Nativisme: Pengertian, Sejarah, Tokoh, dan Pengaruhnya dalam Praktik Pendidikan
Table of Contents
Nativisme |
Pengertian Nativisme
Nativisme adalah pandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Dengan kata lain, nativisme beranggapan bahwa setiap manusia sudah memiliki kekuatan atau potensi dasar bawaan yang didapatkan secara hereditas (diturunkan secara alami). Kata Nativisme merupakan serapan dari kata natus (lahir) atau nativus (bawaan lahir). Pandangan nativisme ini berlawanan dengan empirisme yang beranggapan bahwa otak hanya mempunyai sedikit kemampuan bawaan dan hampir segala sesuatu dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan.
Teori Nativisme dalam psikologi pendidikan bersumber pada Leibnitzian Tradition, yaitu tradisi yang memusatkan potensi dalam diri individu manusia. Bahwa setiap hasil perkembangan manusia, akan ditentukan secara genetik dari garis keturunan orang tuanya.
Dengannya, bagi teori nativisme, lingkungan tidak dianggap memberikan kontribusi apa pun terhadap pengetahuan manusia. Menurut Rajab (dalam Lubis, 2020) dalam nativisme, ada lima pembawaan yang diwariskan orang tua kepada anaknya yang di antaranya,
1. Pewarisan yang bersifat jasmaniah seperti warna kulit, bentuk tubuh, dll
2. Pewarisan yang bersifat intelektual seperti kecerdasan dan kebodohan
3. Pewarisan yang bersifat tingkah laku
4. Pewarisan yang bersifat alamiah (internal)
5. Pewarisan yang bersifat sosiologis (eksternal)
Sejarah Nativisme
Teori nativisme muncul dari filsafat nativisma (terlahir) yaitu suatu bentuk filsafat yang menyatakan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh faktor pembawaan sejak lahir dan faktor alam yang kodrati. Nativisme dipelopori oleh Arthur Schopenheur (1788-1780) seorang filosof Jerman yang berpendapat bahwa “mendidik merupakan membiasakan seseorang menumbuhkan dan membesarkan serta mengembangkan potensi-potensi yang dibawa anak sejak lahir”.
Inti ajarannya adalah bahwa perkembangan seseorang merupakan produk dari faktor pembawaan yang berupa bakat. Aliran ini disebut juga dengan aliran pesimistik, karena pandangannya yang menyatakan bahwa orang yang berbakat tidak baik akan tetap tidak baik, sehingga tidak perlu dididik untuk menjadi baik.
Dengannya, aliran ini berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan pembawaan seseorang maka tidak akan ada gunanya. Meskipun terdengar tidak rasional dan sangat mengekslusifkan potensi manusia karena harus dilahirkan sempurna, teori ini tetap membawa beberapa fakta yang hingga kini digunakan.
Misalnya, bagaimana faktor genetik adalah faktor nyata yang memang akan mempengaruhi perkembangan peserta didik. Akan tetapi, faktor perkembangan kepribadian dan tumbuh kembang manusia tidaklah hanya pada faktor bawaan.
Bahkan, teori behaviorisme juga secara tidak langsung menentang aliran ini dengan menyatakan bahwa hanya lingkunganlah yang justru membentuk kepribadian individu.
Argumennya adalah jika seorang anak berkebudayaan dan berkebangsaan tertentu dipindahkan dari orang tua dan lingkungannya, maka anak tersebut sama sekali tidak akan memiliki kepribadian orang tua, budaya, atau bahkan bangsanya sendiri, apalagi jika lingkungan tempat di mana ia dipindahkan sangat lah terisolasi dari lingkungan asalnya.
Tokoh Teori Nativisme
Terdapat beberapa tokoh yang turut andil dalam mengembangkan teori nativisme di antaranya,1. Arthur Schopenhauer. Schopenhauer dikenal melalui sebuah karya yang berjudul The World as Will and Representation. Baginya, bawaan lahir adalah sebagai yang paling punya kuasa dalam menentukan perkembangan dan kepribadian manusia.
2. Immanuel Kant. Kant dikenal melalui karya Kritik der Reinen Vernunft. Ia memiliki pandangan bahwa akal budi yang berasal dari pribadi manusialah yang menentukan pengharapan manusia.
3. Noam A. Chomsky. Chomsky adalah seorang ahli linguistik yang berpendapat bahwa perkembangan bahasa pada manusia tidak didapatkan dari pendidikan manusia itu, namun oleh bawaan biologis sejak lahir dari orang tuanya.
4. Gottfried Wilhemleibnit. Wilhemleibnit sama seperti Schopenhauer, baginya perkembangan manusia itu sudah ditentukan sejak manusia itu dilahirkan.
Keempat tokoh tersebut berkeyakinan bahwa proses pendidikan tidak mampu mengubah sifat-sifat atau karakter manusia. Atau secara kontroversial, mereka menganggap bahwa pendidikan tidak membawa manfaat yang signifikan kepada manusia. Pemikiran dari kalangan nativisme ini dikenal dengan julukan Pesimisme Paedagogi.
Pengaruh Nativisme Dalam Praktik Pendidikan
Teori nativisme berpendapat bahwa manusia mengalami pertumbuh kembangan bukan karena faktor pendidikan dan intervensi lain di luar manusia itu, melainkan ditentukan oleh bakat dan pembawaannya. Teori ini berpendapat bahwa upaya pendidikan itu tidak ada gunanya dan tidak ada hasilnya. Bahkan menurut teori ini pendidikan itu justru akan merusak perkembangan anak. Pertumbuh kembangan anak tidak perlu diintervensi dengan upaya pendidikan, agar pertumbuh kembangan anak terjadi secara wajar, alamiah, sesuai dengan kodratnya.
Menganalisis dari pendapat tersebut, anak yang dilahirkan dengan bawaan yang baik akan mempunyai bakat yang baik juga begitu juga sebaliknya. Faktor bawaan sangat dominan dalam menentukan keberhasilan belajar atau pendidikan,. Faktor-faktor yang lainnya seperti lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan hal itu juga tidak bisa diubah oleh kekuatan pendidikan.
Pendidikan yang diselenggarakan merupakan suatu usaha yang tidak berdaya menurut teori tersebut, karena anak akan menentukan keberhasilan dengan sendirinya bukan melalui sebuah usaha pendidikan.
Walaupun dalam pendidikan tersebut diterapkan dengan keras maupun secara lembut, anak akan tetap kembali pada sifat atau bakat dari bawaannya. Begitu juga dengan faktor lingkungan, sebab lingkungan itu tidak akan berdaya mempengaruhi perkembangan anak.
Dalam teori nativisme telah ditegaskan bahwa sifat-sifat yang dibawa dari lahir akan menentukan keadaannya. Hal ini dapat diklaim bahwa unsur yang paling mempengaruhi perkembangan anak adalah unsur genetik individu yang diturunkan dari orang tuanya.
Dalam perkembangannya tersebut anak akan berkembang dalam cara yang terpola sebagai contoh anak akan tumbuh cepat pada masa bayi, berkurang pada masa anak, kemudian berkembang fisiknya dengan maksimum pada masa remaja dan seterusnya.
Menurut teori nativisme ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia di antaranya,
1. Faktor genetik
Orang tua sangat berperan penting dalam faktor tersebut dengan bertemunya atau menyatunya gen dari ayah dan ibu akan mewariskan keturunan yang akan memiliki bakat seperti orang tuanya.
Banyak contoh yang kita jumpai seperti orang tuanya seorang artis dan anaknya juga memiliki bakat seperti orang tuanya sebagai artis.
2. Faktor kemampuan anak
Dalam faktor tersebut anak dituntut untuk menemukan bakat yang dimilikinya, dengan menemukannya itu anak dapat mengembangkan bakatnya tersebut serta lebih menggali kemampuannya.
Jika anak tidak dituntut untuk menemukannya bakatnya, maka anak tersebut akan sulit untuk mengembangkan bakatnya dan bahkan sulit untuk mengetahui apa sebenarnya bakat yang dimilikinya.
3. Faktor pertumbuhan anak
Faktor tersebut tidak jauh berbeda dengan faktor kemampuan anak, bedanya yaitu di setiap pertumbuhan dan perkembangannya anak selalu didorong untuk mengetahui bakat dan minatnya. Dengan begitu anak akan bersikap responsif atau bersikap positif terhadap kemampuannya.
Ketiga faktor tersebut menurut teori nativisme akan berpengaruh dalam perkembangan serta kematangan pendidikan anak. Dengan faktor ini juga akan mampu menciptakan masyarakat yang baik.
Dengan ketiga faktor tersebut, memunculkan beberapa tujuan dalam teori nativisme, di mana dengan faktor-faktor yang telah disampaikan dapat menjadikan seseorang yang mantap dan mempunyai kematangan yang bagus.
Dengan pemahaman tentang nativisme, maka setiap pendidikan dan perkembangan manusia bertujuan di antaranya,
1. Menemukan bakat terpendam yang dimiliki
Dengan faktor-faktor di atas, maka setiap manusia diharapkan untuk mampu menemukan apa yang menjadi potensi diri atau bakat alaminya.
2. Mengasah kompetensi diri sehingga menjadi ahli
Merujuk pada faktor pertumbuhan anak, maka setiap manusia dapat mengembangkan minat dan bakatnya. Tidak hanya sampai di situ, bahkan tiap manusia akan mencapai label sebagai manusia yang memiliki kompetensi dan berkemampuan menjadi yang terbaik.
3. Memotivasi tiap individu untuk menentukan sebuah pilihan
Dengan keyakinan pembawaan yang dipaparkan, maka setiap manusia diharapkan mampu berkomitmen dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang menjadi pilihan dalam hidupnya.
Dari berbagai sumber
Post a Comment