Toxic Masculinity: Pengertian, Ciri, Dampak, dan Cara Mencegahnya
Table of Contents
Toxic Masculinity |
Pengertian Toxic Masculinity
Toxic masculinity (maskulinitas beracun) adalah konsepsi yang merujuk pada norma budaya tertentu yang berkaitan dengan kerugian terhadap masyarakat dan pria. Stereotip pria tradisional yang dominan secara sosial dapat dianggap "beracun" karena mempromosikan kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.Namun, ada juga yang mengartikan istilah toxic masculinity sebagai maskulinitas yang berdampak negatif karena lelaki tersebut menjadi tertekan dan terkekang. Dr. Ellen Hendriksen menjelaskan toxic masculinity merupakan hal yang terjadi saat konsep maskulinitas terlalu mengekang seseorang.
Mencegahnya dalam berkembang dan terpaksa mengikuti aturan yang tidak adil dari masyarakat (Hendriksen, 2019). Seperti di antaranya,
“Jadi cowok kok nangis, Laki bukan kamu?”
“Jadi cowok kok nggak bisa cari uang? Laki bukan?”
“Cowok kok pake skincare? Banci ya kamu?”
“Cowok kok nggak ngerokok? Cupu banget”
Toxic Masculinity Menurut Para Ahli
1. Oxford Dictionary, toxic masculinity adalah kepercayaan yang salah tentang sikap atau sifat yang harus ditunjukkan oleh seorang pria. Lebih lanjut, toxic masculinity adalah kata benda atau noun.
2. Terry Kupers, toxic masculinity diartikan sebagai perkumpulan karakteristik maskulin yang regresif secara sosial, karakteristik yang ada untuk melestarikan dominasi, devaluasi terhadap perempuan, homofobia, dan kekerasan yang tanpa alasan
3. Raewyn Connell, toxic masculinity adalah standarisasi sikap atau sifat seorang pria secara berlebihan. Jika standar tersebut tidak terpenuhi maka seorang pria akan dianggap tidak jantan atau maskulin. Padahal, maskulin itu sendiri tidak bisa dijadikan standar perubahan zaman.
4. The Atlantic, sosok pria yang maskulin adalah yang dihormati di lingkungannya, memiliki kekuatan fisik dan seksual. Hal-hal tersebut kemudian jadi standar yang malah terlalu tinggi, dan malah menjadi toxic masculinity.
Ciri Toxic Masculinity
Dalam konsep toxic masculinity, emosi cenderung dinilai sebagai kelemahan dan kejantanan identik dikaitkan dengan kekuatan, ketangguhan, atau wibawa. Jadi, setiap pria harus mampu menyimpan emosi dalam situasi apa pun, khususnya kesedihan, dan bersikap dominan, seperti dalam adat patriarki.Selain itu, sikap toxic masculinity juga biasanya tampak melalui beberapa ciri di antaranya,
1. Tidak menunjukkan emosi sedih dan mengeluh, serta menganggap bahwa pria hanya boleh mengekspresikan keberanian dan amarah
2. Tidak membutuhkan kehangatan atau kenyamanan
3. Tidak perlu menerima bantuan dan tidak boleh bergantung pada siapa pun
4. Harus memiliki kekuasaan dan status sosial yang tinggi agar bisa dihormati oleh orang lain
5. Berperilaku kasar dan agresif, serta mendominasi orang lain, khususnya wanita
6. Tendensi untuk bersikap misoginis
7. Cenderung melakukan aktivitas seksual dengan kasar
8. Menganggap “keren” kebiasaan yang tidak sehat, seperti merokok, minum minuman beralkohol, bahkan mengonsumsi obat-obatan terlarang
9. Heteroseksisme dan homofobia
Sikap toxic masculinity juga dapat tercermin dalam anggapan bahwa pria tidak boleh mengerjakan atau memiliki minat terhadap aktivitas yang identik dengan pekerjaan kaum hawa, misalnya memasak, menjahit, atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Dampak Toxic Masculinity
Bagi Laki-LakiMeski tampak seperti lumrah, nyatanya toxic masculinity bisa berbahaya bagi kesehatan mental. Hal ini berisiko memunculkan batasan mengenai sifat pria dalam hidup dan bermasyarakat. Bukan tidak mungkin hal ini malah dapat menimbulkan konflik, baik di dalam diri pria itu sendiri ataupun lingkungan sekitarnya.
Konsep maskulin yang keliru ini juga dapat menjadi beban bagi para pria yang dianggap tidak memenuhi "standar" yang telah diyakini. Apabila seorang pria dibesarkan dalam lingkungan yang mengagungkan toxic masculinity, ia jadi menganggap bahwa dirinya hanya harus menunjukkan sifat maskulin dalam arti sempit tersebut agar bisa diterima di masyarakat.
Sebagai contoh, pria didoktrin untuk tidak boleh menunjukkan kesedihan apalagi sampai berujung tangisan. Menunjukkan rasa sedih dan menangis diyakini merupakan karakteristik feminin, yang hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Menahan emosi terus-menerus pada akhirnya dapat berujung pada masalah kesehatan mental, seperti stres dan depresi.
Lebih gawat lagi, ada yang menganggap bahwa mencari pertolongan ahli kejiwaan juga dianggap sebagai sikap feminin. Alhasil, pria dilaporkan lebih jarang melakukan konsultasi psikologis (konseling) dengan psikolog maupun psikiater.
Bagi Perempuan dan Masyarakat
Faktanya, bahaya toxic masculinity tidak hanya untuk pria. Masyarakat, khususnya wanita, juga berpotensi menjadi korban perilaku negatif ini.
Pria yang mengagungkan konsep maskulinitas yang salah akhirnya menganggap dirinya harus lebih dominan dan punya nilai yang lebih baik dibandingkan perempuan. Bahkan, mereka juga menganggap pelecehan dan kekerasan seksual adalah tindakan yang 'wajar' sebagai seorang laki-laki.
Hal tersebut tentu pada akhirnya akan merugikan perempuan sebagai korbannya. Anggapan itu pula yang tak bisa dipungkiri menjadi salah satu penyebab kekerasan dalam rumah tangga hingga pelecehan seksual atau bahkan pemerkosaan.
Menurut lembaga non-profit Do Something, 85 persen korban kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan. Toxic masculinity yang tidak terkendali juga bisa memicu terjadinya sejumlah hal berikut di antaranya,
1. Bullying atau perundungan
2. Kekerasan dalam rumah tangga terhadap pasangan dan anak
3. Penyalahgunaan obat-obatan
4. Bunuh diri
5. Trauma psikologis
6. Pertemanan yang tidak tulus
Cara Mencegah Toxic Masculinity
Sebenarnya toxic masculinity ini bisa dicegah saat usia anak masih kecil supaya tidak berkelangsungan dan berdampak buruk. Berikut cara mencegah toxic masculinity yang bisa dilakukan di antaranya,1. Selalu ajarkan anak untuk mengekspresikan diri dengan baik
Cara mencegah toxic masculinity yang pertama adalah dengan selalu mengekspresikan diri kepada orang lain. Ajarkan kalau anak laki-laki juga boleh menangis karena hal itu wajar terjadi dan menangis bukan hanya untuk perempuan saja.
2. Hindari perkataan yang merendahkan perempuan
Hindarilah perkataan yang merendahkan perempuan seperti, ”jangan berjalan seperti perempuan” atau “jangan berbicara seperti perempuan.” Jika perkataan seperti itu bisa dihindari, maka anak laki-laki bisa terhindar dari maskulinitas beracun.
3. Selalu Pantau Media Hiburan untuk Anak
Berikutnya adalah selalu memantau media hiburan yang diberikan pada anak. Hindari konten yang bersifat toxic masculinity dalam film animasi atau buku kesukaannya. Anda bisa memberikan pengertian kalau hal-hal tersebut tidak boleh dicontoh oleh anak.
4. Belajar Menjadi Rentan
Cara lainnya untuk mencegah toxic masculinity adalah dengan belajar menjadi rentan. Kerentanan biasanya disamakan dengan kelemahan. Kita perlu belajar menerima bahwa kita sebenarnya adalah pribadi rentan, sehingga pada akhirnya bisa membawa pada kesadaran emosional, dan menghasilkan empati lebih banyak kepada diri sendiri dan orang lain di sekitar kita.
Dari berbagai sumber
Post a Comment