Reformasi 1998: Sejarah, Tujuan, Latar Belakang, Dampak, dan Beberapa Peristiwa Pentingnya
Sejarah Reformasi 1998
Reformasi 1998 adalah gerakan sosial yang terjadi sebagai respons terhadap krisis ekonomi dan politik yang melanda negara Indonesia pada era Orde Baru. Reformasi Indonesia pada 1998 ditandai dengan lengsernya Soeharto pada 21 Mei, yang kemudian diperingati sebagai Hari Reformasi Nasional.
Baca juga: Definisi Reformasi, Syarat, Faktor Pendorong, Tujuan, dan Latar Belakang Reformasi di Indonesia
Krisis ekonomi, yang ketika itu berkecamuk di Asia dan berimbas hingga ke Indonesia, merupakan impuls eskalasi drama runtuhnya kekuasaan Orba. Mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 kemudian menjadi titik balik persilihan dari Era Orde Baru menjadi Era Reformasi.
Selain itu, terdapat motif lain di balik aksi besar-besaran yang kemudian memukul mundur presiden Soeharto dari jabatannya. Serangkaian protes diserukan demi menghendaki perubahan kehidupan bernegara menuju lebih baik secara konstitusional.
Aksi tersebut didorong oleh daftar panjang ketidakpuasan rakyat terhadap rezim Orde Baru dengan krisis moneter pada 1997-1998 sebagai klimaksnya. Jauh dari adil dan makmur, rakyat kemudian jengah dengan buruknya situasi ekonomi Indonesia, lebih-lebih harga bahan pokok kian mengganas.
Tujuan Reformasi 1998
Gerakan atau Era Reformasi menjadi peristiwa bersejarah di Indonesia, karena mampu menuntaskan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun, sejak 1966. Maksud dan tujuan diadakannya reformasi adalah:
1. Menuntut turunnnya harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tinggi sejak Juli 1997.
2. Menuntut MPR untuk tidak kembali mencalonkan Soeharto sebagai presiden untuk periode ketujuh.
3. Menjelang lengsernya Soeharto, para pejabat melakukan perjanjian simbolik dan beberapa langkah kebijakan ekonomi guna untuk mencoba mengatasi keadaan dan mempertahankan kekuasaan (buying time).
Latar Belakang dan Kronologi Reformasi 1998
Sudah sejak lama rakyat bersambat terkait harga-harga yang melambung serta kebijakan yang semena-mena. Bibit-bibit ketidakpuasan sudah timbul sejak 1997. Terlebih, tahun itu merupakan puncak krisis finansial di Asia, yang kemudian juga berimpak ke Indonesia.
Memasuki 1998, Indonesia menghadapi kondisi ekonomi yang porak-parik. Nilai tukar rupiah anjlok, bahan-bahan pokok melonjak, sedangkan Soeharto kala itu masih denial dan mencoba menenangkan rakyatnya.
Pada 15 Januari tahun itu, Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan IMF. Lewat prosesi itu, ia mencoba meyakinkan rakyatnya, yang kadung panik melihat meroketnya harga-harga, bahwa keadaan ekonomi bakal membaik.
Soeharto menegaskan, kesepakatan dengan IMF membuatnya tak lagi mencantumkan angka pertumbuhan 4 persen di RAPBN 1998/99, melainkan 0, dengan laju inflasi 20 persen dan kurs Rp5.000 per dolar.
Namun, apa daya, rupiah justru semakin melemah pada periode menjelang akhir Januari. Di pasar uang antarbank kala itu, rupiah menyentuh angka psikologis Rp10.600 per dolar.
Menginjak Februari 1998, Soeharto tak lagi bisa tenang melihat kemelut di negeri yang telah dipimpinnya selama lebih dari tiga dekade ini. Walhasil, kepanikan itu tak membuatnya kehilangan kepercayaan diri. Ia tetap ingin menjadi presiden pada periode berikutnya, dengan menetapkan Habibie sebagai pendampingnya.
Niat itu jelas menimbulkan berbagai kritik dari masyarakat. Media massa, yang sebelumnya dibungkam dan tak berani mengkritik pemerintah, mulai frontal memberitakan bobroknya pemerintahan, termasuk kabar penculikan aktivis.
Sepanjang Februari, aksi massa terjadi di mana-mana. Tidak hanya kalangan mahasiswa, dosen dan elemen masyarakat lain juga secara tegas menunjukkan simpatinya.
Namun, bagai mencincang air, upaya demonstrasi besar-besaran itu tak membuat niat Soeharto untuk menjadi presiden lagi lenyap. Pada 10 Maret tahun itu, ia ditetapkan sebagai presiden untuk yang ke-7 kalinya, melalui Sidang Umum MPR.
Pada saat yang sama, krisis moneter tak juga membaik. Bahkan, empat hari sebelum penetapan itu, tepatnya 6 Maret, nilai rupiah tembus Rp12.000 per dolar AS. Di tengah situasi itu, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya terus menggelorakan protes di berbagai daerah.
Intensitas dan partisipan protes terus meningkat seiring April menyambut. Akan tetapi, pada saat yang sama pula aparat tak segan main kasar, bahkan menembak para demonstran. 6 April 1998, Media Indonesia melaporkan 38 mahasiswa hilang pasca-unjuk rasa.
Pintu bulan Mei terbuka, tetapi upaya reformasi ekonomi Soeharto masih buntu. Pada tanggal 5 bulan itu, Republika melaporkan bahwa BBM dan tarif dasar listrik naik, masing-masing sebesar 46,3 persen dan 60 persen.
Soeharto sempat meminta bantuan ke berbagai negara seperti Jepang, Australia, dan Malaysia. Dari Negeri Kangguru, Indonesia memperoleh bantuan 30 juta dolar berupa bahan pokok.
Pada titik itu--krisis ekonomi yang semakin suram--Soeharto masih optimistis. Ia terus menggemakan agar rakyat tenang serta mencegah timbulnya reformasi. Namun pada kenyataannya, titah itu berwujud tragedi penghilangan paksa para mahasiswa, termasuk Tragedi Trisakti.
Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia. Akibatnya, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pun mendapat banyak tekanan politik baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari luar negeri, Amerika Serikat secara terbuka meminta agar Soeharto mengundurkan dari jabatannya sebagai Presiden. Sedangkan dari dalam negeri, terjadinya gerakan mahasiswa yang turun ke jalan menuntut agar Soeharto lengser dari jabatannya.
Kepemimpinan Soeharto semakin menjadi sorotan sejak terjadinya Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa tertembak mati dan memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari kemudian.
Tekanan dari para massa terhadap Soeharto pun memuncak ketika sekitar 15.000 mahasiswa mengambil alih Gedung DPR/MPR yang berakibat proses politik nasional lumpuh.
Soeharto yang saat itu sudah terdesak masih berusaha untuk menyelamatkan kursi kepresidenannya dengan melakukan perombakan kabinet dan membentuk Dewan Reformasi.
Tetapi, pemberontakan yang dilakukan oleh para mahasiswa ini membuat Presiden Soeharto tidak memiliki pilihan lain selain mengundurkan diri. Pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka, Presiden Soeharto secara resmi menyatakan dirinya berhenti menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Melalui UUD 1985 Pasal 8, Soeharto segera mengatur agar Wakil Presiden BJ Habibie disumpah untuk menjadi penggantinya di hadapan Mahkamah Agung.
Sejak saat itu, kepemimpinan beralih dari Soeharto ke BJ Habibie dan terbentuk Era Reformasi.
Berikut kronologi reformasi 1998
5 Mei 1998: 20 mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk melakukan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban yang disampaikan pada Sidang Umum MPR.
- 11 Maret 1998: Soeharto dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
- 14 Maret 1998: Soeharto menyampaikan kabinet baru bernama Kabinet Pembangunan VII.
- 15 April 1998: Soeharto meminta mahasiswa menghentikan aksi demonstrasi dan kembali ke kampus.
- 1 Mei 1998: Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan mengatakan reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
- 2 Mei 1998: Soeharto meralat pernyataannya, bahwa reformasi bisa dimulai sekrang (1998).
- 4 Mei 1998: Mahasiswa di Medan, Bandung, dan Yogyakarta melakukan demonstrasi besar-besaran karena menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak (2 Mei 1998).
- 5 Mei 1998: Terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran di Medan yang berujung kerusuhan.
- 12 Mei 1998: Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara damai.
- 13 Mei 1998: Mahasiswa di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke Kampus Trisakti untuk mengungkapkan duka cita yang berujung kerusuhan.
- 14 Mei 1998: Soeharto bersedia mengundurkan diri.
- 15 Mei 1998: Soeharto membantah bahwa ia ingin mengundurkan diri dari jabatannya.
- 16 Mei 1998: Warga asing berbondong-bondong kembali ke negeri mereka.
- 21 Mei 1998: Di Istana Merdeka, pukul 09.05, Soeharto menyatakan mundur dari kursi Presiden dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden RI ketiga.
Dampak Reformasi 1998
Reformasi 1998 meninggalkan dampak besar bagi negara, utamanya bagi mereka yang memiliki darah etnis Tionghoa. Mereka adalah kelompok paling terdampak dan korban utama dari kerusuhan dan penjarahan menjelang 21 Mei.
Baca Juga: Kerusuhan Mei 1998: Sejarah, Penyebab, Kronologi, Dampak, dan Peristiwa Pentingnya
Setelah Soeharto Lengser, Indonesia yang kala itu dinahkodai Presiden Bacharudin Jusuf (BJ) Habibie mulai menyiasati sejumlah perubahan sebagaimana diinginkan rakyat segmen demi segmen. Mantan Wakil Presiden dari Soeharto tersebut perlahan membawa negara ini bangkit dari keterpurukan.
