Jalaluddin Rumi: Sufi Persia yang Mendunia
Siapakah Jalaluddin Rumi?
Jalal ad-Din Muhammad Rumi lahir di daerah Persia, tepatnya di Balkh, pada 06 Rabiul Awwal 604 H atau 30 September 1207 M. Rumi adalah seorang penyair sufi Persia, teolog Maturidi, sekaligus ulama yang lahir di Balkh (sekarang Samarkand), Persia Raya.
Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi Persia yang karyanya terkenal hingga ke Amerika Serikat. Selama tujuh abad terakhir, puisi-puisinya yang sangat berpengaruh terhadap sastra Persia telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Baca Juga: Tasawuf: Pengertian, Sejarah, Dasar, Prinsip, Tujuan, dan Alirannya
Salah satu karya terkenal Rumi adalah Kitab Masnawi, yang dianggap sebagai salah satu puisi terbaik dalam bahasa Persia dan paling berpengaruh dalam dunia Sufisme.
Biografi Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi sebenarnya hanya nama julukan. Sedangkan nama lengkapnya adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husin Al Khatihbi Al Bakri. Julukan Rumi didapatkan karena ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya, kota yang sekarang bagian dari Turki dan dulunya dikenal dengan sebutan Rum.
Ayah Rumi bernama Bahauddin Walad, yang masih merupakan keturunan dari Abu Bakar, sahabat utama Nabi Muhammad. Sang ayah merupakan seorang cendekia yang saleh dan guru terkenal di Balkh, sementara ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm.
Ketika Rumi baru berusia tiga tahun, keluarganya mendapat ancaman dari pasukan Mongol, sehingga harus pindah ke Rum di Anatolia tengah, Turki. Semasa perjalanannya, Rumi bersama keluarganya sempat singgah di Kota Nishapur, yang merupakan tempat kelahiran seorang penyair, Omar Khayyam.
Karena latar belakang keluarganya, Rumi pun menjadi sangat dekat dengan ilmu agama dan banyak mempelajari tentang Sufi. Dalam dunia Islam, Sufisme mengajarkan ilmu cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagian yang abadi.
Kehidupan masa kecil Jalaluddin Rumi dihabiskan untuk mencari ilmu. Tak ayal sejak umur belia Rumi telah menguasai berbagai bidang keilmuan, baik tata bahasa Arab, ilmu persajakan, Al-Qur’an, ilmu hukum, teologi, filsafat, matematika, hingga astronomi. Hal ini didorong oleh sang ayah sebagai orang pertama yang memberikan kontribusi besar terhadap intelektualitas Jalaluddin Rumi.
Burhanuddin at Tirmidzi dan Syamsuddin at Tabriz
Sepeninggal ayahnya, Rumi berguru kepada Burhanuddin at Tirmidzi yang merupakan salah seorang murid terpintar ayahnya di Balkh. Dari Burhanuddin at Tirmidzi, Rumi banyak belajar tentang berbagai hal mengenai spiritual dan rahasia dari kekuatan spiritual tersebut.
Selain menimba ilmu kepada Burhanuddin at Tirmidzi, Rumi juga beguru kepada Syamsuddin at Tabriz. Syamsuddin sendiri merupakan seorang ulama sufi dari Tabriz, sebuah daerah di wilayah Iran. Pertemuan keduanya dikisahkan ketika Rumi sedang mengajar lalu datang seorang laki-laki yang tak lain adalah Syamsuddin dengan membawa pertanyaan.
Sejak saat itu Rumi mulai akrab dengan Syamsuddin, kemudian menjadikannya sebagai guru. Dari Syamsuddin at Tabriz, Rumi mulai bisa merasakan hakikat cinta dan bisa menulis rangkaian sajak-sajak sebagaimana yang ditulis oleh penyair terdahulu.
Kiprah Jalaluddin Rumi
Ketika beranjak dewasa, Rumi mulai berkiprah sebagai pengajar dan kepala madrasah, mewarisi posisi ayahnya yang telah meninggal. Sejak itu, ia terus belajar tentang syariat dan tasawuf dari murid ayahnya, Burhaduddin Muhaqqiq Termazi.
Sepeninggal Burhaduddin pada sekitar 1240, Rumi telah ahli dalam hukum Islam dan mulai mengeluarkan fatwa serta berdakwah di masjid-masjid Konya. Pada periode ini, Rumi juga sering melakukan perjalanan, hingga akhirnya bertemu dengan Syamsuddin Al-Tabrizi atau Syams Tabrizi.
Sejak bertemu dengan Tabrizi dan menjadi muridnya, kehidupan Rumi mulai berubah. Ia pun tumbuh menjadi seorang sufi agung yang terkenal dengan karya syair indahnya. Suatu ketika, Tabrizi meninggalkan Rumi tanpa penjelasan apapun. Akibat kepergian gurunya itu, Rumi membuat sebuah kitab berjudul Diwan Syams Tabrizi, yangberisi ungapan kerinduannya terhadap sang guru.
Pada 1244, Rumi bertemu dengan Syamsuddin dari Tabriz, yang kemudian menjadi tokoh yang menyempurnakan ilmunya tentang tasawuf. Setelah Syamsuddin wafat, Rumi bertemu dengan Husamuddin Ghalabi. Tokoh ini yang mengilhaminya untuk menulis pengalaman spiritualnya menjadi karyanya sendiri.
Sufi yang Memanusiakan Manusia
Dalam pandangan filosofinya, Jalaluddin Rumi mengajak manusia ke dalam kehidupan cinta, yaitu kehidupan yang menempatkan manusia pada hakikatnya sebagai orang pecinta dan untuk yang dicinta. Sedangkan mengenai pandangannya tentang manusia, menurut Rumi, manusia adalah inti dari alam dan himpunan sifat alam.
Dalam salah satu puisinya, Rumi mengatakan:
“Segala kesempurnaan dan keindahan yang terlihat dalam diri manusia merupakan pantulan sifat-sifat Allah sebagaimana membiasnya sinar rembulan yang benderang pada sebuah sungai yang bening. Makhluk (manusia) itu bagaikan air bening yang di dalamnya terlihat sifat-sifat Allah, di dalamnya ilmu, keadilan, dan kelembutan Allah terpantul dengan jelas, sebagaimana memantulnya cahaya bintang kejora pada air yang mengalir.”
Rumi berpandangan bahwa dalam diri manusia harus ditumbuhi dan dimekarkan oleh cinta, karena cinta dapat menjadi alat penggerak segala makhluk menuju cinta abadi. Cinta yang demikian akan meningkatkan kepada cinta tanpa batas dan bertemu cinta yang hakiki, yakni cinta kepada pemilik cinta. Jika setiap individu melihat orang lain sebagai manifestasi dari bentuk cinta kepada Tuhannya, maka konflik dan kebencian tidak akan memiliki tempat.
Sebagaimana masyhurnya, pandangan Rumi mengenai cinta adalah komponen penting dalam mengetahui hakikat pemahaman Rumi. Cinta yang diajarkan Jalaluddin Rumi adalah hakikat cinta yang telah lebih dulu ia rasakan, maka setiap individu manusia harus menyadari dan mengenali fitrah dirinya sebagai manusia. Bahkan ia menganjurkan kepada setiap manusia agar mereka menyadari hakikat dirinya dan melaksanakan apa yang menjadi fitrahnya.
Selaras dari hikayat hidupnya, Rumi pun selalu mengajarkan ilmu dan pemahamannya kepada sesamanya. Bagi Rumi setiap manusia tanpa terkecuali berhak atas pemahaman cinta yang sebenarnya. Ia pun mengajarkan pandangan filosofinya tidak hanya berpaku pada murid-murid di sekolah, tetapi ia juga mengajarkan kepada khalayak umum.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, ekstase cinta merupakan hal penting untuk mencapai kedekatan yang sesungguhnya. Cinta mampu mengantarkan manusia kepada hati untuk selalu hidup. Bagi Rumi, hati merupakan satu komponen yang penting karena dengan hati yang baik setiap perbuatan yang dilakukan akan mengantarkan perbuatan yang baik pula.
Dengan demikian, pemahaman Rumi akan cinta Ilahi membuatnya memiliki sifat toleransi dan tidak mengkotak-kotakkan manusia atas manusia yang lain. Ia sendiri selalu menjalin hubungan baik sesama manusia dari berbagai latar belakang baik suku, bangsa, maupun agama. Dengan menerapkan ajaran Rumi ke dalam kehidupan sehari hari, kita dapat menciptakan dunia yang lebih humanis, adil, dan penuh kasih sayang.
Karya Jalaluddin Rumi
Setelah bertahun-tahun menuliskan pengalaman spiritualnya, kitab karya Rumi berhasil diselesaikan yang diberi nama Kitab Masnawi. Kitab Masnawi merupakan kitab yang berisi tentang langkah dan arahan filsafat yang memiliki ciri khas tersendiri dibanding para sufi lainnya.
Melalui puisi-puisi tersebut, Rumi berusaha menyampaikan pemahamannya akan dunia yang mungkin hanya bisa didapatkan lewat cinta, bukan hanya fisik saja. Selain itu, dalam puisinya, Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan merupakan satu-satunya tujuan. Ciri khas lain dari puisi-puisi Rumi adalah ia kerap mengawali puisinya dengan menceritakan kisah-kisah yang digunakan sebagai bentuk pernyataan pikiran dan ide.
Pemikiran Rumi dalam kitab Masnawi disebut sebagai karya sastra terbesar yang dimiliki oleh bangsa Persia. Kitab itu telah dicetak berulang kali oleh berbagai penerbit dan karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Selain Diwan Syams Tabrizi dan Matsnawi, berikut ini beberapa karya Jalaluddin Rumi semasa hidupnya.
1. Al-Majalis as-Sab'ah
2. Majmu'ah min ar-Rasa'il
3. Fihi Ma Fihi
4. Ruba'iyat
Jalaluddin Rumi wafat pada 17 Desember 1273 di Konya. Pemakamannya tidak hanya dihadiri umat Muslim, tapi oleh beragam komunitas masyarakat di kota itu. Bahkan orang-orang Kristen dan Yahudi juga datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepada tokoh penyair yang paling berpengaruh periode itu.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://jatim.nu.or.id
https://www.kompas.com
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment