Carl Rogers: Biografi dan Teori Psikoterapi Humanistiknya

Biografi Carl Rogers
Carl Ransom Rogers
Biografi Carl Rogers
Carl Ransom Rogers (1902-1987) adalah salah satu psikolog Amerika paling berpengaruh di dunia. Ia bersama Abraham Maslow mendirikan mazhab psikologi humanistik. Secara luas, Rogers dianggap sebagai perintis penelitian psikoterapi.

Berkat kontribusinya di bidang psikologi, pada tahun 1956 ia dianugerahi Award for Distinguished Scientific Contribution. Tidak hanya itu, pada tahun 1972 ia meraih Award for Distinguished Professional Contribution oleh American Psychological Association (APA).

Rogers menjadi terkenal berkat pendekatannya yang unik, yaitu person-centered. Pendekatan psikologi tersebut berpusat pada person atau klien. Pendekatan ini telah diterapkan secara luas dalam berbagai bidang, seperti psikoterapi dan konseling, pendidikan, organisasi, serta masih banyak lagi.

Pada tahun 2002, Rogers ditetapkan sebagai psikolog terkemuka keenam pada abad ke-20.

Rogers yang memiliki nama lengkap Carl Ransom Rogers lahir pada 8 Januari 1902 di Oak Park Illinois, yakni sebuah desa di pinggiran Chicago. Ayahnya, Walter A. Rogers, adalah seorang insinyur sipil.

Adapun ibunya, Julia M. Cushing, adalah seorang penganut Kristen Pantekosta yang taat. Rogers adalah anak keempat dari enam bersaudara. Sejak kecil, Rogers sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan.

Rogers mampu membaca buku dengan baik sebelum masuk pendidikan setingkat taman kanak-kanak. Ia dititipkan di lembaga pendidikan seorang pendeta untuk belajar agama dan etika. Sebagai putra altar, Rogers menjadi agak terisolasi, mandiri, disiplin, serta memperoleh pengetahuan tentang metode ilmiah.

Setelah beranjak remaja, Rogers masuk jurusan pertanian di University of Wisconsin-Madison. Selain kuliah, ia juga aktif di organisasi Alpha Kappa Lambda. Pada usia 20 tahun, setelah mengikuti konferensi internasional di Peking, Tiongkok, pada tahun 1922, ia mulai berpikir kritis terhadap keyakinannya.

Pada tahun 1924, Rogers lulus di University of Wisconsin. Kemudian, ia melanjutkan studi di Union Theological Seminary selama dua tahun. Setelah itu, ia meneruskan kuliahnya di Teachers College, Columbia University. Di tempat itu, ia memperoleh gelar M.A. pada tahun 1928 serta Ph.D. tiga tahun kemudian.

Selama menulis disertasi, Rogers terlibat dalam penelitian tentang anak. Namanya menjadi terkenal seiring dengan hasil penelitiannya itu. Pada tahun 1930, ia diangkat sebagai direktur Society for the Prevention of Cruelty to Children di Rochester, New York.

Selama periode 1935-1940, ia diangkat sebagai dosen di University of Rochester. Pada saat itu, pengaruh praktik psikoterapi pasca-Freudian dari Otto Rank mulai memengaruhinya. Dari situlah ia mulai membangun pendekatan person-centered.

Pada tahun 1940, Rogers menjadi profesor psikologi klinis di Ohio State University. Bersamaan dengan itu, ia mulai memformulasikan pendekatan psikologinya.

Pada tahun 1945, Rogers mendirikan pusat konseling di University of Chicago dan mulai menentukan efektivitas metode pendekatannya. Pada tahun 1947, ia terpilih sebagai presiden American Psychological Association.

Empat tahun kemudian, Rogers berhasil memformulasikan pendekatan person-centered (yang dalam psikoterapi disebutnya sebagai client-centered) dan mempublikasikan konsep tersebut. Momen inilah yang menjadikan namanya semakin dikenal publik.

Pada tahun 1956, Rogers menjadi presiden pertama American Academy of Psychotherapist. Setahun sesudahnya, ia mengajar psikologi di Universitas of Wisconsin, Madison. Ketika itu, ia bersama Abraham Maslow merintis psikologi humanistik yang mencapai puncaknya pada dekade 1960-an.

Pada tahun 1961, Rogers menjadi anggota American Academy of Arts dan Sciences. Ia terus mengajar di University of Wisconsin hingga tahun 1963. Pada tahun yang sama ia menjadi anggota Western Behavioral Sciences Institute (WBSI) di La Jolla.

Namun, pada tahun 1968 Rogers meninggalkan WBSI untuk mendirikan Center for Studies of the Persons.

Meskipun tidak lagi aktif di WBSI, Rogers tetap menjadi penduduk La Jola. Di sana, ia membuka praktik terapi, memberikan pidato di berbagai lembaga dan universitas, serta menulis. Pada periode ini, Rogers banyak menerapkan teori-teorinya ke dalam diskursus tentang penindasan politik dan konflik sosial.

Untuk itu, ia rela keliling dunia. Ia pergi ke Belfast, Irlandia Utara, untuk mendalami konflik penganut Protestan dan Katolik. Di Afrika Selatan, ia mengamati konflik warga kulit hitam dan putih. Di Brasil, ia mencermati konflik transisi dari era pemerintahan diktator ke demokrasi di mana ia menyumbangkan layanan kesehatan kepada para penduduk.

Perjalanan terakhirnya adalah ke Uni Soviet saat ia telah berusia 85 tahun. Di sana, ia mengajar dan memfasilitasi lokakarya psikologi secara intensif. Dia tercengang karena ada banyak orang yang mengetahui karya-karyanya.

Bersama putrinya, Natalie Rogers, serta sejumlah psikolog seperti Maria Bowen, Maureen O’hara, dan John K. Wood, Rogers mengadakan serangkaian lokakarya aplikasi pendekatan person-centered terhadap komunikasi lintas budaya, pertumbuhan pribadi, pemberdayaan diri, pendidikan, serta perubahan sosial di Amerika Serikat, Eropa, Brasil, dan Jepang.

Hal itu berlangsung pada periode 1974-1984. Pada tahun 1987, tulang pinggul Rogers mengalami keretakan. Ia pun harus menjalani operasi dan berjalan lancar. Namun, pada malam berikutnya, pankreas Rogers mengalami kelainan. Pada akhirnya, beberapa hari berselang, yakni pada 4 Februari 1987, secara mendadak Carl Rogers meninggal dunia.

Teori Psikoterapi Humanistik
Carl Rogers dianggap sebagai pelopor psikoterapi humanistik. Teorinya didasarkan pada prinsip bahwa jika seorang diberi kebebasan dan dukungan emosional untuk tumbuh, ia bisa berkembang menjadi manusia yang berfungsi secara penuh.

Dengan didorong oleh lingkungan yang menerima dan memahami situasi terapeutik, seseorang akan dapat memecahkan masalah hidupnya sendiri—sekalipun tanpa bantuan—dan berkembang menjadi sosok individu yang diinginkan.

Pandangan Psikologi Humanistik
Menurut Rogers, objek utama dari kajian psikologi adalah manusia dan dunia yang dipandang oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu, psikologi dibentuk oleh tiga faktor, yaitu meliputi konsep (persepsi) atas diri, pengalaman, serta interpretasi terhadap lingkungan (persepsi atas realitas).

Kongruensi antara tiga faktor itulah yang memengaruhi kondisi psikologis seseorang. Pergeseran konsep diri dan persepsi atas realitas pada diri seseorang akan menghasilkan perubahan serentak terhadap perilakunya. Akibatnya, ia melakukan reorganisasi pandangan terhadap diri sendiri dan dunianya.

Dengan demikian, konsep psikoterapi Rogers berpijak pada hal tersebut. Ia menganggap terapi sebagai proses yang di dalamnya individu memiliki kesempatan untuk mengorganisasikan kembali dunia subjektif (the subjective world) untuk mengintegrasikan serta mengaktualisasikan dirinya.

Rogers memandang proses utama dari terapi adalah memfasilitasi pengalaman individu untuk menjadi lebih otonom, spontan, dan percaya diri. Hal ini hanya bisa terlaksana jika terapis menjalin hubungan yang dekat dan hangat dengan klien. Dengan cara tersebut, klien merasa memiliki kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri secara total.

Jenis hubungan terapis-klien yang dimaksud oleh Rogers memiliki tiga kualitas khusus. Pertama, jujur dan tulus terhadap klien (kongruen). Kedua, mampu merasakan hal-hal yang dirasakan klien (empati). Ketiga, menerima klien apa adanya serta memberikan perhatian positif tak bersyarat kepadanya.

Prinsip Dasar
Teori psikologi dan psikoterapi humanistik Rogers disandarkan pada proposisi-proposisi yang diuraikan sebagai berikut.
1. Setiap individu berada di dunia yang terus berubah bidang fenomenanya (fenomenal field).
2. Individu bereaksi terhadap bidang fenomena melalui sesuatu yang dialami dan dirasakannya. Bidang persepsi ini merupakan realitas bagi individu.
3. Reaksi individu terhadap bidang fenomena bersifat menyeluruh
4. Sebagian dari seluruh bidang persepsi menjadikan diri berbeda dari sebelumnya secara bertahap
5. Sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungan (terutama interaksi evaluasional dengan orang lain), struktur diri kemudian menjadi terbentuk dan terorganisasi. Akan tetapi, pola konseptual karakteristik tidak berubah
6. Individu memiliki suatu kecenderungan dasar untuk berjuang mewujudkan, mempertahankan, serta meningkatkan kualitas dirinya
7. Sudut pandang terbaik untuk memahami perilaku adalah menjadikan individu sebagai pusat referensi
8. Perilaku pada dasarnya tercipta dari upaya individu yang diarahkan pada tujuan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan. Dalam hal ini, tujuan hidupnya didasarkan pada sesuatu yang ia alami dan rasakan
9. Emosi terbangun menyertai tujuan individu mengarahkan perilakunya. Emosi terkait dengan makna yang dirasakan dari perilaku individu sebagai upaya menjaga dan meningkatkan eksistensinya
10. Nilai-nilai yang melekat pada pengalaman dan merupakan bagian dari struktur diri dapat dialami langsung oleh individu ataupun diambil (berasal) dari orang lain. Nilai-nilai yang diambil dari orang lain ini terbangun di dalam diri individu seakan-akan ia telah secara langsung pernah mengalaminya.
11. Pengalaman yang terjadi dalam kehidupan individu dapat disikapi dengan tiga hal. Pertama, disimbolkan, dirasakan, dan disusun dalam beberapa kaitannya dengan diri individu. Kedua, diabaikan karena dianggap tidak memiliki hubungan dengan struktur diri individu. Ketiga, simbolisasinya dibantah karena pengalaman itu dirasa tidak konsisten dengan struktur diri individu
12. Individu yang konsisten dengan konsep diri mengadopsi cara berperilaku baik dari orang lain serta lingkungannya
13. Perilaku dapat disebabkan oleh pengalaman organik dan kebutuhan yang belum pernah disimbolisasi. Perilaku kadang kala tidak konsisten dengan struktur diri, tetapi diambil oleh individu karena dirasa tidak dimiliki olehnya
14. Penyesuaian psikologis terjadi ketika konsep diri menjadi sedemikian rupa sehingga semua pengalaman sensoris dan reaktif berasimilasi pada tingkat simbolik ke dalam suatu hubungan yang konsisten terhadap konsep diri
15. Ketidakmampuan psikologis terjadi ketika individu menyangkal kesadaran sensoris dan reaktifnya yang signifikan sehingga tidak tersimbolisasi dan terorganisasi ke dalam gestalt struktur diri. Ketika situasi ini terjadi, maka akan terdapat ketegangan pada dasar psikologi seseorang
16. Setiap pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur diri akan dianggap sebagai ancaman. Semakin persepsi ini terjadi maka struktur diri yang telah diatur untuk mempertahankan dirinya menjadi kian kaku.
17. Dalam kondisi tertentu di mana melibatkan ancaman bagi struktur diri, pengalaman yang tidak konsisten dengan hal itu akan dirasakan dan diperiksa oleh individu. Setelah itu, individu merevisi struktur dirinya agar dapat melakukan asimilasi
18. Ketika individu merasakan dan menerima suatu sistem yang konsisten dan terpadu terhadap semua pengalaman sensoris dan reaktifnya, ia akan memahami dan menerima orang lain sebagai individu terpisah.
19. Ketika individu hanya menerima pengalaman organik di dalam struktur dirinya, maka ia sesungguhnya sedang menukar sistem nilai pribadi dengan proses organiknya

Teori Humanistik Psikologi
1. Real self dan ideal self
Secara teoretis, Rogers mengatakan bahwa setiap individu memiliki dua diri (self). Pertama, diri yang nyata (real self). Kedua, diri yang ideal (ideal self). Real self adalah diri yang dialami, dirasakan, dan dipersepsikan. Adapun ideal self adalah diri yang diidealkan (dicita-citakan).

Biasanya, real self selalu tidak sejalan atau maksimal hanya mendekati ideal self. Akibatnya, hal ini kerap membuat seseorang merasa terpecah. Akan tetapi, ideal self sangat penting keberadaannya untuk menjaga real self tetap berada di jalur yang benar.

Rogers menyatakan bahwa individu yang sehat ditandai dengan potensi-potensinya yang berfungsi penuh, yaitu telah mencapai keselarasan antara diri real self dan ideal self. Jika seseorang dapat menggabungkan keduanya maka ia akan mampu menerima keadaan dan hidup sebagai diri sendiri tanpa konflik.

2. Conditional positive regard dan unconditional positive regard
Setelah melakukan penelitian tentang dua model diri, Rogers mendapatkan hasil bahwa manusia adalah korban dari conditional positive regard (cinta, persetujuan, persahabatan, dan dukungan) yang diberikan oleh orang lain. Seseorang tidak akan mendapatkan conditional positive regard kecuali bila ia mematuhi norma sosial dan aturan orang lain bagi dirinya.

Seseorang dituntut melakukan dan memikirkan sesuatu yang dianggap sebagai norma oleh orang lain. Jika tidak maka ia akan ditolak atau bahkan dihukum jika enggan melaksanakan norma orang lain tersebut. Hanya saja, jika terlalu tenggelam ke dalam norma sosial, seseorang akan kehilangan subjektivitas dirinya sendiri.

Selanjutnya, Rogers mengatakan bahwa jika seseorang memiliki citra diri atau perilaku buruk, ia memerlukan unconditional positive regard dari orang lain. Unconditional positive regard (memberi dukungan dan apresiasi terhadap individu tanpa menghiraukan perilakunya yang tak pantas secara sosial) dibutuhkan seseorang bukan karena ia pantas mendapatkannya, tetapi lebih karena kedudukannya sebagai manusia yang berharga dan mulia.

Melalui hal itu, setiap orang menemukan harga diri dan kemampuan mencapai ideal self masing-masing. Tanpa unconditional positive regard, seseorang tidak akan mampu mengatasi kekurangannya ataupun menjadi manusia yang berfungsi sepenuhnya.

Rogers mendasarkan teori psikologi humanistik pada prinsip bahwa jika seseorang diberi kebebasan dan dukungan emosional untuk tumbuh, ia akan berkembang menjadi manusia yang potensi-potensi dirinya berfungsi secara penuh.

Artinya, ketika kondisi terpecah dialami seseorang akibat real self dan ideal self tidak selaras, ia membutuhkan unconditional positif regard agar dapat berkembang secara penuh. Jadi, individu memerlukan dorongan, baik dari dalam dirinya sendiri maupun orang lain.

3. Aktualisasi diri
Menurut Rogers, dorongan adalah suatu kebutuhan fundamental manusia. Rogers menempatkan dorongan dalam sistem kepribadian, terutama aktualisasi diri. Bagi Rogers, pertumbuhan dan perkembangan manusia tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan aktualisasi diri yang bertugas memudahkan dan meningkatkan pematangan (pertumbuhan) kepribadian.

Misalnya, jika seorang anak menjadi remaja atau remaja menjadi dewasa, organ-organ tubuh dan kepribadiannya semakin terdiferensiasi. Sebab, organ fisik dan psikisnya mulai berfungsi dalam banyak hal kompleks.

Sebagai tenaga pendorong, aktualisasi diri mendorong individu untuk jauh lebih kuat daripada penyakit yang mendorong agar ia tidak berkembang. Aktualisasi diri adalah kecenderungan dari semua makhluk hidup, baik pohon, binatang, dan terlebih manusia. Perkembangan manusia—entah disadari atau tidak—didorong oleh hasrat aktualisasi diri tersebut.

Rogers mengilustrasikan perkembangan diri manusia seperti berikut. ketika seseorang masih berusia kanak-kanak, ia mulai bisa membedakan pengalaman satu dengan yang lain. Anak itu kemudian mengembangkan kemampuannya untuk membedakan sesuatu yang menjadi miliknya dengan milik orang lain atau bagiannya dengan bagian orang lain.

Ia juga membedakan semua benda yang dilihat, didengar, dan diraba olehnya. Dengan kata lain, anak itu mengembangkan suatu konsep diri (self concept). Sebagai bagian dari self concept, anak itu kelak akan berkembang sehingga mampu memilih akan menjadi seperti siapa atau ingin menjadi apa.

Tentang ke arah manakah anak itu akan berkembang—positif atau justru negatif—Rogers menyatakan hal itu bergantung pada cinta dan kasih sayang yang diterima si anak di masa kecil, baik dari ibu, ayah, atau orang-orang di sekitarnya. Tiap-tiap anak membutuhkan dan belajar menumbuhkan cinta serta kasih sayang.

Rogers menyebut kebutuhan ini sebagai penghargaan positif (positive regard). Dalam hal ini, positive regard merupakan suatu kebutuhan yang bisa memaksa dan dimiliki oleh semua individu. Dalam perkembangannya, anak itu terdorong untuk mencari penghargaan positif.

Konsep aktualisasi diri oleh Rogers dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, aktualisasi diri berlangsung secara kontinu. Kepribadian bersifat dinamis, dalam arti bukan merupakan suatu yang final, melainkan suatu proses untuk menjadi sesuatu.

Kepribadian adalah suatu arah dan bukan tujuan. Oleh karena itu, aktualisasi diri berlangsung terus-menerus tanpa pernah selesai. Tujuan dari dinamika aktualisasi diri adalah mengorientasikan individu ke masa depan serta mengembangkan diri dari satu tingkatan menuju kedudukan selanjutnya.

Kedua, aktualisasi diri merupakan suatu proses yang sulit, bahkan terkadang menyakitkan. Aktualisasi diri berwujud semacam ujian dan rintangan yang datang bertubi-tubi untuk menguji dan merintangi kemampuan diri.

Namun demikian, manusia senantiasa mampu melalui ujian dan rintangan itu karena merasa telah sepenuhnya tenggelam dalam arus kehidupan. Jadi, aktualisasi diri merupakan suatu keberanian untuk menjadi ada.

Ketiga, aktualisasi diri membuat individu menjadi dirinya sendiri. Seseorang tidak bisa bersembunyi di belakang topeng untuk berpura-pura menjadi bukan dirinya sendiri ataupun menyembunyikan sebagian dirinya. Ia mengetahui bahwa keberadaannya berfungsi sebagai individu di dalam area sanksi dan garis-garis pedoman yang jelas dari sebuah komunitas masyarakat.

4. Fungsi penuh
Rogers memikirkan tentang apa pun karakteristik diri seseorang yang potensi-potensinya berfungsi secara penuh. Menurutnya, hal itu bisa diklasifikasikan dalam tujuh prinsip.
a. Terbuka terhadap pengalaman
Seseorang yang memfungsikan seluruh potensinya akan berupaya mengalami semua perasaan dan sikap. Ia tidak merasa dihambat oleh syarat-syarat penghargaan sehingga dapat membuka diri terhadap semua pengalaman hidup.

Hal yang terpenting, ia merasa tidak memiliki satu pun yang harus dilawan. Sebab, ia tidak melihat adanya ancaman. Jadi, ia tidak pernah merasa perlu bersikap defensif.

b. Berada dalam kehidupan eksistensial
Orang yang potensi-potensinya berfungsi penuh akan senantiasa berada di dalam momen kehidupan. Setiap pengalaman dirasakan segar dan baru. Sesuatu yang dialami seperti belum pernah ada sebelumnya, sehingga ia merespons dengan cara-cara baru. Maka, dalam setiap momen kehidupan selalu ada kegembiraan karena setiap pengalaman terasa segar.

c. Percaya diri
Seseorang yang berbagai potensi dirinya berfungsi penuh akan merasa percaya diri karena setiap sikapnya dilandasi oleh keyakinan teguh. Apabila suatu aktivitas terlihat berharga, ia akan melakukannya dengan senuh hati.

Sebaliknya, jika suatu aktivitas dirasa tidak berharga, hal itu tidak akan dilakukannya. Ia akan lebih memercayai seluruh perasaannya terhadap suatu situasi daripada pikirannya sendiri.

d. Memiliki perasaan bebas
Orang potensi-potensinya berfungsi penuh berarti sehat secara psikologis sekaligus senantiasa merasa menjadi manusia bebas. Semakin seseorang sehat secara psikologis, ia kian memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak.

Orang yang sehat dapat memilih secara leluasa tanpa adanya paksaan atau rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas mendedikasikan dirinya pada kemerdekaan penuh.

e. Senantiasa kreatif
Seseorang yang seluruh potensinya berfungsi penuh akan sangat kreatif. Ia terbuka sepenuhnya pada semua pengalaman, percaya diri, fleksibel dalam keputusan dan tindakannya.

Orang yang kreatif akan mengungkapkan dirinya dengan cara menciptakan produk-produk dan kehidupan yang berbeda dalam segala hal. Ia bertingkah laku spontan, autokritik, senantiasa berubah, serta terus tumbuh dan berkembang sebagai respons terhadap beragam stimulus di sekelilingnya.

f. Andal dan konstruktif
Orang yang potensi-potensi dirinya berfungsi secara penuh senantiasa percaya untuk bertindak konstruktif, baik dalam keadaan maupun dimensi apa pun. Mereka mampu menjaga keseimbangan antara perasaan, pikiran dan tindakan. Sebab, hal-hal tersebut merupakan syarat dari sikap andal dan konstruktif.

g. Kehidupan kaya
Individu yang potensi-potensinya berfungsi penuh akan merasa kehidupannya penuh dengan kekayaan. Baik pikiran, sikap, maupun perasaan kaya, meskipun pada kenyataannya—secara material—boleh jadi miskin.

Ia selalu tertarik pada setiap hal. Ia tahu cara mengontrol secara intens rasa suka cita dan sakit, cinta dan patah hati, serta ketakutan dan keberanian yang merupakan kodrat kepribadian setiap manusia.

5. Psikopatologi
Prinsip dasar dari aktualisasi—dan juga fungsi penuh—adalah harmoni dan keseimbangan. Sebagaimana dalam fungsi penuh andal dan konstruktif, Rogers mengacu pada kecenderungan aktualisasi. Pada saat yang sama, ia menyadari kebutuhan pada hal positif, seperti aturan moral, etika, adat, dan sebagainya.

Di sini, Rogers menyimpulkan bahwa orang yang berupaya memfungsikan potensi-potensinya tidak berarti harus mengorbankan hal positif. Mereka mampu menjalani kehidupan yang autentik dan juga asli.

Sebaliknya, orang yang mengejar hal positif juga bukan berarti menjalani kehidupan palsu sehingga tidak menyadari potensi-potensinya. Jadi, tidak benar menyatakan bahwa karena setiap orang merasa perlu bergabung dengan orang-orang di sekitarnya. Ia kemudian juga merasa perlu mengorbankan keaslian dirinya.

Menurut Rogers, ketika seseorang bergabung dengan orang lain, ia harus tetap autentik sebagai diri sendiri. Artinya, setiap orang harus menempatkan dirinya secara harmonis dan seimbang terhadap lingkungan, begitu pula sebaliknya.

Jika seseorang tidak mampu menciptakan harmoni dan keseimbangan maka secara prinsip ia telah teridentifikasi mengidap psikopatologis, yaitu suatu penyakit psikis.

Jadi, Rogers menganggap psikopatologis pada diri seseorang dapat diidentifikasi dari kenyataan bahwa orang itu tidak benar menjadi diri sendiri akibat tidak mampu menciptakan harmoni dan keseimbangan antara diri dan lingkungannya.

Psikopatologis pada diri seseorang akan mendorongnya selalu bersifat defensif. Sebab, ia menganggap dirinya sedang diancam sehingga tidak dapat bersikap terbuka terhadap semua pengalaman.

Akibatnya, potensi-potensinya tidak dapat berfungsi secara penuh. Orang semacam itu hanya sibuk bekerja keras untuk mempertahankan atau melindungi konsep ideal (ideal self) sendiri. Hidupnya tidak autentik dan selalu merasa berada di bawah bayang-bayang ancaman konstan.

Selanjutnya Rogers menjelaskan mekanisme distorsi dan penolakan. Distorsi terjadi ketika individu merasakan ancaman bagi konsep dirinya. Ia mendistorsi persepsi untuk mencapai konsep diri sendiri. Karena melakukan distorsi, ia berarti menipu dirinya sendiri.

Ia berjuang untuk defensif agar segala macam ancaman tidak semakin menjauhkan dari konsep dirinya. Perilaku defensif memang mengurangi kesadaran ancaman. Akan tetapi, hal tersebut tidak sedikit pun mengurangi ancaman itu sendiri. Ancaman tetap ada secara konstan karena orang itu memercayai keberadaannya.

Ketika ancaman meningkat, konsep diri menjadi semakin sulit untuk dilindungi. Hal ini menyebabkan seseorang menjadi semakin bersikap lebih defensif dan kaku dalam struktur dirinya. Jika kelainan tersebut tidak segera diatasi, proses ini dapat menyebabkan individu mengidap neurotik. Fungsi diri menjadi rentan sedangkan psikologi berubah genting.

Saat situasinya semakin memburuk, boleh jadi pertahanan diri terhenti sehingga kepribadian orang itu menjadi tidak teratur dan aneh, perilakunya cenderung irasional, serta menolak dirinya sendiri. Dalam kondisi demikian, sesuatu yang tidak diinginkan, seperti merasa hidupnya tidak berharga atau perasaan ingin bunuh diri semakin hari kian menghantui.

Metodologi Kepribadian
Menurut Rogers, seseorang harus bersandar pada pengalamannya sendiri tentang dunia. Sebab, hanya itulah kenyataan yang dapat diketahui oleh seorang individu. Jadi, Rogers memandang manusia dari sisi personalitas. Cara pandang semacam ini digunakan oleh Rogers dalam mengembangkan psikoterapi.

Untuk merawat klien-kliennya, Rogers memperkenalkan suatu metode terapi yang menempatkan tanggung jawab utama terhadap perubahan kepribadian klien, bukan ahli terapi sebagaimana biasa dilakukan oleh terapis Freudian. Oleh karena itu, pendekatan psikoterapinya disebut terapi yang berpusat pada klien (client-centered therapy).

Menurut Rogers, manusia tidak dikontrol oleh peristiwa-peristiwa masa lalunya karena kejadian itu sudah berlalu. Pada dasarnya, manusia itu sadar dan rasional. Tidak patut bagi setiap orang dihukum dan dibelenggu oleh masa lalu sehingga hidup dalam konflik dan kecemasan yang tak terkontrol. Masa kini dan bagaimana memandangnya jauh lebih penting daripada berlarut-larut tenggelam dalam kubangan masa lampau.

Meskipun begitu, Rogers mengemukakan bahwa pengalaman-pengalaman terdahulu dapat memengaruhi cara seseorang memandang masa kini yang pada gilirannya berpengaruh terhadap tingkat kesehatan psikologis. Jadi, pengalaman-pengalaman masa lampau juga memiliki peranan penting.

Namun, fokus Rogers tetap berada pada sesuatu yang terjadi terhadap seseorang saat ini, bukan di waktu lampau. Sekalipun masa lampau itu penting, bagaimanapun juga hal itu menjelma menjadi masa kini bagi kepribadian orang. Demikian halnya dengan masa depan. Atas dasar itulah masa kini seseorang menjadi hal yang paling penting untuk melihat kepribadiannya.

Rogers menyatakan bahwa metodologinya dapat diterapkan dalam berbagai konteks, bukan hanya situasi terapi. Karena itulah setelah client-centered therapy, ia mengontruksi metodologi lebih umum yang ia sebut persons-centered. Ia menggunakan metodologi itu untuk menjelaskan banyak hal yang sesuai dengan teorinya. Aplikasi persons-centered diterapkan Rogers di antaranya pada teori kepribadian, hubungan interpersonal, pendidikan dan pembelajaran, keperawatan, interaksi lintas budaya, serta berbagai profesi dan situasi lainnya.

Bukti empiris pertama tentang efektivitas metodologi Rogers diterbitkan pada tahun 1941 di Ohio State University oleh Elias Porter. Ketika itu, Porter menggunakan rekaman sesi terapi antara Carl Rogers dan kliennya. Porter menjadikan transkrip yang dirancang oleh Rogers sebagai alat ukur tingkat direktivitas atau nondirektivitas kerja konselor. Porter menyimpulkan bahwa sikap dan orientasi konselor sangat berperan dalam keputusan yang diambil oleh klien.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Carl Rogers: Biografi dan Teori Psikoterapi Humanistiknya"