D.N. Aidit: Biografi dan Perjalanan Hidupnya

Table of Contents

Biografi Dipa Nusantara Aidit
Biografi D.N. Aidit

Dipa Nusantara Aidit dilahirkan pada 30 Juli 1923 di sebuah rumah yang terletak di Jalan Belantu nomor 3, Pangkal Lalang, Tanjung Pandan, Belitung. Aidit adalah seorang politikus komunis Indonesia, yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia (PKI) dari tahun 1951 hingga eksekusi kilatnya pada saat pembantaian di Indonesia 1965-1966.

Lahir dengan nama Achmad Aidit, ia akrab dipanggil "Amat". Ia merupakan anak Abdullah Aidit, yang pernah memimpin gerakan pemuda di Belitung melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah.

Adapun ibu D.N. Aidit bernama Mailan. Sang ibu berasal dari keluarga ningrat Belitung, putri dari Ki Agus Haji Abdul Rachman dan Nyayu Aminah. Ki Agus dikenal sebagai peneroka kampung Batu Itam sekaligus tuan atas tanah yang dibukanya. Asal-usul Aminah masih belum jelas, tetapi sumber sekunder menyebut leluhur ibu Aidit datang dari Nagari Maninjau, Sumatera Barat.
 
Aidit merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Sang ayah meninggal selagi Aidit masih kecil sehingga ia dibesarkan oleh ayah tiri. Aidit memiliki dua saudara tiri, yaitu Asahan dan Sobron.

Setelah menamatkan pelajaran HIS di Bangka, ia bertolak ke Jawa. Ia dititipkan oleh sang ibu pada orang sekampungnya, Maninjau, yang telah lama merantau dan menetap di Bandung, yakni Isa Anshari. Selama hampir empat tahun, Aidit tinggal bersama keluarga Isa Anshari sehingga mereka sudah layaknya adik-kakak.
 
Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Nama Dipa Nusantara Aidit dipilihnya karena mengikuti nama idolanya, yaitu Pangeran Diponegoro. la mengubah namanya pada tanggal 30 Juli 1932.

Perkenalan D.N. Aidit dengan PKI

Walaupun dididik di sekolah Belanda, Aidit tumbuh dan berkembang dalam kultur Melayu yang amat religius. Aidit kecil hidup dalam nuansa yang Islami. Hal ini dikarenakan latar belakang Abdullah yang dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam dan juga pendiri Madrasah Nurul Islam di kampungnya.

Setiap magrib, Aidit dan adik-adiknya sembahyang di musala. Selepas itu mengikuti pengajian sampai datangnya waktu sembahyang isya. Saat di mushola Aidit sering diminta untuk mengumandangkan azan karena suaranya dianggap jelas dan lafalnya jelas (Aidit, 2006: 42).

Menurut Thaib (1993: 147) salah satu keunggulan dari Aidit adalah memiliki pergaulan yang sangat luas. Selain itu, Aidit menuturkan (2003: 25) dia mampu bergaul dengan semua etnis dan lapisan sosial di Belitung. Dari anak tangsi sampai golongan Tionghoa adalah temannya.

Aidit sering diajak pergi memancing ikan pada malam hari oleh ayah temannya yang merupakan anak seorang nelayan. Pengalamannya ini ditulis di buku harian. Dia mencatat tentang berapa jumlah hasil tangkapan nelayan dan ongkos yang dikeluarkan setiap perjalanan melaut. Aidit mencatat jerih payah nelayan yang tidak sebanding dengan upah yang didapat dalam menjual hasil tangkapannya di pasar.

Selain bermain dengan anak seusianya, Aidit suka berkumpul dan bergaul dengan buruh timah di Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton (GMP). Tempo (2010: 16) menjelaskan ada seorang teman seusianya yang menjadi buruh timah.

Achmad kemudian menaruh simpati atas eksploitasi yang dirasakan oleh buruh. Setiap hari Aidit melihat buruh berlumur-lumpur, bermandi keringat dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hidup hura-hura.

Aidit mencoba memahami kondisi buruh dengan cara ikut masuk ke dalam kehidupannya. Para buruh mengenalnya sebagai teman bercerita dan pendengar yang baik. Pada saat di mana buruh sedang bekerja untuk membersihkan kebun pekarangan, Aidit ikut membantu menyapu, memacul, hingga membuat lubang untuk pohon pisang.

Pada saat melakukan pekerjaan itu buruh biasanya menceritakan pengalaman bekerja di perusahaan timah kepada Aidit. Hingga buruh mengajak Aidit makan, entah singkong goreng ataupun buah-buahan, dalam keadaan santai ini buruh itu bercerita tentang keadaan sesungguhnya yang dia alami.

Pergaulan Aidit dengan orang-orang tertindas inilah, menurut Murad yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Aidit dikemudian hari. Sejak kecil, Aidit merupakan orang yang mau tahu kehidupan rakyat dimanapun dia berada. Berbeda dengan adik-adiknya yang menganggap kondisi di masyarakat merupakan hal yang biasa saja dan lumrah terjadi (Aidit, 2006: 44).

Sekitar tahun 1936-1938 atas permintaannya sendiri pada Ayahnya, Aidit diantar pamannya ke Jakarta (Leclerc, 2011: 106). Di Jakarta Aidit tinggal cukup lama di daerah Cempaka Putih, rumah milik kawan Abdullah seorang mantri polisi yang bernama Marto. Abdullah bertekad menyekolahkan Aidit di sekolah pemerintah.

Namun kandas karena setibanya Aidit di Jakarta, waktu pendaftaran MULO telah ditutup. Rasa cinta pada kegiatan berdagang yang pada akhirnya membawa Aidit menjatuhkan pilihannya untuk bersekolah di Middenstand Handel School (MHS) yang merupakan sebuah sekolah menengah dagang di Jakarta (Aidit, 2006: 44).

Di Jakarta, Aidit sangat cepat dalam beradaptasi. Dengan berbekal identitas kedaerahan, dia memiliki akses untuk bergaul dengan sesama anak muda yang berasal dari Sumatra. Dalam usia 16 tahun (1939) Aidit mulai masuk ke kancah aktivis pergerakan, awalnya hanya menjadi anggota, kemudian menjadi ketua dewan komisaris pimpinan pusat Persatuan Timur Muda (Pertimu) di Jakarta (Bintang Merah 9, 1953: 479).

Organisasi inilah yang mempertemukan Aidit dengan barisan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), cabang pemuda di bawah organisasi nasionalis pra-kemerdekaan. Salah satu pimpinannya berasal dari sayap kiri yaitu Amir Syarifuddin.

Aidit memiliki banyak akses untuk berkomunikasi dengan tokoh-tokoh aktivis pergerakan, terutama yang berasal dari sayap kiri. Persentuhan Aidit dengan Gerindo didasari karena ketertarikannya dengan pandangan kaum kiri.

Aidit memahami betul bahwa Marxis memiliki pengaruh yang besar pada organisasi-organisasi tingkat dunia, tapi sampai perang Jepang merebut kekuasaan Belanda meletus, Aidit tidak pernah bersentuhan langsung selain tahu samar-samar tentang gagasan Marxisme. Selama pendudukan Jepang inilah waktu dimana Aidit mulai mengenal lebih dalam ide-ide dari sayap kiri. 
 
Baca Juga: Marxisme: Pengertian dan Pemikirannya

Tidak seperti kebanyakan pemuda Indonesia yang lain, Aidit tidak begitu berminat dengan propaganda Jepang untuk mewujudkan sebuah “Asia Raya”. Sejak awal pendudukan Jepang, minat Aidit terhadap ide-ide Marxisme berkembang cepat di bawah gemblengan langsung M. Jusuf, pemimpin PKI setelah perang kemerdekaan. Aidit meminjam buku salinan Das Kapital berbahasa Belanda. Pada tahun 1943, Aidit memulai melibatkan dirinya bersama PKI ilegal (Mortimer, 2011: 26).

Menjadi aktivis pergerakan anti-fasis memiliki banyak resiko, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Murad bercerita bahwa Abdullah dan Aidit telah melakukan surat menyurat perihal pergantian nama kakaknya menjadi Dipo Nusantara atau Dipa Nusantara biasa disingkat D.N. dengan tetap mencantumkan nama Aidit di belakangnya (Aidit, 2006: 67). Senada dengan Murad, Sobron menjelaskan bahwa ayahnya tidak keberatan dan mengizinkan anak sulungnya itu menggunakan nama yang dipilihnya.

Sobron sempat melihat surat Abdullah yang mengizinkan Aidit mengubah namanya. Menurut Sobron, bagi keluarga Aidit, nama menjadi hal yang penting. Ketika Aidit menjadi pimpinan PKI, kakaknya meminta Sobron untuk mempertimbangkan pencantuman nama Aidit di belakang namanya. Sebab nama itu akan berkonotasi PKI (Kurniawan, 2005: 21).

Karier D.N. Aidit di PKI

Di awal tahun 1948 terjadi proses kristalisasi dalam tubuh sayap kiri dengan dilakukannya perubahan menjadi serupa satu partai. Pada saat itulah Musso, de oude Heer, saudara seperjuangan Alimin pulang dari pengasingan. Ia telah melancarkan gagasan untuk mewujudkan partai kesatuan itu berdasarkan azas-azas partai komunis dengan program yang diberi disebut Jalan Baru untuk Republik Indonesia (Leclerc, 2011: 120).

Musso yang datang bagaikan “juru selamat”, ia diterima dengan tangan terbuka. Dalam suasana frustasi dan keputusasaan, pimpinan komunis Indonesia mencari pemimpin baru. Musso adalah orangnya. Ia datang sebagai seorang peniup suling dalam cerita Grimms dan tokoh-tokoh lain (Amir Syarifuddin, Setiadjid, Soeripno, Maruto Darusman dan lain-lain) mengikutinya sebagai anak-anak yang patuh (Gie, 2005: 219).

Usaha Musso untuk mengadakan reorganisasi PKI relatif mudah. Faktor senioritas, kepribadiannya yang keras, dan suasana deadlock PKI membantu usaha ini. Pada 27-28 Agustus diadakan Konferensi PKI dan pada 1 September diumumkan komposisi kepengurusan baru PKI dengan susunan Sekretaris Jenderal dipimpin oleh Musso, Maruto Darusman, Tang Ling Djie dan Ngadiman. Aidit secara penuh menjadi bagian dari CC PKI dengan posisi sebagai Sekretariat Buruh (Gie, 2005: 228).

Aidit merupakan kader yang sangat setuju adanya koreksi Musso dan bersedia menjalankannya untuk masa yang akan datang. Ia menganggap ide atau garis itu sangat sesuai dengan sikap perjuangan para pemuda yang tanpa mengenal kompromi dengan pihak Belanda. Bintang Merah giat mempropagandakan garis ini.

Untuk lebih memantapkan garis yang dikemukakan Musso tersebut, PKI berencana untuk menggelar Kongres dengan meresmikan Jalan Baru untuk Republik Indonesia sebagai garis politik PKI (Aidit, 2006: 111).

Namun demikian, hanya beberapa minggu saja setelah Aidit menempati posisi puncak kepemimpinan di partai. Ada sebuah peristiwa di Madiun, Jawa Timur. Peristiwa ini terjadi serangkaian konflik yang sangat serius antara unit-unit bersenjata yang berorientasi kepada PKI melawan unit-unit angkatan bersenjata Republik dan sekutu-sekutu lokalnya yang tidak begitu permanen.

Saat itu pemerintah pusat menilai yang terjadi di Madiun adalah pemberontakan kaum komunis sehingga pemimpin tertinggi PKI kala itu, Musso, harus turun tangan memimpin anggota partai di Madiun untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun, upaya Musso gagal dan dalam beberapa minggu PKI kemudian dipukul mundur (Mortimer, 2011: 31).

Setelah peristiwa Madiun 1948, kondisi partai yang hancur lebur diselamatkan oleh sosok Aidit. Ketika kepemimpinan Aidit memenangkan kendali pada Januari 1951, dia mengambil alih sebuah partai kecil yang tidak terorganisir dengan baik yang masih menyimpan luka-luka setelah kegagalan pemberontakan Madiun. 
 
