Pengertian Resiliensi, Aspek, Ciri, dan Faktor Pembentuknya

Table of Contents
Pengertian Resiliensi

A. Pengertian Resiliensi (Resilience)

Resiliensi (Resilience) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menghadapi dan mentransformasikan masalah-masalah yang telah, sedang dan akan dihadapi sepanjang kehidupan. Resiliensi merupakan sebuah proses dan bukan atribut bawaan yang tetap, artinya resiliensi sebagai bagian dari perkembangan kesehatan mental dalam diri seseorang yang dapat ditingkatkan dalam siklus kehidupan seseorang.

Resiliensi bisa juga diartikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menghadapi dan mencegah hal yang berpotensi merugikan, merespons secara sehat saat menghadapi kesulitan, di mana hal tersebut penting untuk mengelola bisnis. Mencegah dari kondisi-kondisi yang tidak baik, atau bahkan dapat mengubah kondisi yang tidak baik menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.

Ada individu yang mampu bertahan dari situasi negatif dengan mudah tetapi ada juga individu yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang sulit. Kemampuan untuk terus melanjutkan bisnis setelah mengalami kesulitan dan penuh tekanan tentunya bukan hal yang mudah. Kemampuan tersebut adalah bagian dari resiliensi bisnis.

Resiliensi (Resilience) Menurut Para Ahli
1. Reivich dan Shatté (2002), resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
2. Garmezy (1991), resiliensi adalah keberhasilan seseorang dalam beradaptasi dengan kondisi yang tidak menyenangkan/buruk.
3. Grotberg (2001), resiliensi adalah kapasitas universal dari individu atau kelompok untuk mencegah, meminimalisasi, atau bahkan mengatasi efek yang merusak.
4. Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kemampuan individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami kesulitan.
5. Riley dan Masten (2005), resiliensi adalah sebuah pola adaptasi yang bersifat positif dalam menghadapi kesulitan.
6. Keye & Pidgeon (2013), resiliensi adalah kemampuan untuk mempertahankan stabilitas psikologis dalam menghadapi stres.
7. Ledesma (2014), resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan, frustrasi, dan kemalangan.
8. Wright & Masten (2015), resiliensi adalah hasil dari adaptasi yang sukses meskipun terdapat situasi yang menantang atau mengancam.
9. APA Dictionary of Psychology, VandenBos (2015: hal. 910), resiliensi adalah sebuah proses dari hasil adaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit atau menantang, terutama melalui mental, emosional dan perilaku yang fleksibilitas, baik penyesuaian eksternal dan internal.

B. Aspek Resiliensi (Resilience)

Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik di antaranya,
1. Regulasi Emosi
Menurut Reivich dan Shatté (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. 

Baca Juga: Regulasi Emosi: Pengertian Aspek, Faktor yang Mempengaruhi, Strategi, dan Tahapannya

Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekspresian emosi yang tepat menurut Reivich dan Shatté (2002) merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien.

Reivich dan Shatté (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.

2. Pengendalian Impuls
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka.

Individu seperti itu sering kali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.

3. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga (Reivich & Shatté, 2002).

Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang (Reivich & Shatté, 2002). 

Baca Juga: Pengertian Optimisme, Aspek, dan Manfaatnya

4. Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain (Reivich & Shatté, 2002).

Selain itu, Werner dan Smith (dalam Lewis, 1996) menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatté, 2002).
 
5. Analisis Penyebab Masalah
Seligman (dalam Reivich & Shatté, 2002) mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya. Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi di antaranya,
1. Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi.
2. Permanen (selalu-tidak selalu): individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara.
3. Pervasive (semua-tidak semua): individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir ‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi.

Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.

6. Efikasi Diri
Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. 

Baca Juga: Pengertian Self Efficacy (Keyakinan Diri), Dimensi, Faktor Pembentuk, dan Klasifikasinya

Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.

7. Peningkatan Aspek Positif
Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan.

Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi (Reivich dan Shatte, 2002).

C. Ciri Individu yang Memiliki Resililiensi (Resilience)

Pengertian Resiliensi
Individu yang memiliki resiliensi yang tinggi akan cenderung easygoing, mudah bersosialisasi, memiliki keterampilan berpikir yang baik termasuk keterampilan sosial dan kemampuan menilai sesuatu, memiliki orang di sekitar yang mendukung, memiliki satu atau lebih bakat, yakin pada diri sendiri dan percaya pada kemampuannya dalam mengambil keputusan serta memiliki spritualitas dan religiusitas.

Kebajikan (virtue) dan kekuatan (strength) sebagai dasar untuk memiliki resiliensi (Chung, 2008). Menurut Baumgadner (2010) individu yang resiliensinya tinggi akan menampilkan kemampuan  dalam dirinya yang meliputi di antaranya,
1. Intelektual yang baik dan kemampuan memecahkan masalah
2. Mempunyai temperamen yang easy-going dan kepribadian yang dapat beradaptasi terhadap perubahan
3. Mempunyai self image yang positif dan menjadi pribadi yang efektif
4. Optimis
5. Mempunyai nilai pribadi dan nilai budaya yang baik
6. Mempunyai selera humor

D. Faktor yang Dapat Meningkatkan Resiliensi (Resilience)

Menurut Benard (2004),  meningkatkan resiliensi adalah hal yang penting karena dapat memberikan pengalaman bagi individu dalam menghadapi permasalahan dan kesulitan di dalam hidupnya. Ada tiga hal yang dapat diberikan lingkungan untuk meningkatkan resiliensi seseorang di antaranya,
1. Caring relationship.
Adalah dukungan cinta yang didasari oleh kepercayaan dan cinta tanpa syarat. Caring relationship dikarakteristikkan sebagai dasar penghargaan yang positif. Contohnya seperti memegang pundak, tersenyum, dan memberi salam.

2. High expectation massages.
Merupakan harapan yang jelas, positif, dan terpusat kepada seseorang. Harapan yang jelas merupakan petunjuk dan berfungsi mengatur di mana orang dewasa memberikan harapan tersebut untuk perkembangan seseorang.

Harapan yang positif, dan terpusat mengomunikasikan kepercayaan yang mendalam dari orang dewasa dalam membangun resiliensi dan membangun kepercayaan dan memberikan tantangan untuk membuat seseorang menjadi apa yang mereka inginkan.

3. Opportunities for participation and contribution.
Kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memiliki tanggung jawab, dan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Di samping itu opportunities juga memberikan kesempatan untuk melatih kemampuan problem solving dan pengambilan keputusan.
 
Sementara menurut Davis (1999), faktor-faktor pembentuk resiliensi di antaranya,
1. Faktor resiko: mencakup hal-hal yang dapat menyebabkan dampak buruk atau menyebabkan individu beresiko untuk mengalami gangguan perkembangan atau gangguan psikologis.
2. Faktor pelindung: merupakan faktor yang bersifat menunda, meminimalkan, bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif. Ada tiga faktor pelindung yang berhubungan dengan resiliensi pada individu, yaitu:
a. Faktor individual: merupakan faktor-faktor yang bersumber dari dalam individu itu sendiri, yaitu sociable, self confident, self-efficacy, harga diri yang tinggi, memiliki talent (bakat).
b. Faktor keluarga: keluarga yang berhubungan dengan resilensi, yaitu hubungan yang dekat dengan orangtua yang memiliki kepedulian dan perhatian, pola asuh yang hangat, teratur dan kondusif bagi perkembangan individu, sosial ekonomi yang berkecukupan, memiliki hubungan harmonis dengan anggota keluarga lain.
c. Faktor masyarakat sekitar: memberikan pengaruh terhadap resiliensi pada individu, yaitu mendapat perhatian dari lingkungan, aktif dalam organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment