forum-forum internasional pada awal 1960-an. Dalam konteks pandangan tentang dunia, Soekarno tetap konsisten atau sama dengan ketika memulai gerakan politiknya pada 1920-an hingga 1930-an, yaitu anti-imperialisme.
Anti-imperialisme Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin masih tetap sama dengan istilah yang berbeda, yaitu neo-kolonialisme, kolonialisme, dan impeliarialisme atau disingkat Nekolim. Nekolim adalah versi 1960-an dari anti-imperialisme yang telah dirancang pada 1930-an di mana pemerintah kolonial Belanda memerintah secara langsung.
Adapun Nekolim pada 1960-an berfokus pada imperialisme gaya baru yang berbentuk dominasi ekonomi di bawah pengaruh Barat. Versi lain dari pandangan yang sama mengenai kolonialisme adalah konsep pertarungan antara kekuatan baru yang muncul dan kekuatan lama yang mapan.
Soekarno memiliki pandangan yang visioner terhadap perdamaian dunia yang bebas dari semua bentuk penjajahan. Dalam hal ini berarti negara-negara Asia dan Africa memiliki kedudukan yang sama dengan negara-negara Barat yang dianggap lebih maju.
Guna membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat sehingga dapat diperhitungkan di dunia, Soekarno membangun fasilitas yang megah untuk penyelenggaraan Asian Games 1964 di mana Indonesia menjadi tuan rumah. Perhelatan Asian Games yang dipusatkan di Senayan Jakarta ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang kuat (Legge 2012: 329-330).
Peristiwa G30S
Awal 1960-an barangkali adalah titik balik seluruh konsepsi Soekarno yang sebenarnya sudah terbentuk sejak awal masa-masa pergerakan. Namun, pada 1965, Soekarno harus menghadapi permasalahan yang sangat kompleks mulai dari politik hingga ekonomi.
Pada awal 1965, Soekarno mengumumkan keputusan yang sangat kontroversial ketika menyatakan bahwa Indonesia menarik diri dari PBB. Keputusan itu diambil berkaitan dengan perebutan Irian Barat serta konfrontasi terhadap Malaysia.
Krisis memuncak pada 1965 yang berakibat pada tertundanya reformasi ekonomi akibat inflasi serta pinjaman besar untuk keperluan militer. Pada masa-masa itu pula desas-desus tentang kesehatan Soekarno yang mulai menurun akibat penyakit ginjal terus menyebar.
Di tengah kondisi kesehatannya yang terus menurun dan ancaman pengadilan atas tuduhan keterlibatan dalam G30S, Soekarno terus berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam ruang terbatas, Soekarno tidak mengutuk PKI yang dituduh menjadi dalang terbunuhnya tujuh jenderal.
Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Peristiwa G30S/PKI
Ia tidak menyangkal konsensus komunisme yang telah dicari sejak masa ketika ia memulai pergerakan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Soekarno wafat pada 21 Juni 1970 di RSPAD Gatot Subroto karena gagal ginjal dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di samping makam ibundanya.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://esi.kemdikbud.go.id
dan sumber lain yang relevan
Post a Comment