Perang Rusia dan Ukraina: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampaknya
Table of Contents
Perang Rusia dan Ukraina
Perang Rusia dan Ukraina adalah perang berkelanjutan antara Rusia dan Ukraina. Konflik ini dimulai pada Februari 2014 setelah Revolusi Martabat (Revolusi Maidan) di Ukraina, dan awalnya berfokus pada status Krimea dan bagian dari Donbas, yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Ukraina. Delapan tahun pertama konflik termasuk aneksasi Krimea oleh Rusia (2014) dan perang di Donbas (2014–sekarang) antara Ukraina dan separatis yang didukung Rusia, insiden angkatan laut, perang siber, dan ketegangan politik.
Menyusul pembangunan militer Rusia di perbatasan Rusia-Ukraina dari akhir 2021, konflik meluas secara signifikan ketika Rusia meluncurkan invasi skala penuh ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Serangan Rusia dimulai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol.
Latar Belakang Perang Rusia dan Ukraina
Mengutip dari ejurnal.esaunggul.ac.id karya Wasis Susetio, dkk. (2022:1), penyebab perang Rusia dan Ukraina adalah karena adanya permintaan bantuan dari para pemimpin kelompok separatis di Ukraina timur serta karena alasan sejarah, politik dan ekonomi.Penyebab konflik antara Rusia dan Ukraina sudah berlangsung lama. Konflik bersenjata di timur Ukraina terjadi pada awal tahun 2014. Secara singkatnya terdapat 3 hal yang melatarbelakangi perang Rusia dan Ukraina di antaranya,
1. Sejarah masa lalu antara Rusia dengan Ukraina
Ukraina dulunya merupakan bagian dari Rusia. Presiden Rusia, Vladimir Putin juga mengatakan bahwa Rusia diambil saat Uni Soviet hancur pada tahun 1991. Politik Ukraina menjadi anti-Rusia pasca Rusia mencoba melakukan intervensi politik di Ukraina, dan sejak Rusia mengambil alih semenanjung Krimea pada tahun 2014.
2. Rusia tidak setuju Ukraina bergabung dengan NATO
Ukraina ingin bergabung dengan NATO namun pemerintah Rusia tidak setuju lantaran takut jika NATO membawa senjata ke perbatasan Ukraina sehingga kota-kota di Rusia jadi sasaran.
3. Gerakan pemerintah Rusia yang mendukung negara bekas Uni Soviet
Gerakan pemerintah Rusia yang mendukung gerakan separatis di beberapa negara bekas Uni Soviet memicu reaksi negatif dari negara Georgia. Rusia juga tak berhenti menyenggol Ukraina dengan mengakui kedaulatan wilayah Donetsk dan Luhansk.
Kronologi Perang Rusia dan Ukraina
Bermula dari tahun 1991, setelah Ukraina memisahkan diri dari Uni Soviet. Tahun 1991
Uni Soviet runtuh dan negara-negara yang tergabung di sana memisahkan diri. Dikutip dari Reuters, Ukraina merupakan salah satu negara yang kemudian segera mendeklarasikan kedaulatannya dari Moskow, ibu kota Rusia.Tahun 2004-2008
Kandidat pro-Rusia Viktor Yanukovich dinyatakan terpilih sebagai presiden ke-4 Ukraina mengalahkan lawannya, Viktor Yuschenko. Namun, tuduhan kecurangan jumlah suara yang dilayangkan kepada Yanukovich memicu protes publik yang dikenal dengan Revolusi Oranye.Akibat dari Revolusi Oranye ini kemudian membuat pemungutan suara digelar kembali. Hasilnya, mantan perdana menteri pro-Barat Viktor Yuschenko terpilih sebagai presiden.
Pada 2005, Yuschenko pun mengambil alih kekuasaan. Ia menjanjikan Ukraina di bawah kekuasaannya untuk membebaskan diri dari Kremlin, sebaliknya akan membawa Ukraina bergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty Organisation) dan Uni Eropa (EU).
Hingga tahun 2008, NATO kemudian memberikan lampu hijau soal penggabungan Ukraina bersama mereka pada suatu hari nanti.
Tahun 2010-2013
Kandidat Yanukovich kembali memenangkan pemilihan presiden. Selama pemerintahannya, Ukraina menangguhkan pembicaraan soal kerja sama dan penggabungan dengan Uni Eropa pada tahun 2013.Sebaliknya, Yanukovich kemudian membangun kembali hubungan kerja sama Ukraina dengan Moskow. Hal ini pun memicu kecaman dan demonstrasi besar-besaran selama berbulan-bulan di Kyiv, ibu kota Ukraina.
Tahun 2014
Pada Februari 2014, Parlemen Ukraina kemudian mencopot Yanukovich dari kursi pemerintahan. Utamanya, setelah terjadi pertumpahan darah dalam demokrasi sebagai akibat dari penolakan atas keputusannya.Selang beberapa hari, pasukan militer merebut parlemen di wilayah Ukraina yakni, Krimea. Mereka juga mengibarkan bendera Rusia di sana hingga Moskow pada akhirnya mencaplok wilayah tersebut.
Lanjut pada April 2014, kelompok separatis pro-Rusia di wilayah timur Donbas mendeklarasikan kedaulatannya.
Tahun 2017-2019
Pada 2017, tercipta perjanjian kerja sama antara Ukraina dan Uni Eropa. Perjanjian ini membuka pasar perdagangan bebas barang dan jasa hingga perjalanan bebas visa ke wilayah Uni Eropa bagi Ukraina.Hingga 2019, mantan komedian yang kerap menghiasi TV di sana, Volodymyr Zelenskyy terpilih untuk memimpin Ukraina.
Tahun 2021
Pada Januari 2021, Zelenskyy meminta Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk mengizinkan Ukraina bergabung dengan NATO.
Di sisi lain, Rusia kemudian mulai mengerahkan pasukan bersenjatanya di dekat perbatasan Ukraina pada musim semi 2021. Mereka mengaku hal ini sebagai bentuk latihan.
Hingga pada November 2021, citra satelit yang diambil oleh Maxar Technologies menampilkan penumpukan pasukan Rusia di dekat Ukraina.
Sebulan setelahnya, tepatnya 17 Desember 2021, Rusia mengajukan tuntutan keamanan. Hal ini termasuk dengan NATO agar menarik kembali pasukan dan senjata dari bagian timur Eropa. Berikut juga Rusia melarang Ukraina untuk bergabung bersama mereka.
Tahun 2022
1. JanuariPada 24 Januari, NATO menempatkan pasukan bersenjata mereka dalam keadaan siaga dan memperkuat bagian timur Eropa dengan memperbanyak kapal dan jet tempur.
Dua hari setelahnya, pihak Washington AS kemudian menanggapi tuntutan keamanan Rusia. Mereka menekankan, komitmen NATO untuk membuka kesempatan bergabung bagi siapa saja.
Pihaknya juga menawarkan bentuk evaluasi pragmatis atas kekhawatiran Moskow. Namun, pada 28 Januari, Rusia kemudian menyatakan tuntutannya tidak ditanggapi.
2. Februari
Awal Februari 2022, kekhawatiran Barat seputar Rusia akan menyerang Ukraina sewaktu-waktu mulai memuncak. AS kemudian berjanji akan mengirim 3 ribu tentara tambahan untuk tentara anggota NATO, Polandia dan Rumania.
Washington dan sekutunya menyebut, pihaknya tidak akan mengirim bantuan pasukan ke Ukraina. Meski demikian, mereka memperingatkan sanksi ekonomi yang berat kepada Rusia bila Presiden Rusia Vladimir Putin mengambil tindakan militer.
Melalui pidatonya di sebuah stasiun TV pada 21 Februari, Putin menyebut Ukraina sebagai bagian integral dari sejarah Rusia. Ia juga mengatakan, Ukraina dipimpin oleh rezim 'boneka' dengan kekuatan asing di baliknya.
Putin memerintahkan 'pasukan penjaga perdamaian' menuju dua wilayah yang memisahkan diri di timur Ukraina yakni Luhansk dan Donetsk, usai mengakui dua wilayah tersebut sebagai wilayah yang merdeka.
Sementara itu, dari pihak Ukraina, Presiden Zelenskyy meminta penduduknya untuk tetap tenang. "Kita tidak takut pada siapapun atau apapun," katanya, dikutip dari Al Jazeera.
Para pemimpin separatis yang didukung Rusia kemudian meminta bantuan Rusia untuk menangkis agresi dari tentara Ukraina pada 23 Februari. Sehari setelahnya, Putin pun mengizinkan perlakuan 'operasi militer khusus' di Ukraina.
Pasukan Rusia memulai serangan rudal dan artileri hingga menyerang kota-kota besar Ukraina termasuk Kyiv. Hingga pada 26 Februari, pihak Sekutu Barat merespons hal ini dan menjatuhkan sanksi baru kepada Rusia.
Termasuk pembatasan bank sentral Rusia dan mengeluarkan Rusia dari sistem transaksi antar bank global atau SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication). Sanksi kepada Rusia ini pun terus berlanjut hingga 27 Februari.
Pasukan Rusia kemudian mulai maju menuju tiga kota besar Ukraina yakni, Kyiv, Kharkiv dan Kherson.
Pada 28 Februari, Ukraina mengajukan diri untuk bergabung dengan Uni Eropa. Pihak Rusia dan Ukraina pun sepakat untuk mengadakan perundingan pertama di perbatasan Belarusia. Perundingan pun selesai setelah lima jam tanpa ada kesepakatan.
Selama perundingan berlangsung, Rusia tidak berhenti menghentikan serangannya, terutama di Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina. Namun, Perwakilan Tetap Rusia untuk Dewan Keamanan PBB menyangkal pasukan Rusia menargetkan warga sipil.
Majelis Umum PBB menyebut, lebih dari 500 ribu orang Ukraina telah meninggalkan negara itu.
3. Maret
Pasukan Rusia berkumpul di sepanjang 65 km pinggiran Kyiv. Serangan juga meningkat di Kharkiv dan Mariupol di timur, serta Kherson di bagian selatan Ukraina.
Presiden Zelenskyy kemudian meminta negara-negara Barat memberlakukan zona larangan terbang bagi pesawat Rusia. Namun, AS menolak dengan alasan hal itu dapat menyeret Wasington dalam konflik langsung dengan Moskow, menurut Sekretaris Pers Gedung Putih Jen Psaki.
Terbaru, pada 2 Maret kemarin, Majelis Umum PBB menyetujui resolusi tidak mengikat yang mengutuk Rusia atas invasinya ke Ukraina dan menuntut mereka untuk menarik pasukannya dari sana.
Resolusi tersebut didukung oleh 141 dari 193 negara anggota majelis PBB. Tiga puluh lima negara anggota, termasuk China memilih abstain.
Dampak Perang Rusia dan Ukraina
Dalam sebulan konflik di Ukraina, harga minyak global melonjak, perusahaan asing telah keluar dari Rusia dan Moskwa menghadapi momok sanksi yang kian mengerikan. Dilansir dari AFP, berikut dampak ekonomi dari invasi Rusia yang dimulai pada 24 Februari. Sebulan invasi, dan kian mengubrak-abrik ekonomi global.
1. Komoditas Melambung
Harga minyak dan gas telah melonjak akibat kekhawatiran pasokan karena Rusia adalah salah satu produsen dan pengekspor bahan bakar fosil terbesar di dunia. Minyak mentah Brent North Sea, patokan internasional, berdiri di sekitar 90 Dollar AS pada Februari. Pada 7 Maret, melonjak ke 139,13 dollar AS mendekati level tertinggi 14 tahun dan harga tetap sangat fluktuatif.
Harga yang naik mendorong pemerintah negara-negara di dunia mengambil langkah-langkah untuk meringankan kesulitan keuangan bagi konsumen. Mulai PPN yang lebih rendah di Swedia, batas harga di Hongaria, atau diskon di Prancis.
Harga gas juga meroket, dengan referensi Eropa TTF Belanda melonjak ke level tertinggi sepanjang masa di 345 euro pada 7 Maret. Komoditas lain yang diproduksi secara besar-besaran di Rusia telah melonjak, termasuk nikel dan aluminium. Rantai pasokan industri otomotif juga menghadapi gangguan karena suku cadang utama berasal dari Ukraina.
2. Ancaman Makanan
Sekjen PBB Antonio Guterres telah memperingatkan bahwa konflik dapat bergema jauh di luar Ukraina, menyebabkan "badai kelaparan dan kehancuran sistem pangan global". Rusia dan Ukraina adalah lumbung pangan dunia, menyumbang 30 persen dari ekspor gandum global. Harga sereal dan minyak goreng telah meningkat.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB mengatakan jumlah orang yang kekurangan gizi dapat meningkat delapan hingga 13 juta orang selama tahun ini dan tahun depan. Amerika Serikat, India dan Eropa dapat menutupi kekurangan gandum. Tapi bisa lebih rumit untuk menggantikan minyak bunga matahari dan jagung, yang masing-masing jadi barang eksportir nomor satu dan empat dunia di Ukraina.
3. Pasar Saham Terguncang
Perang telah membawa volatilitas ke pasar sementara bursa saham Moskwa ditutup selama tiga minggu dan hanya dibuka kembali sebagian pada hari Senin. Sanksi Barat telah melumpuhkan sektor perbankan dan sistem keuangan Rusia, sementara rubel telah runtuh.
Langkah-langkah tersebut termasuk upaya untuk membekukan 300 miliar dollar AS cadangan mata uang asing Rusia yang disimpan di luar negeri. Rusia sekarang menghadapi risiko gagal bayar utang untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.
Moskwa membayar bunga atas dua obligasi berdenominasi dolar pekan lalu, memberi pemerintah ruang bernapas sampai pembayaran utang berikutnya dalam beberapa minggu mendatang.
4. Perusahaan Melarikan Diri
Ratusan perusahaan Barat telah menutup toko dan kantor di Rusia sejak perang dimulai. Ini karena sanksi, tekanan politik atau opini publik. Daftar tersebut mencakup nama-nama terkenal seperti Ikea, Coca-Cola dan McDonald's.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengangkat ancaman nasionalisasi perusahaan milik asing. Beberapa perusahaan telah memilih untuk tinggal di Rusia, dengan alasan tanggung jawab sosial mereka untuk tidak meninggalkan karyawan lokal mereka dan merampas barang-barang penting penduduk.
5. Pertumbuhan Ekonomi Lebih Lambat
Perang mengancam akan menjadi penghambat pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid. OECD telah memperingatkan bahwa konflik tersebut dapat menimbulkan pukulan satu persen pada pertumbuhan global. IMF diperkirakan akan menurunkan perkiraan pertumbuhannya, yang saat ini berada di 4,4 persen untuk tahun 2022.
Selain dampaknya terhadap ekonomi global, terdapat beberapa fakta yang mengerikan dari dampak perang antara Rusia dan Ukraina, dilansir dari Global Citizen, Senin (6/3/2023).
1. Ada hampir 8 juta pengungsi dari Ukraina di seluruh Eropa
2. Sedikitnya 7.000 warga sipil Ukraina tewas
3. Ada sekitar 9 juta orang Ukraina hidup tanpa listrik
4. Kekerasan seksual diklaim digunakan sebagai senjata perang
5. Sekitar 1.000 fasilitas perawatan kesehatan rusak dan hancur
6. Pendidikan untuk lebih dari 5 juta anak terganggu
7. Korban militer mencapai ratusan ribu
8. Puluhan ribu warga Rusia ditangkap karena protes anti-perang
Sumber:
https://www.liputan6.com/
https://www.kompas.com
https://www.detik.com
https://en-m-wikipedia-org
Download
Post a Comment