Pengertian Resolusi Konflik, Kompetensi, Strategi, Metode, Jenis, Langkah, dan Keuntungannya

Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi Konflik

A. Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang). Sementara konflik dalam KBBI adalah percekcokan; perselisihan; pertentangan. Jadi resolusi konflik dapat diartikan putusan berupa kebulatan tekad yang ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah guna mengakhiri pertikaian atau konflik di antara mereka.

Resolusi konflik adalah suatu cara individu atau kelompok untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain atau kelompok lain secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh diri mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral, dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik guna menyelesaikan masalahnya.

Resolusi konflik merupakan kerangka kerja intelektual umum untuk memahami apa yang terjadi di dalam konflik dan bagaimana melakukan intervensi di dalamnya. Implikasi paling penting dari resolusi konflik berkaitan dengan proses-proses kooperatif yang terlibat dalam penyelesaian konflik yang konstruktif. Jantung proses ini adalah pembingkaian ulang konflik sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan (atau dipecahkan) melalui upaya kerja bersama.

Demikian, pemahaman dan intervensi dalam konflik tentunya memerlukan pengetahuan khusus tentang pihak yang berkonflik, konteks sosial, aspirasi mereka, orientasi konflik mereka, norma-norma sosial, dan sebagainya. Model pendekatan resolusi konflik juga harus berbasis karakter lokal dapat melibatkan tokoh-tokoh lokal dari masing-masing pihak untuk bertindak sebagai aktor lokal dalam mencari format dalam penyelesaian masalah.

Resolusi Menurut Para Ahli
1. Weitzman dalam Morton and Coleman, resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together). Resolusi konflik juga dapat diartikan sebagai usaha untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang berseteru.
2. Dougherty dan Pfaltzgraff (1981), penentuan langkah resolusi konflik ditentukan oleh pemahaman tentang konflik sosial. Secara teoretis konflik sosial dipahami dalam dua kutup. Pertama, yang mendudukkan konflik sosial sebagai sesuatu yang rasional, konstruktif, dan berfungsi secara sosial. Kedua, mendudukkannya sebagai sebuah gejala sosial yang irasional, patologis, dan tidak berfungsi secara sosial.
3. Stewart Levine (1998: 3), resolusi konflik adalah tindakan mengurai suatu permasalahan, pemecahan, penghapusan atau penghilangan permasalahan.
4. Fisher et al (2001: 7), resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang berseteru.
5. Mindes (2006: 24), resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan.

B. Kompetensi Resolusi Konflik
Beberapa keterampilan itu harus dimiliki oleh orang-orang yang terlibat dalam suatu konflik di antaranya,
1. Dapat mendengarkan dengan cara aktif
2. Memiliki kemampuan sebagai menangani peningkatan atau untuk meningkatkan terhadap konflik
3. Mengetahui bahwa dalam memecahkan masalah bersama adalah bermanfaat
4. Dapat memahami dan membaca perasaan serta kemarahan
5. Dapat memahami dalam perspektif dan sudut pandang terhadap orang lain
6. Mempunyai suatu kemampuan untuk berdiskusi dan menengahi

Selain itu, Bodine and Crawford (Jones dan Kmitta, 2001: 2) merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik di antaranya,
1. Kemampuan orientasi, kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
2. Kemampuan persepsi, adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
3. Kemampuan emosi, kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustrasi, dan emosi negatif lainnya.
4. Kemampuan komunikasi, kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain, memahami lawan bicara, berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami, dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyataan yang netral atau kurang emosional.
5. Kemampuan berpikir kreatif, kemampuan berpikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
6. Kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.

Sementara Scannell (2010: 18) menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi di antaranya,
1. Keterampilan berkomunikasi
2. Kemampuan menghargai perbedaan
3. Kepercayaan terhadap sesama, dan
4. Kecerdasan emosi

C. Strategi Resolusi Konflik
Terdapat beberapa cara resolusi konflik yang digunakan dalam proses penyelesaian konflik menurut Galtung (1976) di antaranya,
1. Peacemaking, tahap awal yang harus dilakukan ketika konflik muncul adalah untuk sesegera mungkin menciptakan suatu perdamaian sebelum konflik semakin membesar. Perdamaian dapat diwujudkan dengan daya upaya negosiasi antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan di dalamnya (Galtung dalam Jamil, 2007).
2. Peacekeeping, peacekeeping sendiri memiliki arti sebagai proses penjagaan keamanan dengan pengakuan masing-masing pihak terhadap perjanjian dan berusaha untuk selalu menjaganya sebagai sebuah perisai dalam penyelesaian konflik yang bisa saja terjadi selanjutnya.
3. Peacebuilding, tahap peacebuilding merupakan hal krusial setelah peacemaking dan peacekeeping. Menurut (Galtung: 1996) Berbagai tahap tersebut tidak dapat dipisahkan dari rangkaian resolusi konflik. Peacebuilding diartikan sebagai strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi yang baik antar pihak-pihak yang pernah terlibat konflik (Ramsbotham, Woodhouses & Miall, 2015).

Pruitt dan Rubin mengembangkan teori dasar strategi penyelesaian konflik yang disebut dengan dual concer model (model kepedulian rangkap dua). Model ini melacak pemilihan strategi berdasarkan kekuatan kepedulian relatif atas hasil diterima oleh diri sendiri dan hasil yang diterima oleh pihak lain.
1. Contending (bertanding), segala macam usaha untuk menyelesaikan konflik menurut kemampuan seseorang tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain, pihak-pihak yang menerapkan strategi ini tetap mempertahankan aspirasinya.
2. Problem solving (pemecahan masalah), meliputi usaha mengidentifikasikan masalah dan mengembangkan serta mengarah pada solusi yang memuaskan kedua belah pihak.
3. Yielding (mengalah), pihak yang menerapkan strategi ini menurunkan aspirasinya sendiri dan bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan. Memang menciptakan solusi, tetapi bukan solusi yang berkualitas tinggi.
4. Inaction (diam), tidak melakukan apa-apa. Strategi ini biasanya ditempuh untuk mencermati perkembangan lebih lanjut, merupakan tindakan temporer yang tetap membuka kemungkinan bagi upaya penyelesaian kontroversi.
5. Withdrawing (menarik diri), pihak yang memilih strategi ini memilih untuk meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis secara permanen.

D. Metode Resolusi Konflik
Terdapat beberapa metode untuk melakukan pelaksanaan resolusi konflik menurut Forsyth di antaranya,
1. Commitment => Negotiation
Konflik dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok merasa yakin dengan posisinya dan tidak ada keinginan untuk mengalah satu sama lain, namun konflik dapat diredakan ketika anggota kelompok memutuskan untuk bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan.

2. Misperception => Understanding
Konflik sering kali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-orang sering menganggap bahwa orang lain ingin berkompetisi dengan mereka namun pada kenyataannya orang lain tersebut hanya ingin bekerja sama dengan mereka. Mereka mengira ketika orang lain mengkritik ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang mengkritik mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain tersebut adalah untuk menguntungkan pihak mereka.  Anggota kelompok harus menghilangkan pola pikir seperti itu dengan cara berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi.

3. Strong Tactics => Cooperative Tactics
Ada berbagai cara anggota kelompok untuk mengatasi konflik mereka. Beberapa dari mereka hanya melihat kepada masalah mereka dan berharap masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Beberapa anggota lainnya mendiskusikan masalah mereka, terkadang dengan tenang dan rasional, namun terkadang dengan marah dan keras. Yang lainnya mencari pihak yang netral untuk menjadi moderator dalam konflik tersebut. Taktik yang digunakan untuk menyelesaikan konflik pada dasarnya ada 4 (empat) kategori di antaranya,
a. Avoiding, adalah usaha untuk menghindari konflik tersebut dan berharap konflik itu akan hilang dengan sendirinya. Orang-orang yang mengadopsi taktik ini biasanya menghindari meeting, mengubah bahan pembicaraan ataupun keluar dari kelompok tersebut.
b. Yielding, anggota kelompok dalam menyelesaikan masalah yang besar maupun kecil dengan menyerahkan keputusan kepada orang lain. Setelah melalui proses diskusi dan negosiasi, anggota kelompok merasa gagasan mereka salah dan akhirnya menyetujui gagasan anggota kelompok lainnya. Yielding biasa terjadi akibat pola pikir anggota yang berubah dan setuju dengan pendapat lainnya ataupun tekanan yang ada di dalam diri mereka.
c. Fighting, pada sejumlah orang, mereka ingin menyelesaikan konflik dengan memaksa anggota lainnya untuk menerima pandangan mereka. Mereka melihat konflik sebagai situasi menang-kalah dan menggunakan taktik yang kompetitif dan kuat untuk mengintimidasi anggota yang lain.
d. Cooperating , anggota yang mengandalkan kerja sama dalam mengatasi konflik cenderung mencari solusi yang dapat diterima semua pihak. Mereka tidak memaksakan kehendak dan kompetitif. Alih-alih mereka menunjukkan akar dari permasalahan dan mencari solusi yang tepat untuk masalah mereka. Orientasi ini disebut sebagai win-win solution karena mengganggap hasil yang menyangkut orang lain merupakan hasil mereka juga.

4. Upward => Downward Conflict Spirals
Kerja sama yang konsisten di antara orang untuk jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi ketika anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling percaya akan menjadi lebih sukar dipahami. Ketika seseorang tidak dapat mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing untuk mempertahankan hal yang menguntungkan dirinya atau hal yang dapat menghilangkan persaingan adalah tit-for-tat atau TFT. Tit-for-tat adalah strategi tawar menawar yang berawal dari kerja sama, tapi kemudian meniru pilihan yang dibuat orang lain. Dengan kata lain, orang akan bersaing jika orang lain bersaing dan orang akan bekerja sama jika orang lain bekerja sama.

5. Many => One
Individu yang tidak terlibat dalam masalah tidak seharusnya memihak salah satu pihak melainkan harus menjadi mediator dalam konflik tersebut. Pihak ketiga (netral) dapat membantu meredakan konflik dengan cara di antaranya,
a. Meredakan frustrasi dan kebencian dengan memberi kedua belah pihak sebuah kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka
b. Jika komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk meluruskan masalah
c. Pihak ketiga dapat menyelamatkan “muka” dari yang berkonflik dengan membebankan kesalahan pada diri mereka sendiri
d. Pihak ketiga dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat diterima oleh kedua pihak
e. Pihak ketiga dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti lokasi, tempat duduk, formalitas komunikasi, batasan waktu, hadirin dan agenda
f. Pihak ketiga dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan proses penyelesaian masalah secara integratif.

Namun, jika pihak-pihak ingin menyelesaikan konflik dengan cara mereka sendiri, maka intervensi dari pihak ketiga akan dianggap sebagai gangguan yang tidak diinginkan. Keefektifan pihak ketiga tergantung dari kekuatan mereka di dalam kelompok. Di dalam prosedur inquisitorial, pihak ketiga akan memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak dan memutuskan hasil yang harus diterima semua pihak. Di dalam arbitration kedua belah pihak memberikan argumen-argumen kepada pihak ketiga yang akan membuat sebuah keputusan berdasarkan argumen yang diberikan. Di dalam moot kedua pihak dan pihak ketiga berdiskusi, di situasi yang terbuka dan tidak formal tentang masalah dan solusi yang memungkinkan.

6. Anger => Composure
Ketika keadaan “memanas”, anggota kelompok yang bertentangan harus mampu mengontrol emosi mereka. Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah dengan berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan humor atau lelucon di kelompok. Humor dapat memberikan emosi yang positif dan dapat meredam emosi yang negatif seperti amarah. Kelompok juga dapat melestarikan budaya seperti pelarangan penunjukan emosi negatif, salah satu contohnya adalah amarah.

E. Jenis Resolusi Konflik
Terdapat banyak cara untuk menyelesaikan konflik di antaranya,
1. Negosiasi
Para pembuat keputusan yang terlibat dalam konflik adalah pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi. Bahkan selama proses penyelesaian, tidak ada pihak ketiga di luar peserta konflik yang akan membantu menyelesaikan masalah. Dan resolusi konflik muncul dari kedua sisi konflik. Contoh penyelesaian masalah negosiasi adalah ketika pasar, penjual dan pembeli terlibat dalam partai konflik mulai dari pengambilan keputusan hingga proses penyelesaian hingga hasil akhir.

2. Mediasi
Dalam mediasi, pembuat keputusan adalah pihak yang terlibat konflik. Namun, dalam proses penyelesaian ada pihak ketiga, mediator, yang mendukung proses penyelesaian konflik. Peran mediator harus memfasilitasi pihak konflik dan pihak netral. Saat menentukan hasil akhir, pihak ketiga atau mediator memiliki persamaan yang sama ketika membuat keputusan. Diharapkan bahwa keputusan tersebut akan diterima dan dikonfirmasi dengan semua pihak yang terlibat adanya suatu konflik.

3. Litigasi
Litigasi tidak berbeda terhadap arbitrasi, yang membedakannya dengan arbitrase adalah hasil penyelesaian konflik. Hasil dari konflik dimenangkan atau dihilangkan sehingga tidak pernah terancam punah.  Contoh sengketa hukum ialah adanya suatu penuntutan dalam yudisial. Hakim yakni telah bertindak sebagai pembuat keputusan, penasihat dan menentang pihak oposisi.

4. Arbitrasi
Arbiter terlibat dengan adanya suatu pengambilan keputusan dalam arbitrasi. Wasit juga mengontrol proses pengambilan keputusan. Kriteria untuk wasit haruslah orang yang tidak begitu netral dan independen. Dalam resolusi tersebut, arbiter menerima pertanyaan, ide, dan latar belakang masalah tersebut. Ketika kedua belah pihak berkompromi pada solusi, mereka masih bisa melakukan apa yang mereka inginkan.

Sementara Dahrendorf (2009) menyebutkan ada tiga bentuk pengaturan konflik yang biasa digunakan sebagai resolusi konflik di antaranya,
1. Konsiliasi, di mana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendaknya masing-masing;
2. Mediasi, ketika kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga (berupa tokoh, ahli atau lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian yang mendalam tentang permasalahan yang dihadapi dalam konflik), nasihat yang diberikan oleh mediator tidak mengikat kedua pihak yang bertikai dalam konflik, hanya sebatas sebagai saran;
3. Arbitrasi, kedua belah pihak sepakat untuk mendapat keputusan akhir yang bersifat legal dari arbiter sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan konflik (Keethaponcalan, 2017).

F. Langkah Resolusi Konflik
Ury (dalam Suwandono & Ahmadi, 2011) mengusulkan 3 langkah resolusi konflik di antaranya,
1. Menyalurkan berbagai ketegangan yang bersifat laten (tidak begitu nampak) agar tidak terjadi akumulasi ketegangan yang bisa membuat konflik jadi makin besar dan sulit untuk diselesaikan.
2. Segera menyelesaikan bentuk-bentuk konflik di permukaan. Resolusi dilandasi asumsi proses penyelesaian konflik secara dini, akan menutup kemungkinan proses menguatnya konflik.
3. Membendung potensi-potensi konflik melalui kebijakan yang responsif dan komprehensif. Dengan mendesain kebijakan ini diharapkan ruang konflik negatif bisa dihindari, dan ruang konflik yang positif tetap bisa dipelihara.

Apabila konflik yang terjadi dalam suatu masyarakat sudah semakin memanas dan menggunakan kekerasan yang fatal maka ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam resolusi konflik di antaranya,
1. De-eskalasi dalam bentuk pembendungan, penyekatan, gencatan dan perlucutan senjata di tengah masyarakat yang berkonflik (Pruitt, 2009).
2. Melakukan segregasi yaitu pemisahan tempat tinggal atas dasar agama/ etnis/ faksi atau unsur lain yang menjadi penyebab konflik dalam jangka waktu pendek ataupun menengah sesuai dengan kondisi konflik yang terjadi (Thiessen & Darweish, 2018).
3. Rehabilitasi fisik dan mental bagi pihak-pihak yang terdampak konflik untuk membangun kembali sarana fisik maupun non fisik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan yang telah hancur akibat konflik, kemudian menciptakan trauma center untuk pemulihan mental.
4. Negosiasi politik dan rekontruksi sosial-budaya adalah membangun kembali hubungan sosial, memulihkan kembali ikatan budaya dan tingkat kepercayaan yang telah hancur, menjadi bangunan masyarakat multikultural yang harmonis dan egaliter (Brandt & Mkodzongi, 2018).
5. Rekonsiliasi adalah program atau kegiatan mediasi kohesi sosial di antara pihak-pihak yang pernah bertikai untuk hidup baru, bersedia menerima dan berhubungan lagi secara damai, sejajar, bertindak adil, mengubah perilaku yang buruk, saling memaafkan dan mau melupakan kepedihan masa lalu untuk menyongsong masa depan yang lebih baik (Rozi dkk, 2006).

G. Keuntungan Resolusi Konflik
Dalam resolusi konflik, resolusi konflik dapat menjadi program alternatif yang menginformasikan para pihak. Bahkan resolusi konflik sangat berguna untuk memulihkan hubungan yang sebelumnya berbahaya atau bermasalah. Selain itu, adanya suatu resolusi dalam konflik yakni dengan menawarkan manfaat lain ketika dapat dipilih untuk menyelesaikan masalah di antaranya,
1. Pihak yang berkonflik dan pihak ketiga dapat mengendalikan emosinya dengan lebih baik.
2. Menciptakan dalam suatu iklim yang telah menguntungkan.
3. Dapat memperkirakan dengan lebih banyak dalam perbedaan.
4. Mempunyai suatu keterampilan dalam menyelesaikan konflik di masa depan.
5. Toleransi terhadap varietas akan meningkat.
6. Dapat membangun kerja sama.
7. Berdamai terhadap satu sama lain.
8. Adanya suatu rasa hormat, perhatian, pengertian, dan toleransi satu sama lain.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pengertian Resolusi Konflik, Kompetensi, Strategi, Metode, Jenis, Langkah, dan Keuntungannya"