Baca Juga: Pemberontakan PKI Madiun 1948: Sejarah, Latar Belakang, Kronologis, Tujuan, dan Tokohnya

Bagian-bagian masyarakat Indonesia yang lebih sadar politik dan secara politis telah terbukti menentang partai mencari dukungan. Akibatnya, Aidit dipaksa mencari dukungan di antara massa kaum buruh, petani, dan kaum miskin “borjuasi kecil”, yang pada umumnya masih berada di luar proses politik.

Untuk memenangkan dukungan massa, amat penting untuk menampilkan PKI sebagai gambaran yang menarik bagi masyarakat yang lebih miskin yang pada umumnya bersifat pasif, dan dapat diterima oleh kelompok-kelompok berkuasa non-komunis yang mengontrol cara-cara represi sehingga membuat organisasi komunis tidak dapat bekerja kembali.

Citra yang ditampilkan PKI adalah patriotisme yang lincah, simpatik terhadap agama, damai dalam mengejar tujuannya, memikirkan masalah-masalah kecil yang secara sadar dirasakan oleh pendukung potensial, berlaku moderat, dan tidak menonjolkan diri sambil menunjukkan sikap yang ramah terhadap kekuatan politik Indonesia lainnya.

Dengan kekuatan citra ini ditambah keterampilan dan keuletan organisasi, PKI menjadi partai komunis terbesar yang tidak memerintah di dunia dan kekuatan politik non-komunis yang penting telah bekerja sama dengan PKI (Hindley, 1962: 925).

Kepemimpinan Aidit dalam memimpin PKI berbuah hasil yang manis. Pada 29 September 1955, lebih dari 39 juta orang Indonesia datang ke tempat pemungutan suara. Sebanyak 37.875.299 atau 87,65 persen dari 43.104.464 orang yang terdaftar sebagai pemilih setahun sebelumnya, memberikan suara sah.

Hasil suara parlemen menunjukkan posisi pertama PNI 8.434.653, kedua Masyumi 7.903.886, ketiga NU 6.955.141 dan keempat PKI 6.179.914 (Feith, 1995: 84). PKI memperoleh suara terbesar kedua di Jawa Tengah setelah PNI dan di Jawa Timur menjadi partai terbesar kedua setelah NU (Sanit, 2000: 84).

Perolehan suara yang diperoleh PKI setelah peristiwa Madiun 1948 merupakan pencapaian yang luar biasa. Basis pemilih PKI berada di daerah-daerah yang dilanda kemiskinan ekstrem, pertanian yang amat mundur, dan tekanan penduduk. Di Jawa, pesisir selatan adalah daerah gersang dan tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan penduduknya akan beras.

Kemenangan PKI juga didukung atas tradisi yang semakin luntur. Hal ini ditandai dengan hak milik tanah bersama makin hilang, jumlah petani tidak punya tanah semakin meningkat, dan diferensiasi yang makin besar dalam kehidupan ekonomi desa (Feith, 1995: 125).

Kegemilangan PKI di bawah pimpinan Aidit membuat sebuah kedekatan dengan Presiden Sukarno. Pada akhir tahun 1960, awal dan pertengahan tahun 1961, dan awal 1962, Presiden Sukarno lagi-lagi mengulangi usahanya memasukkan PKI ke dalam kabinet, kali ini dengan semboyan Nasakom, persatuan dari Nasionalis-Agama-Komunis.

Agaknya Presiden Sukarno mempunyai kepentingan khusus untuk memberikan jabatan menteri keuangan kepada orang komunis. Mungkin saja dengan perhitungan agar kaum komunis ikut serta memikul beban kesalahan bidang ekonomi yang semakin merosot itu. Usaha Sukarno ini terus menerus ditentang pihak Angkatan Darat.

Namun, pada bulan Maret 1962, Ketua PKI D.N. Aidit dan Wakil Ketua M.H. Lukman memperoleh status sebagai menteri kabinet. Mereka diikutsertakan dalam badan Musyawarah Pimpinan Negara yang baru saja dibentuk, bersama-sama presiden, Menteri Pertama Djuanda, delapan wakil Menteri Pertama, dan ketua serta wakil ketua dari empat lembaga tinggi negara (Feith, 1995: 45).

Gerakan 30 September

Masa keemasan PKI tidak berlangsung lama, tepatnya pada malam 30 September semua kenangan indah dan cita-cita PKI akan dunia tanpa penindasan sirna seketika. John Roosa menaruh analisisnya pada kemungkinan perebutan kekuasaan yang ada di Angkatan Darat menjelang 30 September 1965.

Menurut John Roosa para pejabat tinggi AS dan perwira-perwira Indonesia sekutu mereka, sudah menyiapkan sebuah skenario yang berisi pokok-pokok alur kejadian sebagai berikut: menuding PKI melakukan percobaan kup, melancarkan represi besar-besaran terhadap PKI di seluruh negeri, tetap menggunakan Sukarno sebagai presiden boneka sambil merongrong kekuasaannya, dan membangun satu pemerintah baru yang dikuasai Angkatan Darat (Roosa, 2008: 273).

Namun kemudian PKI dengan cepat dinyatakan sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Gerakan 30 September (G30S). Pada 17 Oktober, Kolonel Sarwo Edhi menggerakkan pasukan komandonya (RPKAD) ke Jawa Tengah untuk melakukan “pembersihan”. 
 
Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Peristiwa G30S/PKI

Gerakan ini bukan saja melegitimasi protes terhadap PKI, tetapi juga pembunuhan terhadap orang komunis yang terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan juga Bali. Aidit ditangkap dan atas perintah umum Suharto dan kemudian dibunuh pada 22 November tanpa dikirim ke depan pengadilan. Nasib serupa juga menimpa para pimpinan PKI yang lain (Tornquist, 2011: 277).

Kaitan D.N. Aidit dengan G30S

Perlu diketahui bahwa terdapat berbagai versi narasi sejarah yang menguraikan tentang dalang di balik peristiwa G30S. Salah satu yang tidak terlepas dari narasi tersebut adalah sosok DN Aidit.

Menurut buku 'Mengurai Kabut Pekat Dalang G30S' karya Herman Dwi Sucipto, terdapat perbedaan pandangan yang berkembang dalam melihat peristiwa Gerakan 30 September atau G30S. Hal ini dikarenakan ada berbagai kesaksian yang memiliki versi berbeda dalam menguraikan G30S tersebut.

Salah satu versi atau pandangan menyebut DN Aidit sebagai sosok yang berkaitan dengan G30S. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, DN Aidit adalah pemimpin dari PKI. Tidak hanya sebatas menjadi pemimpin PKI, DN Aidit disebut-sebut memiliki kaitan dalam G30S.

Dijelaskan bahwa DN Aidit menerima laporan terhadap pertemuan-pertemuan yang diadakan pada bulan Agustus hingga akhir September 1965 silam. Pertemuan tersebut diadakan oleh Biro Khusus Sentral PKI yang membahas soal kesiapan secara militer, terutama yang berkaitan dengan gerakan pemberontakan.

Kemudian sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI dapat diketahui bahwa gerakan di tingkat pusat berada di bawah DN Aidit sebagai pimpinan tertinggi. DN Aidit juga mendapatkan laporan terkait dengan penetapan tanggal 30 September pukul 04.00 sebagai waktu bagi mereka melancarkan gerakan.

Berdasarkan narasi versi ini disebutkan bahwa melalui gerakan di tanggal tersebut, sejumlah perwira Angkatan Darat menjadi sasarannya. Para perwira menjadi target penangkapan dalam kondisi hidup atau mati. Sayangnya, para perwira tersebut justru meregang nyawa saat terjadinya Gerakan 30 September ini.

Namun demikian, narasi lainnya datang dari sejumlah orang terdekat DN Aidit. Masih diungkap dalam buku 'Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara', bahwa putra sulung DN Aidit bernama Ibarruri Putri Alam menjelaskan ayahnya tidak mengetahui terkait pembunuhan para jenderal.

Saat dibawa ke Jakarta Timur tidak lama setelah pembunuhan tersebut terjadi, DN Aidit justru bertanya-tanya dan tidak mengetahui akan dibawa ke mana dirinya. Hal tersebut memunculkan pandangan baru bahwa DN Aidit justru sosok yang ditelikung oleh pihak lain. Oleh sebab itu, narasi tentang DN Aidit yang disebut-sebut menjadi dalang dari Gerakan 30 September masih menjadi misteri sampai saat ini.

Fakta tentang D.N. Aidit

1. Memiliki Nama Asli Ahmad Aidit
Dikutip dalam buku Politik Dipa Nusantara, Satriono Priyo Utomo menceritakan jalan hidup Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit. Dikisahkan bahwa sebelumnya, nama DN Aidit adalah Ahmad Aidit, Ahmad yang berarti Muhammad.

Nama Dipa Nusantara Aidit dipilihnya karena mengikuti nama idolanya, yaitu Pangeran Diponegoro. Ia mengubah namanya pada tanggal 30 Juli 1932.

2. Dikenal sebagai Muazin Kampung
Pria kelahiran Belitung, 30 Juli 1923 ini lahir dan besar di lingkungan keluarga muslim yang taat. DN Aidit yang akrab disapa 'Amat' saat masih kecil ini dikenal sebagai muazin di kampungnya, Desa Pangkal Lalang.

"Semasa kecil, ia diajar mengaji oleh pamannya, Abdurrahim hingga akhirnya, ia menjadi muazin di kampungnya," ujar Satriono saat melakukan bedah buku berjudul Politik Dipa Nusantara.

3. Berkontribusi terhadap Kemerdekaan RI
Sebelum Indonesia merdeka, DN Aidit memiliki kontribusi terhadap upaya kemerdekaan. Ia disebut berasal dari keluarga berkecukupan, tetapi banyak bersentuhan dengan kaum buruh.

DN Aidit juga tergabung dalam gerakan perlawanan terhadap kolonialisme di angkatan muda. Satriono menerangkan, DN Aidit adalah salah seorang yang berjasa atas terlaksananya kemerdekaan melalui gerakan pemudanya. Ada bantuan signifikan darinya sewaktu Soekarno hendak berpidato di Lapangan Ikada pada 19 September 1945 untuk menyebar berita kemerdekaan kepada rakyat.

4. Sosok yang Militan
Dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia karya Floriberta Aning S, disebutkan bahwa DN Aidit dikenal sebagai sosok militan. Karier DN Aidit di PKI mulai tersorot pada akhir 1950-an karena sukses menyingkirkan tokoh-tokoh komunis tua dari partai. Aidit dan kelompoknya juga berhasil mengubah kiblat PKI dari Rusia ke RRC.

Aidit membangun PKI secara militan. Ia menggunakan pendekatan akar rumput, yaitu dengan membentuk organisasi mantel dan menempatkan kader-kadernya dalam berbagai organisasi profesi, bahkan di tubuh militer. DN Aidit juga terbilang sukses dalam mendekati Presiden Sukarno.

DN Aidit sempat menjabat sebagai Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS. Ia pun pandai melakukan negosiasi dan melobi orang-orang. Hal ini terbukti dari keberhasilannya melobi Sukarno agar mengangkat orang-orang PKI di jajaran pemerintahan.

5. Dieksekusi usai Tragedi G30S PKI
Peristiwa G30S PKI membuat DN Aidit diburu secara besar-besaran. Pasukan tentara di bawah komando Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri, mendapatkan informasi bahwa DN Aidit, bersembunyi di Sambeng pada 22 November 1965.

Setelah ditangkap di Solo, DN Aidit kemudian dieksekusi mati di Boyolali. Yasir membawa DN Aidit ke Markas Batalyon 444. DN Aidit kemudian ditembak di depan sebuah sumur tua yang berlokasi di belakang Markas Batalyon 444 Boyolali. Jenazah DN Aidit diyakini berada di dasar sumur tua.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.detik.com
https://esi.kemdikbud.go.id/
dan sumber lain yang relevan

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment