Jenderal Soedirman dan Perjuangannya untuk Indonesia

Table of Contents

Jenderal Soedirman
Siapa itu Jenderal Soedirman?

Jenderal Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Jenderal Soedirman adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebagai Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama, beliau adalah sosok yang dihormati di Indonesia. 

Baca Juga: Revolusi Indonesia: Pengertian, Latar Belakang, Sejarah, dan Dampaknya

Beliau dilantik pada tanggal 18 Desember 1945. Setelah melalui berbagai macam perjuangan, pada tahun 1948, Soedirman divonis mengidap penyakit tuberkulosis yang menyebabkan paru-paru kanannya harus dikempeskan pada November 1948.

Jenderal Soedirman meninggal kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Biografi dan Pendidikan

Jenderal Soedirman memiliki nama asli yakni Raden Soedirman yang lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartowiraji dan Siyem (Pusat Sejarah ABRI, 1979: 7).

Karsid Kartowiraji adalah seorang petani yang tinggal di Desa Gentawangi, Jatilawang, yang  bekerja sebagai buruh pabrik gula di Kalibogor dan kemudian pindah ke Dukuh Rembang sebagai petani. Karena himpitan ekonomi keluarganya, pada saat bayi, Soedirman akhirnya diangkat oleh pamannya yang kebetulan tidak memiliki anak.

Pamannya, Raden Tjokrosunarjo merupakan seorang Camat atau Asisten Wedana Kecamatan Rembang. Saat pensiun dari jabatannya sebagai camat, Raden Tjokrosunarjo beserta keluarga dan Soedirman pindah ke Cilacap.

Saat kecil Soedirman tidak mengetahui bahwa dirinya merupakan anak angkat.  Raden Tjokrosunarjo dan orang tua kandungnya tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Sudirman baru tahu bahwa dia anak angkat ketika Raden Tjokrosunarjo memberitahukan hal itu kepadanya beberapa saat sebelum beliau meninggal dunia pada tahun 1934 (Salam 1963: 15).

Pada tahun 1923, saat usianya tujuh tahun, Soedirman masuk Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Cilacap (Pusat Sejarah ABRI, 1979: 7). Sekolah tersebut merupakan sekolah khusus pribumi dari golongan bangsawan atau pegawai yang bekerja di pemerintahan Hindia Belanda.

Setelah menyelesaikan pendidikan HIS di Cilacap, Soedirman melanjutkan pendidikan lanjutan di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) Wiworotomo pada tahun 1932. Di MULO Wiworotomo, Soedirman mendapatkan didikan dari guru-guru yang merupakan tokoh pergerakan anti-Belanda.

Di sekolah ia aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo. Selain aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo, Soedirman juga aktif sebagai anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO pada tahun 1935, Soedirman kemudian memasuki organisasi Kepanduan Hizbul Wathon (HW). HW merupakan salah satu organisasi Islamis yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme.
 
Setelah menyelesaikan di Wiworotomo, ia kemudian melanjutkan pendidikan di Muhammadiyah Solo namun hanya bertahan satu tahun saja, karena ibu angkatnya tidak memiliki biaya lagi. Pada tahun 1936 ia kembali ke Cilacap dan diangkat menjadi guru di H.I.S Muhammadiyah Cilacap, yang pada saat itu baru didirikan sambil terus aktif dalam berbagai organisasi.

Pada tahun 1936 Soedirman menikah dengan Alfiah, puteri R. Sastroadmodjo di Plasen Cilacap. Alfiah merupakan teman sewaktu sekolah di MULO Wiworotomo. Soedirman terpilih sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) Jawa Tengah (Sardiman 2000: 78).

Karier Militer dan Perjuangannya untuk Indonesia

Dalam menapaki karier di dunia militer, awalnya Soedirman tergabung dalam Lucht Bescherming Dienst (LBD) atau Penjaga Bahaya Udara di Cilacap. LBD merupakan dinas bentukan Belanda dalam rangka menghadapi perang Asia Pasifik dan juga antisipasi serangan yang dilakukan oleh Jepang. 

Baca Juga: Perang Pasifik: Sejarah, Latar Belakang, dan Dampaknya

Berkat kegigihannya, ia ditunjuk sebagai kepala LBD di Cilacap. Dari kepercayaan yang diberikan itu, ia semakin memiliki tanggung jawab yang besar untuk keselamatan masyarakat. Soedirman tidak pernah lelah melakukan koordinasi kepada para anggota LBD agar terus aktif dalam memberikan pengarahan mengenai cara-cara menyelamatkan diri.

Selain itu ia mengharapkan anggota LBD juga membantu rakyat dalam upaya menyelamatkan diri. Pelabuhan Cilacap dijadikan daerah pertahanan yang strategis bagi pemerintah Hindia Belanda. Pelabuhan itu juga dipersiapkan untuk mengangkut pengunduran pasukan Hindia Belanda apabila perang berkobar dan pasukan Hindia Belanda terdesak.

Dalam menghadapi hal tersebut Soedirman sebagai kepala, meminta kepada setiap anggota masyarakat untuk membentuk pos-pos penjagaan yang dilengkapi dengan kentongan dan dijaga oleh anggota LBD (Midaanzasari 2011: 34-35).

Soedirman tetap menjadi kepala LBD hingga Jepang menguasai Indonesia. Pada masa Jepang jabatan LBD dihapus tentara pendudukan. Karena bakatnya dalam bidang militer sudah terbentuk sejak masa sekolah, akhirnya Soedirman mendaftarkan diri sebagai anggota PETA. 

Baca Juga: Pendudukan Jepang di Indonesia: Sejarah, Perlawanan, dan Dampaknya

Soedirman mengikuti pendidikan Daidancho di Bogor Angkatan II. Selama pendidikan Soedirman dikenal sebagai orang yang taat dan berdisiplin. Soedirman bahkan sering menentang tindakan para pelatihnya yang bertindak sewenang-wenang kepada para anggota, tetapi pelatihnya tetap menghargai sikapnya tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Bogor, Soedirman diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) di Daidan Kroya. Sebagai komandan Batalyon Soedirman sudah mempersiapkan diri dalam melaksanakan tugasnya (Midaanzasari 2011: 42-43).

Karirnya sebagai militer di PETA terus berlangsung dan tetap menjadi komandan batalyon. Selama menjabat sebagai komandan batalyon, Soedirman sering membantah perintah tentara Jepang sehingga menimbulkan kecurigaan dari tentara Jepang sendiri. Selain itu, Soedirman juga pernah mendamaikan pertikaian yang terjadi antara sesama anggota PETA di Gumilir.

Dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Jepang secara resmi membubarkan PETA dan Heiho. Tidak lama berselang, kemudian atas maklumat yang dikeluarkan Sukarno, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Atas instruksi tersebut, Soedirman kemudian membentuk BKR di Banyumas dan menjadi pimpinan umum.

Selaku pimpinan BKR, apalagi dalam keadaan genting, Soedirman harus sering berada di markasnya untuk menjalankan dan mengetahui segala hal tentang tugas dan kewajibannya. Soedirman sering mengatur tugas-tugas BKR bersama para pejabat penyelenggara Pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk.

Pada tanggal 05 Oktober 1945, pemerintah kemudian mengubah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam kesempatan itu, Soedirman dipercaya menjadi Panglima Tertinggi TKR yang saat itu usianya masih 29 tahun. Beberapa saat setelah terpilih menjadi Panglima TKR Soedirman belum dilantik secara resmi menduduki jabatannya, sehingga statusnya tetap menjadi Komandan Divisi V Purwokerto. 

Baca Juga: Tentara Keamanan Rakyat (TKR): Pengertian, Sejarah, dan Pergantian Namanya

Sembari menunggu pelantikannya, Soedirman tetap menjalankan tugas-tugasnya. Tugas yang diembannya sebelum pelantikan adalah melucuti senjata pasukan Jepang dan melakukan koordinasi dengan pasukan sekutu.

Pada 19 Oktober 1945, pasukan sekutu berhasil mendarat di Semarang sebagai jalan menuju Yogyakarta. Pasukan sekutu yang membonceng NICA ternyata ingin menguasai Yogyakarta sebagai kota penting di Jawa. Akan tetapi usaha ini digagalkan oleh Soedirman.

Pertempuran semakin memanas antara pihak sekutu dengan pejuang republik. Pasukan sekutu yang berusaha memukul mundur pasukan Soedirman hingga ke Magelang dan terjadi pertempuran besar. Gigihnya pasukan yang dipimpin oleh Soedirman membuat pasukan sekutu mundur dan Magelang berhasil dikuasai kembali oleh pasukan republik.

Pasukan sekutu kemudian mundur ke wilayah Ambarawa. Setelah berhasil memukul mundur pasukan Sekutu dan atas pertimbangan Presiden Sukarno, pada tanggal 18 Desember 1945 Soedirman dilantik menjadi Panglima Tertinggi TKR. Atas pelantikan tersebut, akhirnya Soedirman resmi mendapat gelar sebagai seorang jenderal (Adi, 2011: 47-50). 

Baca Juga: Pertempuran Ambarawa (Palagan Ambarawa): Sejarah, Latar Belakang, Penyebab, dan Tokohnya

Saat menjabat sebagai Panglima Tertinggi TKR, tugas pertama Soedirman adalah melakukan reorganisasi di dalam tubuh ketentaraan Indonesia. Hal ini dilakukan Soedirman agar sistem ketentaraan di Indonesia terlihat jelas.

Dalam melaksanakan tugasnya ia bekerja sama dengan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, ia bahkan tidak segan-segan meminta pertimbangannya dalam memecahkan suatu masalah. Mereka dikenal sebagai dwitunggal dalam bidang ketentaraan.

Tugas pertamanya sebagai Panglima Besar setelah dilantik adalah menyempurnakan organisasi TKR. Ia harus memantapkan kelembagaan tentara yang sudah dimiliki dengan menyusun dan mengatur strategi pertahanan TKR yang kuat, baik secara perang fisik maupun mental personilnya guna melawan kekuatan lawan.

Apa lagi dalam tubuh pemerintahan masih terjadi persoalan antara kabinet Sjahrir dengan kedudukan lasykar (Midaanzasari2011: 58-59). Karena situasi makin genting, memasuki tahun 1946 ibu kota negara RI berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Sutan Sjahrir selaku Perdana Menteri berupaya menyelesaikan konflik dengan jalan perundingan.

Namun pada kenyataannya pihak tentara ingin menyelesaikan dengan cara bersenjata. Hal ini dikarenakan pihak Belanda yang semakin sulit dikendalikan, apalagi setelah ada rencana tentara Inggris (sekutu) untuk segera menarik diri dari Indonesia.

Di satu sisi pemerintah RI menghadapi persoalan yang timbul di dalam negeri, dan di sisi lain pihak Belanda telah selesai mendaratkan seluruh pasukannya di Indonesia. Pada tanggal 28 Mei 1946 terjadi serangan tentara NICA terhadap Akademi Militer di Tangerang yang menimbulkan banyak korban.

Namun karena tentara adalah pendukung politik dari kebijakan pemerintah, maka pertempuran bersenjata terpaksa ditunda dengan mengikuti proses perundingan yang berlangsung (Tjokropranolo, 1992: 76).

Pada tanggal 1 Oktober 1946 dilakukan perundingan antara Sutan Sjahrir dengan pemerintah Belanda di Linggarjati. Dalam perundingan tersebut dicapai kesepakatan gencatan senjata. Soedirman ditunjuk sebagai salah satu panitia gencatan senjata. Sebagai kelanjutan dari perundingan tersebut, sebagai anggota panitia gencatan senjata, Soedirman bersama Urip Soemahardjo berangkat ke Jakarta.

Di perjalanan, di stasiun Klender, rombongan Soedirman dihadang oleh pasukan Belanda dan berusaha melucuti senjata. Atas tindakan sepihak yang dilakukan Belanda tersebut, Soedirman marah dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta jika Pasukan Belanda tetap ingin melucuti senjata mereka.

Ancaman Soedirman membuat Belanda mengaku salah dan meminta maaf serta memperbolehkan Soedirman dengan Urip Soemohardjo menghadiri perundingan. Pada tanggal 5 November 1946, Soedirman kembali ke Yogyakarta. Dari perundingan tersebut kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Perjanjian Linggarjati.

Pada 1948 Belanda menyerang Yogyakarta dan wilayah Jawa Tengah lainnya. Setelah mengetahui kota Yogyakarta diduduki oleh militer Belanda, Jenderal Soedirman beserta rombongan meninggalkan Yogyakarta menuju Bantul. Perjalanannya menuju ke Bantul ternyata harus dilakukan dengan hati-hati, dan tidak bisa berjalan dengan lancar.

Sesekali Jenderal Soedirman harus berhenti dan mencari perlindungan yang aman karena perjalanan mereka dihambat oleh serangan-serangan udara yang dilancarkan oleh militer Belanda. Serangan tersebut dilakukan dengan membabi buta di berbagai tempat dan kota (Sardiman, 2000: 202).

Setelah sampai di Bantul pada sore hari, Jenderal Soedirman menyusun siasat dan mengadakan perang gerilya dalam menghadapi militer Belanda yang bersenjatakan lengkap. Dalam memimpin pasukannya Jenderal Soedirman menghadapi medan yang sangat sulit.

Di samping itu kesehatan Jenderal Soedirman tidak dalam kondisi fit akibat penyakit Tuberculosis (TBC) yang dideritanya. Sering kali ia ditandu oleh anak buahnya. Pada tanggal 23 Desember 1948 waktu meninggalkan Wonogiri menuju ke Ponorogo.

Wonogiri tempat yang semula dijadikan perlindungan diserang dari udara oleh pesawat militer Belanda. Dalam perjalanannya memimpin pasukan, Jenderal Soedirman sering kali harus berlindung di bawah pepohonan yang rindang, karena pesawat udara Belanda terus mengintai arah perjalanannya.

Jenderal Soedirman dalam memimpin perang gerilya juga tidak luput dari pengawasan mata-mata tentara Belanda. Pada tanggal 25 Desember 1948, ada seseorang yang datang ke tempat Jenderal Soedirman dan pura-pura mengatakan dia hendak mencari Panglima Besar. Hal ini telah menimbulkan kecurigaan di kalangan anak buah Jenderal Soedirman.

Untuk itu ia segera meninggalkan tempatnya dan berpindah tempat menuju hutan dengan berjalan kaki. Sebelum pindah lokasi, Soedirman merancang siasat dengan Kapten Suparjo dan beberapa anak buahnya. Kapten Suparjo memerintahkan Letnan Herru Kesser untuk menyamar sebagai Pak Dirman karena bentuk tubuhnya dan ukuran badannya hampir mirip dengan Panglima Tertinggi.

Dalam menyamar ia langsung bergerak ke selatan dengan ditandu dan berhenti di suatu rumah. Di dalam rumah tersebut ia segera menanggalkan pakaian yang sering dipakai Jenderal Soedirman. Setelah itu ia dan teman-temannya segera meninggalkan rumah tersebut tanpa diketahui oleh mata-mata musuh.

Kapten Suparjo memang cerdik, ternyata taktiknya sangat berhasil, karena pada sore harinya rumah tersebut dibom oleh 3 buah pesawat pemburu Belanda hingga terbakar habis. Berkat taktik Kapten Suparjo yang berhasil mengelabui Belanda, maka Jenderal Soedirman bisa selamat dari serangan musuh (Midaanzasari 2011: 88-90).

Pada waktu Jenderal Soedirman sampai di Desa Banyutowo terjadi pertempuran antara pasukan TNI melawan pasukan patrol Belanda. Dalam pertempuran tersebut beberapa anggota TNI menderita luka-luka. Pertempuran itu pecah karena pasukan TNI ingin melindungi Jenderal Soedirman supaya tidak tertangkap tentara Belanda.

Kemudian Jenderal Soedirman memilih mundur sambil memberikan perlawanan karena kalah persenjataan. Untuk menghilangkan jejak supaya tidak diketahui tentara Belanda, Jenderal Soedirman beserta anak buahnya masuk hutan dan naik gunung, dan pasukannya disuruh untuk berpencar.

Hingga akhir Agresi Militer Belanda II, Soedirman tidak pernah tertangkap oleh pasukan Belanda bahkan hingga pengakuan kedaulatan secara penuh sebagai hasil dari KMB.

Segera setelah pengakuan kedaulatan, setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), walaupun dalam kondisi yang masih sakit, Soedirman tetap dipercaya sebagai Panglima tertinggi TNI.

Wafatnya Jenderal Soedirman

Penyakit yang diderita Jenderal Soedirman kian parah setelah memaksakan diri untuk tetap bergerilya melawan Belanda. Kondisinya yang semakin memburuk tersebut rupanya tidak membuat Jenderal Soedirman menyerah untuk sembuh.

Sang Jenderal tetap rajin kontrol ke Rumah Sakit Panti Rapih di Yogyakarta untuk berjuang melawan penyakitnya. Saat ia sedang di rawat di Sanatorium Pakem Desember 1949, Jenderal Soedirman memperoleh berita bahagia karena Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia melalui Republik Indonesia Serikat Tepatnya 27 Desember 1949.

Sang Jenderal pun akhirnya dipindahkan ke Magelang untuk memperoleh perawatan yang lebih intensif. Namun upaya pengobatan Sang Jenderal tidak berhasil, tepat  1 bulan setelah kedaulatan Indonesia merdeka dari Belanda, Jenderal Soedirman wafat karena penyakit yang ia derita pada 29 Januari 1950.

Ada pasukan konvoi dengan empat buah tank dan 80 buah kendaraan bermotor kemiliteran Indonesia yang mengiringi pemakaman Jenderal Soedirman di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Kepergian Jenderal Soedirman ini dinobatkan sebagai kepergian Sang Pahlawan Pembela Kemerdekaan.

Rakyat Indonesia pun sangat terpukul dan kehilangan sosok pahlawan besar, bahkan ribuan rakyat berkumpul sepanjang 2 kilometer menyaksikan prosesi pemakaman Sang Jenderal.

Masyarakat Indonesia pun mengibarkan bendera merah putih setengah tiang untuk menghormati kepergian Jenderal Soedirman pada hari kematiannya tersebut. Jejak perjuangannya kemudian menjadi esprit de corps untuk tentara Indonesia, yakni taktik gerilyanya yang sangat berani.

Rute perang gerilya sepanjang 100 kilometer yang pernah dilakukan Jenderal Soedirman pun menjadi zona pelatihan kemiliteran bagi para taruna Indonesia yang belum lulus dari akademi militernya. Kisah perjuangan Jenderal Soedirman abadi bagi bangsa Indonesia, hingga namanya banyak dijadikan nama-nama jalan, gedung, universitas, dan museum.

Sang Jenderal kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak 10 Desember 1964 oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1997 Jenderal Soedirman dianugerahi gelar Jenderal Besar Anumerta oleh Soeharto, di mana gelar tersebut hanya dimiliki oleh tiga orang saja di Indonesia hingga saat ini.

Sumber:
https://esi.kemdikbud.go.id
https://www.gramedia.com
https://id.wikipedia.org
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment