Populisme sebagai Gerakan Politik yang Mengganggu Stabilitas Politik
Pengertian Populisme
Populisme adalah gerakan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan "rakyat" yang sering kali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut "elite". Pemimpin populis sering menggunakan retorika sederhana, sering kali emosional, untuk memenangkan dukungan rakyat dengan menawarkan solusi yang jelas dan cepat terhadap masalah kompleks.
Gerakan politik ini menekankan perbedaan antara “rakyat” dan “elit”, di mana pemimpin populis mengklaim mewakili kepentingan langsung rakyat atau “orang biasa” dalam konfrontasi dengan “elite korup” yang kerap diasosiasikan sebagai kelompok penindas, tamak, selalu mementingkan diri sendiri, dan mengabaikan kehendak rakyat banyak.
Populisme lahir atas dasar persepsi rakyat biasa terhadap pengkhianatan elit atau sikap kontradiktif elit-elit politik yang berperilaku kontradiktif antara janji politik saat kampanye dan realisasinya pada saat berkuasa. Pendekatan ini memiliki tiga elemen dasar dalam populisme, yaitu rakyat, elit, dan kehendak rakyat yang terkhianati.
Gerakan politik ini dalam perkembangannya telah mengalami lonjakan popularitas di banyak negara, termasuk di Eropa. Hal ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap status quo politik, ketegangan ekonomi, dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga tradisional.
Populisme Menurut Para Ahli
Para ilmuwan-ilmuwan sosial lainnya mendefinisikan populisme secara berbeda. Menurut definisi agensi yang digunakan oleh beberapa sejarawan Amerika Serikat, populisme mengacu pada keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik tanpa melibatkan lembaga perwakilan.
Ilmuwan politik Ernesto Laclau melihat populisme sebagai kekuatan sosial emansipatoris di mana kelompok-kelompok marjinal menantang struktur kekuasaan dominan. Sementara itu, beberapa ekonom menggunakan istilah populisme berkaitan dengan sikap pemerintah yang melibatkan pengeluaran publik yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri, mengakibatkan hiperinflasi dan langkah-langkah darurat.
Dalam wacana populer, istilah populisme sering digunakan secara sinonim dengan demagogi untuk menggambarkan politisi yang menghadirkan jawaban yang terlalu sederhana untuk pertanyaan-pertanyaan kompleks dengan cara yang sangat emosional atau temperamental, atau juga dengan cara oportunistis yang berusaha untuk menyenangkan pemilih tanpa pertimbangan rasionalitas dan logis untuk mewujudkan upaya tersebut.
Partai atau gerakan populis sering dipimpin oleh tokoh-tokoh karismatik yang menampilkan diri mereka sebagai wujud dari "suara rakyat".
Sejarah Istilah
Walaupun sering digunakan oleh sejarawan, ilmuwan sosial, dan pengamat politik, istilah ini populisme sangat kabur maknanya dan dalam konteks yang berbeda mengacu kepada beragam fenomena yang membingungkan. Margaret Canovan, 1981, istilah populisme telah dipertentangkan, salah diterjemahkan, dan digunakan untuk mengacu kepada beraneka ragam pergerakan dan kepercayaan.
Ilmuwan politik Will Brett menyebut populisme sebagai "contoh klasik konsep yang telah meluas ruang lingkupnya, sehingga menjadi berbeda dari konsep asalnya akibat penggunaan yang berlebihan dan penyalahgunaan", sementara ilmuwan politik Paul Taggart mengatakan bahwa populisme adalah "salah satu konsep politik yang paling sering digunakan tetapi paling kurang dipahami pada masa kini."
Istilah ini bermula dari anggota Partai Rakyat (People's Party) yang aktif di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19; mereka menyebut diri mereka sebagai kelompok "populis". Di Kekaisaran Rusia pada periode yang sama, kelompok yang berbeda menyebut diri mereka narodniki, yang sering kali salah diterjemahkan menjadi "populis", sehingga semakin menimbulkan kekeliruan terkait istilah tersebut.
Nyatanya kedua pergerakan ini memiliki berbagai perbedaan, dan hanya kebetulan sama mereka memakai nama yang serupa. Pada dasawarsa 1920-an, istilah "populis" memasuki bahasa Prancis dan mengacu kepada sekelompok penulis yang mengemukakan kepeduliannya kepada rakyat.
Implikasi Populisme
Meskipun populisme sering kali mengklaim untuk memperkuat partisipasi demokratis dengan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat, gerakan populis juga menimbulkan tantangan serius bagi demokrasi liberal. Pemimpin populis dapat menekankan pemerintahan otoriter, membatasi kebebasan pers, dan mengabaikan norma-norma konstitusional, menempatkan demokrasi di bawah tekanan besar.
Selain itu, populisme dapat menghasilkan polarisasi politik yang lebih besar, memecah masyarakat menjadi kubu-kubu yang saling bertentangan. Hal ini dapat mengancam stabilitas sosial dan politik suatu negara dengan meningkatkan ketegangan antar kelompok dan menurunkan kemampuan untuk mencapai konsensus politik.
Antony Lee mengatakan gaya kepemimpinan populis pada kadar tertentu dianggap sebagai sosok pahlawan, sedangkan Margaret Canovan berpendapat tentang kaum populis, di mana kaum populis menggalang dukungan melalui institusi demokrasi dengan mendekati massa yang dianggap diwakilinya.
Populisme di Indonesia
Gaya kepemimpinan populis memberikan warna tersendiri dalam percaturan politik dan kekuasaan di Indonesia, menjadi tren tersendiri bagi para politisi. Mereka menganggap gaya kepemimpinan populis merupakan aspek penting dalam membangun komunikasi politik dan personal branding di tengah masyarakat. Oleh karena itu, karakteristik kepemimpinan populis seakan diidentikkan melalui sikap karismatik dan luapan perlawanan terhadap kaum elite.
Hadirnya beragam platform media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, Tiktok hingga Youtube dimanfaatkan betul oleh pemimpin populis, salah satunya adalah Ganjar Pranowo. Pendekatan komunikasi politik populis ala Ganjar melalui media sosial sangat berhasil membangun citra dirinya sebagai sosok pemimpin yang dekat rakyat. Pemimpin yang berbaur langsung dengan masyarakat kecil.
Melaui media sosial, Ganjar sukses mengkombinasikan penyampaian wacana politik disertai dengan bumbu hiburan sehingga orang yang mendengarkan atau melihat merasa tidak bosan dan digurui. Ganjar sosok tokoh pemimpin dengan Gaya populis dan sukses, hal ini ditandai dengan ia menjadi Gubernur Jawa Tengah dua periode, dan sekarang menjadi kandidat bakal calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang.
Benarkan Mendahulukan Kepentingan Rakyat?
Populis sendiri dapat diartikan sebagai pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyat, atau secara retoris pemimpin ini menyatukan diri dengan rakyat, tak ada jarak dengan rakyat. Sederhananya, pemimpin populis dipahami sebagai pemimpin berada di tengah-tengah rakyat kecil, mengerti urusan dan kebutuhan rakyat.
Di Indonesia gaya populis tumbuh subur dan berkembang, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir ini. Banyak politisi yang menggunakan gaya kepemimpinan populis, sebut saja Tri Rismaharini (Mantan Wali Kota Surabaya), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Bima Arya Sugiarto (Wali Kota Bogor), Anies Baswedan (Mantan Gubernur DKI Jakarta), dan bahkan Presiden Joko Widodo.
Narasi populis sendiri banyak mencakup ketidakadilan sosial-ekonomi, kelas sosial, marginalisasi rakyat miskin kota, ketimpangan, dan lapangan pekerjaan. Margaret Canovan seorang ahli pemikiran teori politik Inggris membagi populisme menjadi tiga jenis. Pertama, populisme wong cilik, yang berorientasi pada petani, borjuis kecil, kaum buruh, dan selalu antagonistik terhadap elit politik dan kaum borjuasi besar; mereka anti dan menentang produk kaum kapitalisme.
Kedua, populisme otoriter, yang mengharapkan munculnya para pemimpin karismatik dari sebuah proses demokratis. Pemimpin yang lahir dari populisme jenis ini bisa mengarah pada otoritarianisme dan totaliter jika lama berkuasa.
Ketiga, populisme revolusioner, yang merupakan perwujudan pemikiran kolektif menolak segala macam bentuk elitisme dan ide-ide tentang kemajuan, serta menggalang ide-ide pembaruan yang revolusioner. Tatanan dan institusi politik dinilai tidak lebih dari perwujudan dominasi elite atas rakyat sehingga harus diubah dan direbut melalui dukungan penuh pada pemimpin revolusioner yang dianggap mewakili kepentingan rakyat banyak.
Perlu Diwaspadai
Di sisi lain, gaya populis harus diwaspadai karena ini salah satu tanda dari kemunduran demokrasi. Populisme bisa mengancam demokrasi karena memiliki "fantasi" berbahaya akan masyarakat tunggal, homogen, mendorong polarisasi, serta mengancam lawan politiknya sebagai "musuh" masyarakat. Narasi-narasi populis bisa saja digunakan oleh pemimpin, seperti narasi anti-asing, terutama terkait dengan sumber daya alam. Namun, narasi-narasi populis yang dimunculkan tidak akan bisa dieksekusi.
Sejarah mencatat banyak pemimpin populis yang tidak lahir dari rahim partai politik; mereka membesarkan dirinya melebihi partai politik. Bagi mereka partai politik hanya instrumen untuk mendapatkan kekuasaan. Setelah "jadi", mereka abai dengan partai yang mengusungnya karena merasa sudah didukung mayoritas masyarakat. Tentu fenomena ini sangat membahayakan eksistensi partai politik itu sendiri sebagai tempat lahirnya kaderisasi kepemimpinan.
Dalam hal program, pemimpin populis seringkali melakukan program-program jangka pendek tidak melembagakan program populis tersebut dalam jangka panjang. Ini biasanya dilakukan karena program-program populis diciptakan dengan bersandar atas kehendak pemimpinnya dalam merespon keinginan masyarakat. Inilah yang menjadi kelemahan terbesar dari pemimpin populis.
Namun terlepas dari itu semua, gaya kepemimpinan populis masih menjadi primadona para politisi untuk mendapatkan elektoral di masyarakat. Dan, itu sah-sah saja di negara demokrasi, apalagi Indonesia memiliki masyarakat yang senang dengan pemimpin yang merakyat dan hadir di tengah-tengahnya; pemimpin yang tidak ada jarak dengan dirinya.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://pemerintahan.uma.ac.id
dan sumber lain yang relevan
Post a Comment