Upaya yang dilakukan BJ Habibie antara lain adalah menumbuhkan kembali demokrasi dan kebebasan berpendapat, menamatkan pembungkaman menahun yang dilakukan rezim Orde Baru. Putusan tersebut dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang memuat 10 bab dan 21 pasal.
Habibie juga memberikan otonomi kepada daerah-daerah melalui UU No.22 Tahun 1999. Ia menghapus sentralisasi--karakteristik rezim Orde Baru yang sudah mendarah daging--dengan menerbitkan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kedua undang-undang tersebut kemudian mengembalikan semangat demokrasi yang dampaknya dapat dirasakan hingga saat ini. Walakin, selama berkuasa, Habibie pernah mengambil langkah kontroversial, yakni memberikan referendum kepada Timor Timur yang diintegrasikan secara paksa lewat invasi militer pada 1975.
Baca Juga: Referendum Kemerdekaan Timor Leste 1999: Sejarah, Kronologi, Hasil, dan Masa Transisinya
Perubahan setelah reformasi dapat dikatakan cukup signifikan. Sebagai misal, partai politik baru bermunculan usai runtuhnya rezim Orde Baru. Partai-partai tersebut berangkat dari berbagai latar belakang dan tujuan.
Tuntutan pembebasan tapol (tahanan politik) dan napol (narapidana politik) Islam dari sejumlah organisasi kepada pemerintah juga merupakan wujud upaya transformasi.
Reformasi juga memberikan dampak besar di bidang sosial. Meski pemerintahan otoriter telah tumbang, sebagian masyarakat masih menyisakan trauma.
Pada hari-hari menjelang 21 Mei 1998, banyak masyarakat melakukan penjarahan, pembakaran, pemerkosaan, terutama terhadap etnis Tionghoa. Itu jelas membuat traumatis mendalam bagi para korban, serta pecahnya kerukunan antarmasyarakat.
Terakhir, reformasi juga meninggalkan dampak dalam bidang ekonomi. Layaknya jauh panggang dari api, keadaan ekonomi Indonesia pasca-reformasi, menurut Ikhsan Sirot & Hamdan Tri Atmaja dalam Journal of Indonesian History 9 (2), justru semakin melemah.
Pasalnya, selama proses reformasi banyak Instansi perbankan yang dibekukan sebab utang luar negeri yang menggunung. Kondisi ini menyebabkan perekonomian Indonesia semakin buruk, bahkan digadang-gadang belum bisa menyamai progres pertumbuhan ekonomi pada masa Orde Baru yang sempat bertumbuh hebat.
Beberapa Peristiwa Penting
Tragedi Trisakti
Tragedi Trisakti menjadi salah peristiwa paling membekas sepanjang Era Orde Baru. Peristiwa ini terjadi pada 12 Mei 1998 silam, di mana empat mahasiswa yang sedang demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya tertembak dan tewas. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1998).
Insiden Berdarah di Medan 1998
Sewaktu Kerusuhan Mei 1998 sedang marak terjadi, salah satu kota yang juga banyak terjadi pertumpahan darah adalah Kota Medan. Insiden berdarah di Medan ini terjadi pada 6 Mei 1998. Kota ini mengalami kerusuhan yang hampir melumpuhkan kota tersebut.
Waktu itu, ratusan toko dirusak, sejumlah kendaraan dibakar, serta lima orang tewas dan puluhan orang mengalami luka-luka akibat aksi unjuk rasa yang mereka lakukan.
Tragedi Gejayan atau Tragedi Yogyakarta
Tragedi Gejayan menjadi sebuah peristiwa bentrokan berdarah yang terjadi pada Jumat, 8 Mei 1998 di daerah Gejayan, Yogyakarta. Kerusuhan yang terjadi pada saat itu lantaran para demonstran mengunjuk rasa dan menuntut agar Soeharto lengser dari jabatannya.
Dari peristiwa ini, terjadi banyak kekerasan antara aparat dengan mahasiswa Yogyakarta yang menyebabkan ratusan korban terluka, bahkan satu orang meninggal dunia, Moses Gatutkaca.
Tragedi Penjarahan dan SARA jelang Reformasi 1998
Setelah terjadinya tragedi pertumpahan darah di sejumlah daerah di Indonesia, suasana di Kota Jakarta kembali mencekam pada 13 sampai 15 Mei 1998. Kala itu, Indonesia tengah mengalami krisis moneter, di mana hutang menumpuk dan dollar semakin meningkat.
Belum selesai dengan krisis moneter, peristiwa nahas lain juga terjadi, di mana kios-kios dibakar, wanita etnis Tionghoa mengalami pelecehan seksual. Ratusan orang juga dikabarkan hilang serta tewas dalam kerusuhan ini.
Sumber:
https://tirto.id
https://www.kompas.com
https://fahum.umsu.ac.id
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment