Pengertian Identitas Sosial, Teori, Komponen, Dimensi, dan Motivasinya

Table of Contents
Pengertian Identitas Sosial
Identitas Sosial

A. Pengertian Identitas Sosial

Identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri. Identitas memiliki pengertian sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi diri sendiri dan orang lain; kesatuan dan kesinambungan yang mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain.

Identitas sosial (social identity) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan atas keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial tertentu, yang di dalamnya disertai dengan nilai-nilai, emosi, tingkat keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga terhadap keanggotaannya dalam kelompok tersebut. Konsep ini awalnya dirumuskan oleh Henri Tajfel dan John Turner di tahun 1970-an dan 1980-an. Teori identitas sosial memperkenalkan konsep identitas sosial sebagai cara untuk menjelaskan perilaku antar kelompok.

Untuk menjelaskan identitas sosial, terdapat konsep penting yang berkaitan, yaitu kategori sosial. Turner (dalam Tajfel, 1982) dan Ellemers dkk., (2002) mengungkapkan kategori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Kategori sosial berkaitan dengan kelompok sosial yang diartikan sebagai dua orang atau lebih yang mempersepsikan diri atau menganggap diri mereka sebagai bagian satu kategori sosial yang sama.

Seorang individu pada saat yang sama merupakan anggota dari berbagai kategori dan kelompok sosial (Hogg dan Abrams, 1990). Kategorisasi adalah suatu proses kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek dan peristiwa ke dalam kategori-kategori tertentu yang bermakna (Turner dan Giles, 1985; Branscombe dkk., 1993). Pada umumnya, individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni kita dan mereka.

Kita adalah in-group, sedangkan mereka adalah out-group. Maka kelompok lain sebagai out-group dipersepsikan sebagai musuh atau yang mengancam (Sear., dkk., 1994). Banyaknya kategori yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia interpersonal mengindikasikan sejauh mana kita serupa dan tidak serupa dengan orang lain di sekitar kita. Dalam banyak kasus, setiap Kelompok berusaha untuk menjadikan anggotanya memiliki identitas sosial yang kuat dan inheren terhadap kelompoknya.

Ketika seseorang telah memiliki identitas yang kuat terhadap kelompoknya, maka secara psikologis, ia akan sangat terikat dan pada akhirnya akan melahirkan solidaritas dan komitmen terhadap kelompok (Zillmann, dkk., dalam Jacobson, 2003). Hal senada juga disampaikan oleh Vugt dan Hart (2004), yang mengatakan bahwa identitas sosial akan mempengaruhi loyatis dan integritas anggota kelompok. Beberapa kasus menunjukkan bahwa solidaritas terhadap kelompoknya terkadang membawa individu ke arah perilaku yang melanggar norma-norma

Identitas Sosial (Social Identity) Menurut Para Ahli
1. Erikson, identitas sosial dibedakan menjadi dua yakni, identitas secara pribadi dan identitas dilihat dari ego. Identitas pribadi seseorang berpangkal pada pengalaman langsung bahwa selama perjalanan waktu yang telah lewat, kendati mengalami berbagai perubahan, ia tetap tinggal sebagai pribadi yang sama. Identitas pribadi baru dapat disebut identitas Ego kalau identitas itu disertai dengan kualitas eksistensial sebagai subyek yang otonom yang mampu menyelesaikan konflik-konflik di dalam batinnya sendiri serta masyarakatnya.
2. Jacques Lacan, berpendapat bahwa awal pengenalan identitas diri hadir apabila seseorang telah mengalami apa yang disebut dengan fase cermin (Lacan, 1977). Sebelum masuk ke dalam tahap yang disebutkan sebelumnya. Balita belum bisa mengenal pemisahan baik antara diri dan juga orang lain, bayi serta ibunya di dalam dan juga di luar serta laki-laki dan perempuan.
3. Tajfel , identitas sosial adalah bagian dari konsep masing-masing individu yang berasal dari keanggotaannya dan berada dalam satu kelompok sosial di mana kelompok sosial tersebut dan nilai serta signifikasi emosional yang ada dilekatkan dalam keanggotaan tersebut. Sering kali identitas ini untuk menampilkan kelompok tersebut agar lebih eksis.
4. Burke  & Stets (1998), identitas sosial termasuk ke dalam kategorisasi diri dalam kelompok, selain itu lebih terfokus kepada makna yang terkait kategorisasi-diri dalam hal kelompok, dan lebih terfokus pada makna yang terkait dalam menjadi anggota kategori sosial. Dengan penekanan yang lebih besar pada identifikasi kelompok, berfokus pada hasil kognitif seperti ethnosentrisme, atau kohesivitas kelompok.
5. Sarben & Allen (1968), identitas sosial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaannya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandingannya adalah antara in-groups dan out-groups. In-groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out-groups.
6. Baron & Byrne, identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang lain, seperti gender dan ras.
7. Hogg dan Abram (1990), social identity sebagai rasa keterkaitan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat.
8. William James (dalam Walgito, 2002), social identity lebih diartikan sebagai diri pribadi dalam interaksi sosial, di mana diri adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan orang tentang dirinya sendiri, bukan hanya tentang tubuh dan keadaan fisiknya sendiri saja, melainkan juga tentang anak–istrinya, rumahnya, pekerjaannya, nenek moyangnya, teman-temannya, miliknya, uangnya dan lain–lain.

B. Teori Identitas Sosial

Teori Identitas Sosial sendiri mulai dikenalkan oleh seorang tokoh yang bernama Henri Tajfel, dia adalah keturunan Yahudi Polandia yang lahir di Wloclawek pada 22 Juni 1919. Akan tetapi, Tajfel sama sekali tidak menganut agama yang dianutnya secara penuh. Tajfel tertarik belajar psikologi mulai tahun 1946. Di tahun1968, Tajfel menjadi Profesor Psikologi Sosial dari Departemen Psikologi pada Universitas Bristol, dan dia tetap di sana sampai kematian menjemputnya pada tahun 1982.

Di Universitas Bristol Tajfel bekerja sama dengan peneliti-peneliti muda seperti Michael Billing, Dick Eisier, Jonathan Turner dan Glyns Breakwell. Pada 1974 Tajfel berhasil mengajukan proposal ke Social Science Research Council (SSRC) mengenai identitas sosial, kategorisasi sosial, dan perbandingan sosial dalam tingkah laku hubungan antar kelompok. Nantinya, bersama Turner, Tajfel mempopulerkan teori identitas sosial. (Reicher, 1993, dalam Woodhead et al., 1999 ).

Teori identitas sosial digambarkan sebagai teori yang memprediksi perilaku antar kelompok tertentu berdasarkan perbedaan status kelompok, legitimasi dan stabilitas yang dipersepsikan akibat adanya perbedaan status tersebut, dan kemampuan yang dipersepsikan dalam berpindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Hal ini berbeda dengan istilah 'teori identitas sosial' yang digunakan dalam menjelaskan tentang manusia sosial (identitas kolektif).

Walaupun beberapa peneliti telah menggunakannya untuk hal tersebut, teori identitas sosial tidak pernah dimaksudkan untuk membuat generalisasi kategorisasi sosial. Kesadaran akan terbatasnya lingkup teori identitas sosial, menyebabkan John Turner dan rekannya mengembangkan teori yang mirip dari bentuk teori kategorisasi diri, yang dibangun di atas wawasan teori identitas sosial untuk menghasilkan gagasan yang lebih umum tentang proses pembentukan diri dan kelompok ini. Istilah 'pendekatan identitas sosial' atau 'perspektif identitas sosial', disarankan dapat menggambarkan kontribusi bersama antara teori identitas sosial dengan teori kategorisasi diri.

C. Komponen Identitas Sosial

Tajfel (1978) mengembangkan social identity theory sehingga terdiri dari tiga komponen yaitu cognitive component (self categorization), evaluative component (group self esteem), dan emotional component (affective component).
1. Cognitive Component
Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok, seperti self categorization. Individu mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok tertentu yang akan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai dengan keanggotaan kelompoknya. (dalam Ellemers, 1999). Komponen ini juga berhubungan dengan self stereotyping yang menghasilkan identitas pada diri individu dan anggota kelompok lain yang satu kelompok dengannya. Self stereotyping dapat memunculkan perilaku kelompok (Hogg, 2001).

2. Evaluative Component
Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok, seperti group self esteem. Evaluative component ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki individu terhadap keanggotaan kelompoknya (dalam Ellemers, 1999).

3. Emotional Component
Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok, seperti affective commitment. Emotional component ini lebih menekankan pada seberapa besar perasaan emosional yang dimiliki individu terhadap kelompoknya (affective commitment). Komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih berkontribusi terhadap social identity yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota kelompok sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang kuat terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan karakteristik negatif (dalam Ellemers, 1999).

D. Dimensi Identitas Sosial

Menurut Jackson and Smith (dalam Barron and Donn, 1991) ada empat dimensi dalam mengkonseptualisasikan social identity di antaranya,
1. Persepsi dalam Konteks Antar Kelompok
Dengan mengidentifikasikan diri pada sebuah kelompok, maka status dan gengsi yang dimiliki oleh kelompok tersebut akan mempengaruhi persepsi setiap individu di dalamnya. Persepsi tersebut kemudian menuntut individu untuk memberikan penilaian, baik terhadap kelompoknya maupun kelompok yang lain.

2. Daya Tarik In-Group
Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok di mana seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “common identity” (identitas umum). Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan jelas berbeda dengan “in group”. Adanya perasaan “in group” sering menimbulkan “in group bias”, yaitu kecenderungan untuk menganggap baik kelompoknya sendiri. Menurut Henry Tajfel (1974) dan Michael Billig (1982) in group bias merupakan refleksi perasaan tidak suka pada out group dan perasaan suka pada in group. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang pada umumnya disertai devaluasi kelompok lain.

Berdasarkan Social Identity Theory, Henry Tajfel dan John Tunner (1982) mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh “in group favoritism”, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan in group di atas out group. Berdasarkan teori tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha meningkatkan harga diri kita, yaitu: identitas pribadi (personal identity) dan identitas sosial (social identity) yang berasal dari kelompok yang kita miliki. Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan dengan individu lain.

3. Keyakinan Saling Terkait
Social identity merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri.

Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat.

4. Depersonalisasi
Ketika individu dalam kelompok merasa menjadi bagian dalam sebuah kelompok, maka individu tersebut akan cenderung mengurangi nilai-nilai yang ada dalam dirinya, sesuai dengan nilai yang ada dalam kelompoknya tersebut. Namun, hal ini juga dapat disebabkan oleh perasaan takut tidak ‘dianggap’ dalam kelompoknya karena telah mengabaikan nilai ataupun kekhasan yang ada dalam kelompok tersebut. Keempat dimensi tersebut cenderung muncul ketika individu berada ditengah-tengah kelompok dan ketika berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya.

E. Motivasi Identitas Sosial

Social identity dimotivasi oleh dua proses yaitu self-enhacement dan uncertainty reduction yang menyebabkan individu untuk berusaha lebih baik dibandingkan kelompok lain. Motivasi ketiga yang juga berperan adalah optimal distinctiveness.
1. Self-Enhancement dan Positive Distinctiveness
Positive distinctiveness mencakup keyakinan bahwa ”kelompok kita” lebih baik dibandingkan “kelompok mereka”. Kelompok dan anggota yang berada di dalamnya akan berusaha untuk mempertahankan positive distinctiveness tersebut karena hal itu menyangkut dengan martabat, status, dan kelekatan dengan kelompoknya. Positive distinctiveness seringkali dimotivasi oleh harga diri anggota kelompok.

Ini berarti bahwa harga diri yang rendah akan mendorong terjadinya identifikasi kelompok dan perilaku antar kelompok. Dengan adanya identifikasi kelompok, harga diri pun akan mengalami peningkatan. Self-enhancement tak dapat disangkal juga terlibat dalam proses identitas sosial. Karena motif individu untuk melakukan social identity adalah untuk memberikan aspek positif bagi   dirinya, misalnya meningkatkan harga dirinya, yang berhubungan dengan self enhancement (Burke, 2006).

2. Uncertainty Reduction
Motif social identity yang lain adalah uncertainty reduction. Motif ini secara langsung berhubungan dengan kategorisasi sosial. Individu berusaha mengurangi ketidakpastian subjektif mengenai dunia sosial dan posisi mereka dalam dunia sosial. Individu suka untuk mengetahui siapa mereka dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Selain mengetahui dirinya, mereka juga tertarik untuk mengetahui siapa orang lain dan bagaimana seharusnya orang lain tersebut berperilaku. Kategorisasi sosial dapat menghasilkan uncertainty reduction karena memberikan group prototype yang menggambarkan bagaimana orang (termasuk dirinya) akan/dan seharusnya berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain.

Dalam uncertainty reduction, anggota kelompok terkadang langsung menyetujui status keanggotaan mereka karena menentang status kelompok berarti meningkatkan ketidakpastian self-conceptualnya. Individu yang memiliki ketidakpastian self-conceptual akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang statusnya tinggi atau rendah. Kelompok yang telah memiliki kepastian self-conceptual akan dimotivasi oleh self-enhancement untuk mengidentifikasi dirinya lebih baik terhadap kelompoknya (Burke, 2006).

3. Optimal Distinctiveness
Motif ketiga yang terlibat dalam proses social identity adalah optimal distinctiveness. Menurut Brewer (1991), individu berusaha menyeimbangkan dua motif yang saling berkonflik (sebagai anggota kelompok atau sebagai individu) dalam meraih optimal distinctiveness (dalam Burke, 2006). Individu berusaha untuk menyeimbangkan kebutuhan mempertahankan perasaan individualitas dengan kebutuhan menjadi bagian dalam kelompok yang akan menghasilkan definisi dirinya sebagai anggota kelompok (Ellemers, 1999).
 

Dari berbagai sumber

Download

Penjelasan tentang Identitas, Identitas Diri, dan Identitas Sosial di Media Sosial

https://youtu.be/VaBxeiXfTjQ?si=HR9GgkQrfvmI2Qs8

https://www.instagram.com/p/C7GIIjqR6mq/

https://www.tiktok.com/@sosiologisman1cibeber/video/7370184599105703185

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment