Musso Tokoh Dibalik Peristiwa Madiun 1948
Riwayat Singkat Musso
Musso memiliki nama lengkap Munawar Musso. Lahir pada 1897, di Pegu, Kediri. Musso adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan salah satu tokoh kunci dalam pemberontakan Madiun 1948.
Baca Juga: Pemberontakan PKI Madiun 1948: Sejarah, Latar Belakang, Kronologis, Tujuan, dan Tokohnya
Ada yang menyebut jika tokoh PKI kelahiran Kediri ini merupakan anak dari seorang pegawai kantoran bernama Mas Martoredjo. Namun fakta lain terungkap bahwa ternyata Musso adalah anak dari seorang kiai besar di Kecamatan Pagu, Kediri, Jawa Timur yakni KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo.
Sosok yang sering dibicarakan orang ini memiliki bertubuh gempal. Ia pandai berbicara di hadapan massa, dan dikenal sebagai pribadi yang pintar. Dididik di sekolah guru di Jakarta, ia dikenal pula sebagai organisatoris dan penulis politik.
Sesama "pejuang" yang militan, Musso menjalin ikatan persahabatan dengan Alimin. Ia juga tercatat dekat dengan Tjokroaminoto. Pernah indekos di rumahnya bersama Sukarno dan Kartosoewirjo. Meski di hari kemudian ketiganya berpisah jalan.
Sejak awal Musso dikenal seorang yang keras. Beberapa menilai dirinya sebagai pribadi yang penuh dengan kontroversi. Ia terlibat ketika pembangkangan Afdeling B meledak di Cimareme Garut tahun 1919.
Baca Juga: Peristiwa Cimareme: Sejarah Perlawanan Rakyat Garut dan Keterlibatan Sarekat Islam Afdeling B
Musso juga turut berperan dalam mengupayakan pemberontakan 1926. Beberapa sumber mencatat bahwa Musso merupakan salah satu tokoh yang paling gigih menyokong rencana pemberontakan 1926 tersebut.
Pemberontakan berhasil ditumpas. Ribuan orang menjadi korban keganasan penguasa kolonial. Namun Musso terus bergerak untuk memaksimalkan politik kesetaraan yang sudah dipendamnya sedari lampau.
Bersama Amir Syarifuddin, ia berkeliling. Berupaya menggaet dukungan rakyat. Selain itu, Musso juga tercatat sebagai pengikut Afdeling B, atau Sarekat Islam kedua.
Baca Juga: Sejarah Sarekat Islam (SI): Tujuan, Tokoh Penting, dan Sejarah Perkembangannya
Perlawanan terhadap Kolonial Belanda
Bermula pada 25 November 1925. Saat itu, Konferensi Prambanan telah menghasilkan sejumlah keputusan. Bahwa pemberontakan harus dilakukan bulan di Juni 1926.
Lainnya, lebih dulu dibentuk Comite Pemberontak yang mengemban tugas dalam melancarkan serangan: 1) mengumpulkan senjata; 2) mengumpulkan uang; dan 3) mengadakan pertemuan-pertemuan.
Bersama Alimin, Musso diutus untuk berangkat ke Moskow. Keduanya berencana memberi tahu upaya pemberontakan kepada Komintern. Namun semua tak sesuai kehendak sebagaimana di awal keberangkatan.
Koesalah Soebagyo Toer, dalam Tanah Merah yang Merah (2010, hlm. 3), menuliskan bahwa apa yang kelak disampaikan keduanya mendapat celaan dari Stalin. Bahkan yang bersangkutan meminta upaya pemberontakan tersebut dibatalkan. Stalin ragu akan kesiapan mereka.
Sayang pemberontakan meledak sebelum Musso dan Alimin pulang dari Moskow. Bermula di Batavia 12 November 1926. Saat itu, pemberontakan ditandai dengan penyerbuan Penjara Glodok. Menduduki kantor-kantor pemerintahan. Memutuskan hubungan telepon.
Tidak sedikit rumah pegawai pemerintah Hindia Belanda yang diserbu dan dibakar. Sementara waktu berjalan. Pemberontakan kemudian menjalar ke beberapa wilayah lainnya, seperti Banten, Surakarta, Kediri, dan Sumatera Barat. Sekurangnya hingga 14 November, pemberontakan baru bisa dipadamkan.
Pemerintah melakukan penangkapan-penangkapan dengan semboyan "lebih baik salah tangkap seribu orang daripada lolos seorang". Setidaknya ada 13.000 orang ditangkap, sebanyak 5.000 orang di antaranya mendapat hukuman ringan. Sebagian pemberontak dihukum mati. Sebagian lagi dibuang (2010, hlm. 6).
Tetapi Musso lolos dari tangkapan Pemerintah Hindia Belanda. Ia kemudian berangkat ke Moskow. Menenggak banyak ilmu dan hikmah di sebuah negeri yang berjuluk Tirai Besi.
Meski disangsikan grup Tan Malaka, namun beredar informasi bahwa Musso menyelusup kembali ke Hindia Belanda secara sembunyi pada tahun 1935. Di dalam periode ini, jika mengikuti analisa Soe Hok Gie, Musso merupakan sosok yang meng-Komunis-kan Amir Sjarifuddin dan Tan Ling Djie.
Musso tinggal di Surabaya selama beberapa bulan. Ia dikabarkan membentuk grup-grup baru yang kelak dikenal sebagai PKI Muda atau PKI Angkatan 35. Tetapi, dalam perjalanannya, kenyataan yang dihadapi PKI 35 begitu sulit. Mereka terbongkar oleh jaring-jaring PID (Politieke Inlichtingendienst, dinas intelijen). Dan sebagian dibuang ke Boven Digoel.
Namun lagi-lagi Musso lolos dari tangkapan. Bahkan dua tahun sebelum itu, menurut penelusuran Arief Djati, sekitar April 1933 Musso dikabarkan hadir di Belanda. Dia tampak dalam sebuah rapat anti Fasis dan disambut dengan hangat di sana.
Musso berpidato dan mengisahkan perlawanan kaum buruh dan tani di Indonesia melawan kapitalis Belanda yang merendahkan martabat kemanusiaan. Karena itu, menurutnya, perjuangan melawan kapitalisme Belanda harus dilakukan secara bersama-sama.
Akhir Kehidupan, Tewas di Tangan Tentara Republik
Pada 11 Agustus 1948, Musso datang kembali bersama Soeripno, seorang Duta Besar RI di Praha, Cekoslowakia. Dan lagi, sembunyi-sembunyi ia datang. Musso menyamar sebagai sekretaris Soeripno. Tetapi semua diketahui usai keduanya menemui Presiden Sukarno.
"Begitu mereka (Sukarno dan Musso) bertemu, mereka berpelukan karena sebenarnya mereka telah saling mengenal berpuluh tahun lalu," tulis Soe Hok Gie (1997, hlm. 217).
Seorang wartawan yang menyaksikan pertemuan itu menulis, seperti yang dikutip Soe Hok Gie sebagai berikut:
"Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka menggambarkan kegembiraan itu. Sesudah penyambutan selesai, barulah Bung Karno berkata: 'Lho, kok masih awet muda?' Jawab Pak Musso: 'O, ya. Tentu saja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda'."
Ia datang menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ketiga. Dan Belanda masih ada dimana-mana. Lebih menyedihkan lagi, Republik ini terpaksa harus menelan "kekalahan" di semua medan perang dan meja perundingan. Dengan kata lainnya, Republik hanya menguasai sedikit wilayah pedalaman.
"Bantulah kami memperkuat negara melancarkan revolusi," kata Bung Karno kepada Musso, yang lantas segera menjawab, "itu memang kewajibanku. Ik kom hier om orde te scheppen (aku datang untuk membereskan)".
Setelah bertemu Bung Karno, Musso membeberkan usulan pada Partai Komunis Indonesia. Dengan bernas ia mengoreksi beberapa kesalahan-kesalahan prinsipil partai yang dinilai telah melenceng. Jauh dari gagasan Marxisme-Leninisme yang sudah direngkuhnya. Kelak, otokritik tersebut terangkum dalam risalah bertajuk Jalan Baru untuk Republik Indonesia.
Seiring waktu berjalan, hubungan antara ia dan Sukarno menjadi renggang. Setelah menjalani berbagai aktivitas di hari-hari yang padat, Musso melancarkan pemberontakan yang menurutnya, terlalu bertele-tele jika dipimpin kaum borjuis nasional. Ia juga menuding Presiden Sukarno – yang tak lain sahabat lamanya – telah menjual rakyat untuk Romusha di zaman Jepang.
Dan Sukarno-Hatta dianggap telah menjual wilayah pada Imperialis Amerika. Kelak, pernyataannya dianggap pelatuk peristiwa yang dikenal secara umum dengan nama "Pemberontakan Madiun". Suatu hal yang terangkum dalam satu pidato Bung Karno yang dikutip Harry Poeze di Madiun Bergerak (2011, hlm. 181) sebagai berikut:
“Negara Republik Indonesia yang kita cintai, hendak direbut PKI Musso [...] bantulah pemerintah, bantulah alat pemerintah dengan sepenuh tenaga, untuk memberantas semua pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah yang bersangkutan."
Narasi resmi ini segera dibantah kelompok kiri. Pihak PKI beranggapan jika hal itu bukanlah suatu kup. Melainkan provokasi pemerintah yang tidak mampu (serta tidak mau) bertindak untuk meredakan pertentangan di daerah. Ketegangan Solo dinilai menjadi pemicu awal.
Ketegangan itu bergulir pada pembunuhan Kolonel Sutarto, penculikan terhadap anggota PKI bernama Slamet Widjaja dan Pardijo, penculikan dan pembunuhan atas lima orang perwira TNI, penculikan Letnan Kolonel Suharman, pembunuhan terhadap buruh Kereta Api di Madiun, dan penganiayaan terhadap buruh kantor Balai Kota Madiun.
Secara mendasar, PKI menilai jika ketegangan itu didasari upaya menyingkirkan elemen-elemen kerakyatan di tubuh militer. Wujudnya sebagaimana tertuang dalam rasionalisasi. Aidit, senada dengan pernyataan PKI yang dipimpinnya, juga beranggapan bahwa Peristiwa Madiun itu erat kaitannya dengan Peristiwa di Solo. Saat itu, tewasnya Komandan TNI Divisi IV, Kolonel Sutarto diduga karena ia termasuk salah seorang perwira tinggi yang tidak menyetujui rasionalisasi.
"Dalam hubungan dengan provokasi Madiun saya merasa perlu mengemukakan beberapa kejadian di Solo, karena, sebagaimana antara lain dikatakan dalam pidato Presiden Sukarno tanggal 19 September 1948, bahwa peristiwa Solo dan peristiwa Madiun tidak berdiri sendiri, melainkan adalah suatu rangkaian tindakan," tulis Aidit dalam Menggugat Peristiwa Madiun, yang memuat pembelaan dirinya dengan advokat, Mr Suprapto, di muka Sidang Pengadilan Negeri Jakarta, tanggal 24 Februari 1955.
Dengan terang-terangan Aidit menuding pemerintah – dalam hal ini, Hatta – telah melakukan provokasi. Semua ini dikaitkan dengan rencana AS di Perang Dingin dalam wujud "red drive proposal" yang berupa konsep untuk membasmi kelompok kiri. Namun, meski pembelaan Aidit tampak masuk akal, rupanya sejumlah ahli cukup skeptis akan pernyataan PKI.
Asvi Adam Warman salah satunya. Dalam esai bertajuk Hatta Kambing Hitam Madiun, ia mengajukan beberapa pertanyaan penting. Apakah program rasionalisasi tentara yang dilakukan Hatta menjadi satu-satunya – bahkan penyebab utama – Peristiwa Madiun? Menjadi pertanyaan pula kenapa hanya Hatta yang dituduh, dan tidak dengan Sukarno?
Wilson, seorang peneliti Sejarah, dalam sebuah catatan diskusi buku Madiun Affair 1948 karya pelaku sejarah, Soemarsono, turut mengajukan sebuah kritik sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun 1948 yang ditulis oleh D. N. Aidit. Menurutnya, mengapa tidak melibatkan Soemarsono, Gubernur Militer yang dianggap memimpin ”pemberontakan” tapi lolos dari eksekusi ilegal yang dilakukan oleh Kolonel Gatot Subroto. Bukankah saat itu dia segar bugar dan PKI sedang tumbuh berkembang menjadi partai besar?
Yang jelas, sejarah akhirnya mencatat Musso sebagai pesakitan yang kalah. Musso tewas ditembak pada 31 Oktober 1948. Kedatangannya ke Jawa berbuah petaka. Ia kehilangan nyawa satu-satunya. Sejumlah analis memiliki tafsir beragam akan tewasnya pejuang radikal tersebut.
"Sikap 'tukang berkelahinya' yang terlalu kaku, barangkali ikut menggagalkan rencana-rencananya," tulis Soe Hok Gie (1997, hlm. 220).
Sementara Jendral Simatupang merefleksikan Peristiwa Madiun dalam memoirnya yang bertajuk Laporan dari Banaran. Dengan nada getir ia menulis:
“Saya yakin bahwa do’a yang terakhir dari anak-anak itu (prajurit dan pemuda yang terlibat dalam Madiun Affair) semua adalah untuk kebahagiaan dan kebesaran tanah air yang satu juga.”
Demikianlah Musso. Ia tewas dalam situasi yang terjadi di tengah badai revolusi. Tetapi, kontroversi mengenai Musso tidak berhenti di sini. Usai tewas, keributan mengenai dirinya masih menjadi perdebatan.
Sejumlah kalangan menyebut ia tewas sesaat berusaha melarikan diri dari penangkapan tentara, dan bersembunyi di dalam rumah salah satu warga di daerah Semanding, Ponorogo, Jawa Timur. Musso tewas saat mencoba melawan tentara dengan menembak balik, dan akhirnya ia tertembak di dekat sumur rumah warga tersebut.
Sementara versi lain menyebut jika Musso melarikan diri menggunakan mobil, lalu berganti andong karena mobilnya mogok di sekitar Ponorogo. Ia lantas berusaha melarikan diri, lalu kemudian terjadi tembak-menembak, dan Musso tewas dalam baku tembak tersebut.
Arief Djati, merujuk dari arsip kolonial, menyebutkan jika Polisi Balong, Madiun, saat itu mendapati dua orang berpakaian warok, baju hitam-hitam dengan berkalungkan sarung. Saat hendak ditangkap, salah satu di antaranya mengeluarkan pistol dan menembak petugas, dan kemudian mengambil alih andong yang kebetulan ada di situ, dari kusirnya. Andong tersebut lalu dikejar dan akhirnya di pertigaan Ngumpul daerah Ponorogo, andong itu berpapasan dengan mobil yang menuju arah berlawanan, dan dokar itu tertabrak.
Musso berusaha lari, dan dikejar tentara, tetapi kemudian ia tewas dalam tertembak stendgun tentara. Jenazahnya kemudian dibawa ke regent Madiun untuk memastikan bahwa jenazah itu benar-benar Musso. Setelah diidentifikasi dan diyakinkan bahwa jenazah itu adalah benar Musso, jenazah dibawa ke alun-alun dan kemudian – menurut arsip Kolonial Belanda – dimusnahkan karena ada kekhawatiran jika dikubur, kelak makamnya akan dikultuskan.
Ada pun sumber lain menyebut bahwa jenazahnya dibakar karena ada kekhawatiran dia akan bisa "hidup" lagi. Suatu hal yang sulit diterima akal. Namun yang jelas, begitulah akhir cerita Musso.
Ia merupakan seorang pembangkang yang memiliki hati dingin tak tergoyahkan. Sebuah percampuran antara kekeraskepalaan yang muncul dari keyakinan, dan keberanian yang datang dari kepercayaan bahwa ia sedang melakukan hal benar.
Narasi tentangnya acapkali diselubungi kabut kontroversi. Atribusinya yang hingga kini begitu lekat di benak publik hanyalah seorang pemberontak. Dan yang pasti, seperti juga Amir Syarifuddin, Musso terseret arus revolusi yang memakan anaknya sendiri.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Musso
https://bandungbergerak.id
https://www.bbc.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment