Perang Gerilya: Pengertian, Sejarah, Ciri, Tujuan, Tokoh, dan Contohnya di Indonesia

Table of Contents

Pengertian Perang Gerilya

Perang gerilya adalah strategi militer yang dilakukan oleh pasukan kecil untuk melawan musuh yang lebih kuat. Perang gerilya merupakan cara berperang dengan menggunakan taktik pertempuran yang tidak konvensional, seperti bersembunyi-sembunyi, berpindah tempat secara cepat dan senyap, serta menggunakan taktik seperti serangan mendadak, sabotase, dan penyergapan.

Perang gerilya memiliki beberapa tujuan, di antaranya: Melelahkan musuh, Menipu dan mengelabui musuh, Memecah konsentrasi musuh, Memperlambat serangan musuh. Perang gerilya ini sering digunakan oleh pasukan yang lebih lemah atau kurang diperlengkapi dengan baik. Strategi ini sangat efektif untuk menyerang musuh yang berjumlah besar dan tidak hafal medan.

Secara etimologi gerilya berasal dari kata guerilla dalam bahasa Spanyol merupakan bentuk diminutif dari kata guerra (perang), makanya dapat dimaknai juga sebagai 'perang kecil'. Walaupun perang gerilya hanya bersifat defensif dan menghindari konfrontasi langsung dengan pasukan musuh yang besar, strategi ini cukup efisien untuk memeras tenaga musuh.

Dikutip dari jurnal 'Pengaruh Besar Cu Chi Tunnels Dalam Kemenangan Perang Gerilya Bangsa Vietnam' karya Achdwiyanto Yudi Hartono dkk, dijelaskan perang gerilya adalah strategi militer yang dilakukan oleh kelompok kecil bersenjata menggunakan taktik seperti serangan kilat, penyergapan, dan sabotase untuk melawan pasukan musuh yang lebih besar.

Ini adalah bentuk perang asimetris di mana pihak yang lebih lemah memanfaatkan kecepatan, mobilitas, dan pengetahuan medan untuk mengeksploitasi kelemahan musuh yang lebih kuat.

Perang gerilya umumnya dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi oleh sekelompok orang. Ini sering digunakan oleh pasukan yang lebih lemah atau kurang diperlengkapi dengan baik yang tidak dapat terlibat dalam pertempuran tradisional, head to head dengan musuh yang lebih kuat.

Sejarah Perang Gerilya

Melansir laman Kemdikbud, istilah perang gerilya berasal dari bahasa Spanyol, guerra de guerrillas, yang artinya perang kecil. Istilah guerra merujuk pada perang yang dilakukan oleh kelompok kecil, biasanya terdiri dari 5, 10, atau 15 orang.

Meski istilah perang gerilya baru dipopulerkan pada sekitar abad ke-19, diperkirakan, taktik ini sebenarnya telah digunakan oleh suku-suku dari zaman praaksara ketika berperang. Catatan tertua mengenai taktik perang gerilya ditemukan pada abad ke-6 SM, dalam The Art of War karya seorang jenderal dan ahli strategi dari China bernama Sun Tzu.

Taktik perang gerilya juga digunakan oleh seorang jenderal Republik Romawi, Quintus Fabius Maximus pada 217 SM. Quintus Fabius Maximus kerap disebut sebagai Bapak Perang Gerilya, setelah menyusun berbagai taktik perang gerilya untuk mengalahkan Jendral Kartago, Hannibal Barca.

Pada perkembangannya, taktik gerilya digunakan dalam berbagai peperangan di dunia, khususnya dalam gerakan revolusioner dan perlawanan rakyat terhadap tentara pendudukan. Istilah perang gerilya kemudian tercipta dalam Perang Kemerdekaan Spanyol pada abad ke-19.

Sejarah Perang Gerilya di Indonesia

Sejarah perang gerilya di Indonesia sudah ada sejak sebelum Soekarno menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dirangkum dari penelitian berjudul 'Perang Gerilya Dalam Pemikiran Jenderal Soedirman 1948-1949' karya Muthmainnah, dijelaskan perang gerilya di Indonesia pertama kali diketahui sejak perlawanan yang dilakukan oleh Imam Bonjol saat Perang Padri antara tahun 1821-1837.

Perang Padri mencuat karena adanya konflik antara kaum adat dan kaum Padri yang diadu domba oleh kolonial dengan membawa isu reformasi Islam. Akhirnya, Imam Bonjol memimpin perang tersebut dan melakukan metode perang gerilya untuk mengalahkan Belanda.

Selain Perang Padri, taktik gerilya juga dilakukan oleh Pangeran Diponegoro dan pasukan untuk melawan Belanda pada tahun 1825-1830. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Jawa karena wilayah perangnya yang hampir berada di seluruh pulau Jawa.

Lalu, pada masa reformasi Indonesia, tepatnya setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada periode tahun 1946-1949, Belanda masih menguasai beberapa wilayah di Indonesia dan terus melakukan perlawanan. Saat itu, Jenderal Soedirman merupakan pemimpin atau Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan bertugas memimpin perang melawan Belanda.

Jenderal Soedirman menggunakan taktik gerilya yang diusulkan oleh Abdul Haris Nasution atau akrab disapa Jenderal Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Jawa. Perang gerilya dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan dari rakyat kepada penjajah saat Agresi Militer Belanda II.

Puncaknya yaitu terjadi pada Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, di mana rakyat Indonesia berhasil mengalahkan Belanda yang telah menguasai Daerah Istimewa Yogyakarta. Kekalahan lawan tersebut tak lekang dari taktik gerilya yang dilakukan oleh Jenderal Soedirman dan Jenderal Nasution.

Melalui peristiwa tersebut, Jenderal Soedirman dan Jenderal Nasution dikenal sebagai pahlawan nasional yang berhasil menggunakan taktik gerilya dalam melawan penjajah setelah Indonesia merdeka.

Ciri Khas Perang Gerilya

Perang gerilya adalah perang yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, penuh kecepatan, sabotase dan biasanya dalam kelompok yang kecil tapi sangat fokus dan efektif. A.H. Nasution yang pernah menjabat pucuk panglima Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD) menuliskan di buku "Pokok-pokok Gerilya".

Bagi tentara perang gerilya sangat efektif. Mereka dapat mengelabuhi, menipu atau bahkan melakukan serangan kilat. Taktik ini juga sangat membantu dan manjur saat menyerang musuh dengan jumlah besar yang kehilangan arah dan tidak menguasai medan. Kadang taktik ini juga mengarah pada taktik mengepung secara tidak terlihat (invisible). Sampai sekarang taktik ini masih dipakai teroris untuk sembunyi.

Jika mereka menguasai medan mereka dapat melakukan: penahanan sandera, berlatih, pembunuhan, hingga menjadi mata-mata. Dan dapat dilakukan secara nomaden, yaitu berpindah-pindah dan menyerang secara bersembunyi tanpa ketahuan oleh lawan.

Tujuan Perang Gerilya

Dirangkum dari buku dengan judul 'Mao Tse-tung on Guerrilla Warfare' yang dipublikasikan oleh US Marine Corps, terdapat beberapa tujuan adanya perang gerilya di antaranya,
1. Melemahkan Musuh: Perang gerilya berusaha mengurangi kekuatan musuh dengan serangan terus-menerus dan mengganggu logistik mereka.
2. Mengganggu Stabilitas: Dengan menyerang infrastruktur dan pasokan, perang gerilya menciptakan kebingungan dan ketidakstabilan bagi musuh.
3. Meningkatkan Moral: Taktik ini membantu menjaga semangat pasukan gerilyawan dan pendukung, menunjukkan bahwa perjuangan masih berlangsung.
4. Melemahkan Ekonomi dan Politik: Serangan terhadap sumber daya dan target politik bertujuan mengurangi kontrol musuh atas wilayah.
5. Mendapatkan Dukungan Rakyat: Perang gerilya juga bertujuan mendapatkan dukungan dari masyarakat dengan menunjukkan bahwa perjuangan mereka adalah untuk kepentingan rakyat.

Tokoh yang Menggunakan Taktik Perang Gerilya

Dikutip dari buku 'Sejarah Jenderal Soedirman di Kabupaten Bantul' yang disusun oleh Marsus M Hum dkk, buku 'Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan' untuk SMP kelas 8 oleh Kemendikbud Ristek RI, berikut tokoh yang menggunakan taktik perang gerilya di masa lalu untuk melawan penjajah:
1. Jenderal Soedirman
Jenderal Soedirman adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dan Panglima Besar TNI pertama. Ia lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga, Jawa Tengah. Soedirman dikenal sebagai seorang pemimpin yang teguh dan religius.

Meski menderita penyakit tuberkulosis, ia tetap memimpin perjuangan dengan semangat yang tak kenal lelah. Soedirman meninggal pada 29 Januari 1950 di Magelang, Jawa Tengah.

Selama Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948-1949, Jenderal Soedirman memainkan peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketika Belanda melancarkan serangan besar-besaran untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia, Soedirman memutuskan untuk melancarkan perang gerilya.

Meskipun dalam kondisi kesehatan yang buruk, ia memimpin pasukan gerilya dengan cara berpindah-pindah di pedalaman Jawa. Perang gerilya ini efektif dalam mengganggu kekuatan militer Belanda.

Soedirman menggunakan taktik serangan mendadak dan mobilitas yang tinggi untuk melemahkan musuh. Strategi ini tidak hanya menekan pasukan Belanda tetapi juga menunjukkan ketahanan dan tekad bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Perang gerilya yang dipimpin oleh Jenderal Soedirman menjadi simbol perlawanan dan kekuatan moral bagi rakyat Indonesia.

2. AH Nasution
Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918 di Kotanopan, Sumatera Utara, adalah seorang perwira tinggi militer dan tokoh politik Indonesia. Ia terkenal karena kontribusinya dalam angkatan bersenjata dan pemikirannya tentang strategi militer, serta sebagai penulis buku-buku terkait militer.

Selama Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948, Nasution yang saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi, memimpin taktik perang gerilya setelah Belanda menguasai Yogyakarta.

Dia menggunakan strategi ini untuk menghindari pertempuran langsung dan melakukan serangan mendadak, mengganggu logistik Belanda, dan menjaga semangat perjuangan. Doktrin Perang Rakyat Semesta yang dirumuskannya menekankan perlawanan rakyat yang terorganisir.

Strategi ini berhasil melemahkan Belanda dan membantu Indonesia tetap berfungsi sebagai negara yang merdeka, yang akhirnya memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia pada akhir tahun 1949.

3. Robert Wolter Monginsidi
Robert Wolter Monginsidi adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang lahir di Manado pada 3 Maret 1925 dan gugur pada 5 September 1949. Selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, Mongisidi berperan sebagai komandan gerilya di Sulawesi.

Dia memimpin pasukan dalam operasi gerilya melawan Belanda, mengorganisir dan melatih pasukan serta meningkatkan moral mereka. Melalui taktik serangan mendadak dan gangguan logistik, Monginsidi membantu melemahkan kekuatan Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan dedikasi tinggi.

4. Ranggong Daeng Romo
Ranggong Daeng Romo, lahir pada 21 November 1907, adalah seorang pemimpin penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Sebagai pemimpin perlawanan, ia memainkan peran utama dalam perang gerilya melawan penjajahan Belanda.

Ranggong Daeng Romo menerapkan taktik gerilya seperti serangan mendadak, sabotase, dan gangguan logistik untuk melemahkan musuh dan menciptakan ketidakstabilan di kalangan penjajah. Ia juga terampil dalam mengorganisasi pasukan gerilya dan menjaga moral mereka, serta berhasil mendapatkan dukungan dari masyarakat lokal.

Peran aktifnya dalam memobilisasi rakyat dan memimpin perlawanan yang efektif membantu memperkuat perjuangan kemerdekaan Indonesia dan melawan kolonialisme.

Contoh Perang Gerilya di Indonesia

Contoh perang gerilya yang telah terjadi di Indonesia dilakukan sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Kebanyakan taktik perang gerilya yang dilakukan oleh para pahlawan Indonesia sebelumnya memang belum berhasil, namun hal tersebut menyulut semangat rakyat Indonesia untuk menyerang penjajah.

Berikut adalah beberapa contoh perang gerilya yang terjadi di Indonesia:
1. Perang Padri (1821-1837)
Tuanku Imam Bonjol menerapkan strategi gerilya dalam Perang Padri (1821-1837) dengan memanfaatkan medan pegunungan Sumatra untuk melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Belanda. Ia menghindari pertempuran terbuka dan menggunakan taktik hit-and-run untuk melemahkan musuh, meskipun akhirnya tertangkap pada tahun 1837.

2. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien (1873-1901)
Teuku Umar mengimplementasikan strategi gerilya dengan berpura-pura menyerah kepada Belanda untuk mendapatkan senjata dan persediaan, kemudian melanjutkan perlawanan dengan menggunakan sumber daya tersebut. Cut Nyak Dhien melanjutkan perjuangan suaminya dengan memimpin serangan mendadak dan memanfaatkan pengetahuan lokal untuk menghindari penangkapan, meskipun akhirnya tertangkap pada tahun 1901.

Baca Juga: Perang Aceh Melawan Belanda: Sejarah, Penyebab, Terjadinya Perang, dan Akhir Perang

3. Perang Jawa (1825-1830)
Pangeran Diponegoro menggunakan strategi gerilya dalam Perang Jawa (1825-1830) dengan menyerang pasukan Belanda secara mendadak dan menghindari pertempuran terbuka. Ia memanfaatkan pengetahuannya tentang medan lokal dan dukungan rakyat untuk melancarkan serangan dan penyergapan, sehingga melemahkan kekuatan musuh yang lebih besar dan terorganisir.

4. Perang Makassar (1666-1669)
Sultan Hasanuddin menggunakan taktik gerilya dalam Perang Makassar (1666-1669) dengan melancarkan serangan mendadak dan penyergapan terhadap pasukan Belanda di darat, sambil memanfaatkan kekuatan angkatan lautnya. Strategi ini mengganggu pasokan dan posisi musuh, meskipun akhirnya beliau harus menandatangani perjanjian yang merugikan.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.detik.com
https://www.kompas.com
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment