Kedaulatan Pangan: Pengertian, Sejarah, Pilar, Mekanisme, dan Kebangkitan Perjuangan Pangan
Table of Contents
Kedaulatan Pangan |
Pengertian Kedaulatan Pangan
Kedaulatan Pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.Kedaulatan pangan dapat berwujud penerapan kebijakan proteksionis oleh suatu wilayah tertentu dan ditujukan untuk membela kepentingan produsen pertanian lokal, serta swakelola pangan mereka. Setiap wilayah, menurut teori kedaulatan pangan, harus memiliki kekuatan yang cukup untuk menetapkan sendiri garis politik mengenai bidang pertanian dan pangan.
Asal usul jenis kebijakan ini didasarkan pada gerakan masyarakat sipil yang lebih dekat dengan gerakan perlindungan lingkungan. Meskipun juga masyarakat yang membela kaum tani dan lingkungan pertanian setempat. Secara khusus, ia lahir pada tahun sembilan puluhan oleh tangan Via Campesina. Khususnya dalam rangka World Food Summit of the Food and Agriculture Organization (FAO).
Tren ekonomi ini terkait erat dengan fenomena seperti ekonomi sosial, ekonomi sirkular atau ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Dalam pengertian ini, perawatan dan perlindungan lingkungan adalah dasar dari teori ini.
Sejarah Kedaulatan Pangan
Gerakan kedaulatan pangan ini diluncurkan pada World Food Summit 1996 oleh La Via Campesina. Forum Nyéléni untuk Kedaulatan Pangan 2007 di Mali, dengan 700 delegasi dari lima benua, mengklarifikasi implikasi ekonomi, sosial, ekologi, dan politik dari gerakan tersebut dan menciptakan proses internasional untuk mencapai pengakuan hak atas kedaulatan pangan.La Via Campesina didirikan oleh petani dari empat benua di Belgia pada tahun 1993. Ini adalah gerakan internasional petani, produsen kecil dan menengah, masyarakat adat, orang-orang tak bertanah, perempuan pedesaan, pemuda pedesaan, dan pekerja pertanian.
Gerakan ini adalah gerakan otonom, pluralis, dan multikultural, independen dari afiliasi politik atau ekonomi apa pun. Saat ini, La Via Campesina mewakili sekitar 200 juta petani melalui lebih dari 180 organisasi di 81 negara.
Pilar Kedaulatan Pangan
Gerakan kedaulatan pangan internasional telah mengembangkan tujuh prinsip yang menentukan kedaulatannya, di antaranya, 1. Fokus pada Pangan untuk Rakyat
Kedaulatan pangan menempatkan hak atas pangan yang cukup, sehat, dan sesuai secara budaya untuk semua di pusat kebijakan pangan, pertanian, peternakan, dan perikanan. Ini menolak proposisi bahwa makanan hanyalah komoditas atau komponen lain untuk agribisnis internasional.
2. Nilai Penyedia Pangan
Kedaulatan pangan menghargai dan mendukung kontribusi dan hak semua orang yang menanam, memanen, dan mengolah pangan, meliputi perempuan, petani, dan keluarga tani skala kecil, penggembala, nelayan tradisional, penghuni hutan, pendatang, masyarakat adat, dan pekerja. Ia menolak kebijakan, tindakan, dan program yang mengancam mata pencaharian mereka, meremehkan mereka, atau berusaha menghilangkannya.
3. Lokalisasi Sistem Pangan
Kedaulatan pangan mendekatkan penyedia pangan dan konsumen; menempatkan penyedia dan konsumen sebagai pusat pengambilan keputusan; melindungi penyedia dari pembuangan makanan dan bantuan makanan di pasar lokal; melindungi konsumen dari makanan yang berkualitas buruk dan tidak sehat, bantuan makanan yang tidak tepat, dan makanan yang tercemar organisme hasil rekayasa genetika; dan menolak kebijakan dan praktik yang bergantung pada dan mempromosikan perdagangan yang tidak berkelanjutan dan tidak adil, memberikan kekuatan kepada perusahaan terpencil dan tidak bertanggung jawab.
4. Menempatkan Kontrol Secara Lokal
Kedaulatan pangan menempatkan kontrol atas wilayah, tanah, penggembalaan, air, benih, ternak, dan populasi ikan ke tangan penyedia makanan lokal, dan menegaskan hak mereka untuk menggunakan dan berbagi sumber daya ini dengan cara yang berkelanjutan secara sosial dan lingkungan.
Kedaulatan pangan mengakui bahwa wilayah lokal seringkali melintasi batas geopolitik dan menjamin hak masyarakat lokal untuk mendiami dan menggunakan wilayah mereka; mempromosikan interaksi positif antara penyedia makanan yang beragam secara geografis untuk menyelesaikan konflik; dan menolak privatisasi sumber daya alam.
5. Membangun Pengetahuan dan Keterampilan
Kedaulatan pangan dibangun di atas keterampilan dan pengetahuan lokal penyedia pangan yang melestarikan, mengembangkan, dan mengelola sistem pangan lokal; mengembangkan penelitian yang tepat dan mewariskan kearifan ini kepada generasi mendatang; dan menolak teknologi yang merusak, mengancam, atau mencemari sumber-sumber pengetahuan ini.
6. Bekerja dengan Alam
Kedaulatan pangan mempromosikan beragam, input rendah, produksi agroekologi, serta metode pemanenan yang memaksimalkan kontribusi ekosistem dan meningkatkan ketahanan dan adaptasi, terutama dalam menghadapi perubahan iklim. Ia menolak metode yang merusak fungsi ekosistem yang menguntungkan, yang bergantung pada monokultur intensif energi dan pabrik peternakan, praktik penangkapan ikan yang merusak, dan bentuk produksi industri lainnya.
7. Makanan itu suci
Makanan adalah anugerah hidup, tidak boleh disia-siakan. Makanan tidak bisa dikomodifikasi.
Mekanisme yang dikembangkan oleh kedaulatan pangan
Wilayah yang menerapkan kebijakan jenis ini biasanya menetapkan serangkaian alat atau mekanisme untuk efektivitasnya yang lebih besar di antaranya,1. Tindakan proteksionis bagi produsen pertanian nasional terhadap impor produk yang menawarkan persaingan dari luar negeri. Mengenai fakta ini, biasanya biayanya lebih rendah.
2. Kontrol harga minimum. Memastikan, dengan cara ini, menempatkannya di atas tingkat biaya produksi dalam negeri atau nasional.
3. Promosi pasar lokal dan aksesibilitas yang lebih besar bagi konsumen. Sehingga merangsang adanya sistem teritorial dan kooperatif bagi penduduk.
4. Perlindungan hak yang diperoleh dari akses ke bahan mentah dan sumber daya energi. Apalagi dengan melihat jumlah penduduk dengan sarana yang kurang.
5. Pemantauan tindakan yang terkait dengan makan sehat atau organik oleh penduduk (contoh yang jelas adalah pajak atas kue-kue industri atau minuman manis)
Kebangkitan Perjuangan Kedaulatan Pangan
Kebangkitan Perjuangan Kedaulatan Pangan di DuniaPersoalan pangan bagi bangsa Indonesia, dan juga bangsa-bangsa lainnya di dunia ini adalah merupakan persoalan yang sangat mendasar, dan sangat menentukan nasib dari suatu bangsa. Ketergantungan pangan dapat berarti terbelenggunya kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu kelompok, baik negara lain maupun kekuatan–kekuatan ekonomi lainnya.
La Via Campesina (organisasi perjuangan petani internasional) sebagai organisasi payung Serikat Petani Indonesia (SPI) di tingkat Internasional telah memperkenalkan konsep kedaulatan pangan (Food Sovereignty) bagi umat manusia di dunia ini pada World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan pada bulan November 1996 di Roma, Italia.
Kedaulatan Pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang berdasarkan pada prinsip solidaritas.
Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan pangan di antaranya,
1. Pembaruan Agraria;
2. Adanya hak akses rakyat terhadap pangan;
3. Penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan;
4. Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan;
5. Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi;
6. Melarang penggunaan pangan sebagai senjata;
7. Pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Dalam perkembangannya, perjuangan mewujudkan kedaulatan pangan ini semakin masif. Salah satu momentum penting dalam perjuangan kedaulatan pangan ini terjadi pada Juni 2002, pada pertemuan World Food Summit Five Years Later di Roma. Dalam pertemuan ini sejumlah organisasi sosial yang mewakili petani kecil, buruh tani, nelayan, masyarakat adat bersama sejumlah NGO membentuk International Planning Committee for Food Sovereignty (IPC). IPC berperan untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan FAO dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Konsep kedaulatan pangan pun semakin dikembangkan dan mendapat dukungan yang meluas. Pada tahun 2007 diadakanlah konferensi internasional Kedaulatan Pangan di Nyeleni, Mali. Konferensi ini semakin menguatkan pemahaman dan perjuangan gerakan sosial mewujudkan kedaulatan pangan menjadi alternatif menjawab permasalahan pangan dan pertanian global.
Selanjutnya pasca krisis pangan yang melanda seluruh dunia di awal tahun 2008, terjadi reformasi besar di dalam tubuh Komite Ketahanan Pangan PBB (CFS) akibat tekanan dan kritik masyarakat sipil. Pada sidang ke-35 Komite Ketahanan Pangan bulan Oktober 2009, secara resmi CFS membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil untuk terlibat dan memainkan peranan penting dalam menyusun kebijakan untuk menghapuskan kelaparan di dunia.
CFS bertugas mengatasi kelaparan dunia dengan gerakan petani sebagai salah satu anggota pada Advisory Committee-nya. Ini menjadi jalan yang membuka dialog antara petani kecil dan petani korban dengan institusi-institusi seperti FAO (Food and Agriculture Organization), WFP (World Food Program), dan IFAD(International Fund for Agricultural Development).
Hal ini dimanfaatkan gerakan petani dan masyarakat sipil lainnya untuk memasukkan sebuah alternatif sistem pangan yang demokratis – seperti yang didiskusikan dalam Komisi FAO untuk Ketahanan Pangan Dunia– yang harus dilaksanakan agar negara-negara dan masyarakat di seluruh dunia memiliki hak untuk melaksanakan kedaulatan pangan.
Solusi sejati mengatasi krisis pangan berarti bahwa petani kecil, dan bukan perusahaan transnasional, harus mendapatkan kontrol atas sumberdaya agraria yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan yaitu, tanah, air, benih dan pasar lokal. Akhirnya konsep kedaulatan pangan menjadi alternatif bagi kebijakan ekonomi di banyak negara.
Kebangkitan Perjuangan Kedaulatan Pangan di Indonesia
Di tingkat nasional perjuangan kedaulatan pangan pun mulai semakin masif. Pendidikan di tingkat organisasi tani menjadi hal yang signifikan untuk memperkuat perjuangan kedaulatan pangan ini. Hal ini penting untuk memperkuat tekanan rakyat dalam perubahan kebijakan pangan dan pertanian di tingkat nasional hingga daerah.Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan tercapai apabila petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria.
Hal ini perlu disertai dengan melaksanakan pertanian rakyat yang berkelanjutan bukan saja untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sembagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian.
Gerakan kedaulatan pangan mulai meluas di Indonesia terutama sejak tahun 2002. Karena meskipun krisis pangan belum terjadi, namun tanda-tanda kegagalan konsep ketahanan pangan yang dijalankan FAO sudah mulai terlihat. Karena itu berbagai inisiatif sudah dilakukan gerakan rakyat di Indonesia seperti membangun koalisi penegakan kedaulatan pangan.
Pergerakan ini mendapat respons positif dari kalangan partai, dengan adanya aksi di ruang parlemen untuk penolakan atas impor beras di Indonesia. Kemudian berbagai seminar juga dilakukan oleh kalangan partai untuk memahami sebab-sebab terjadinya ketergantungan pangan, seperti yang dilakukan oleh PDI-P pada tahun 2006 di Bali.
Di tingkat parlemen, ketergantungan pangan dan tak sanggupnya Indonesia menghasilkan produksi pangan dalam negeri dijawab oleh DPR dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan untuk mencegah konversi lahan pertanian ke non pangan.
Krisis pangan tahun 2008 menyadarkan banyak kalangan bahwa untuk memperkecil ketergantungan pangan di Indonesia, harus lebih luas lagi upaya yang harus dilakukan. Tidak cukup hanya sekedar mencegah konversi lahan, tapi harus lebih luas lagi, mengatur soal perdagangan pangan.
Atas desakan dari gerakan rakyat, di antaranya pada 24 Februari 2011, SPI bersama sejumlah organisasi tani lainnya, organisasi sosial lain, LSM, hingga para akademisi menggagas suatu Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia. Petisi Kedaulatan Pangan ini bertujuan untuk memperkuat dan memperluas desakan kepada pemerintah untuk mengubah sistem pangan dan pertanian yang ada saat ini demi melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.
Kebangkitan perjuangan kedaulatan pangan ini juga mulai terlihat dengan adanya respons di tingkat legislasi dengan perubahan UU Pangan No. 7/1996 guna menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan kepada setiap warga negara. Sejumlah organisasi terkait yang berkompeten – di antaranya SPI, Indonesia Human Right Commission for Social Justice (IHCS), Solidaritas Perempuan (SP), Bina Desa dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) – juga telah menyampaikan naskah akademik untuk perubahan Undang-undang tersebut.
Langkah ini melahirkan UU Pangan No. 18 tahun 2012 yang berisi tentang prinsip-prinsip kedaulatan pangan. Kemudian untuk memperkuat posisi hak asasi petani-petani sebagai kekuatan utama untuk memproduksi pangan, SPI dan gerakan sipil lainnya melalui proses panjang sejak tahun 2000, akhirnya berhasil mendorong parlemen untuk mengeluarkan UU N0. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Tidak berhenti gerakan rakyat di Indonesia juga melakukan upaya pengaturan kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia, seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, dan UU Penanaman Modal No. 25/2007.
Kedaulatan pangan saat ini telah memasuki era baru, setelah Jokowi-JK – Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2014-2019) – memasukkan kedaulatan pangan ke dalam satu di antara sembilan cita-cita politik yang harus dilaksanakannya. Karena itulah rakyat tani yang merupakan pihak pengusul dan menjadi kelompok terbesar pendukung pemenangan Jokowi-JK dalam kampanye pemilihan presiden-wakil presiden, harus turut memastikan bahwa janji pelaksanaan kedaulatan pangan tersebut benar-benar bisa diwujudkan.
Dari berbagai sumber
Post a Comment