Mengenal Peristiwa Lapangan Ikada di Jakarta 19 September 1945
Table of Contents
Apa itu Peristiwa Lapangan Ikada di Jakarta 19 September 1945?
Rapat Raksasa di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) merupakan pertemuan bersejarah antara pemerintah RI dengan rakyat, yang terjadi pada 19 September 1945. Rapat terbuka ini dihadiri oleh ribuan orang rakyat Indonesia dan diprakarsai oleh Komite van Aksi. Dalam peristiwa ini Presiden Soekarno memberikan pidato singkat berisi seruan kepada rakyat agar percaya kepada pemerintah Republik Indonesia.
Lapangan Ikada adalah sebuah lapangan luas di pojok timur yang saat ini ditempati oleh kawasan Monas. Lapangan ini sebelumnya dikenal dengan nama Lapangan Gambir dan menjadi pusat kegiatan olahraga. Nama Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) muncul di masa pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Mengenal Komite van Aksi
Komite van Aksi merupakan komunitas yang terdiri dari para pemuda dan mahasiswa, terutama pemuda-pemuda dari Prapatan 10 dan Menteng 31. Kedua kelompok itu pula yang terlibat dalam mendesak Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan ketika Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu. Komite van Aksi berisikan tokoh-tokoh penting dan berpengaruh seperti, Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Pandu Kartawiguna, Armunanto, Maruto Nitimihardjo, dan Djohar Nur. Mereka membentuk Komite van Aksi pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan.
Komite van Aksi berperan dalam menggalang kekuatan rakyat pada rapat besar yang dilaksanakan di Lapangan Ikada dan meyakinkan para tokoh penting untuk hadir. Pasalnya, para pemimpin negara, seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan para menteri, memperhitungkan berbagai kemungkinan tidak terduga.
Kemungkinan yang dimaksud adalah reaksi pihak Jepang yang dapat merugikan perjuangan Indonesia.
Para pemuda dari Prapatan 10 dan Menteng 31 yang membentuk Komite van Aksi juga diketahui memotori berbagai gerakan pemuda di Jakarta. Pemuda Menteng 31 merupakan sebutan untuk para pemuda revolusioner yang bermarkas di Asrama Angkatan Baru Indonesia atau Asrama Menteng 31 (Gedung Joang 45).
Asrama Menteng 31 adalah pusat dari kegiatan para pemuda revolusioner pada masa pendudukan Jepang. Meski asrama ini dibiayai oleh Jepang guna menggembleng kaum pergerakan nasional angkatan muda supaya menjadi alat bagi mereka, para pemuda revolusioner justru menanamkan semangat nasionalisme kepada anggota hingga membuat Jepang terancam dan membubarkannya.
Meski telah dibubarkan oleh Jepang pada 1943, pemuda Menteng 31 diam-diam terus melanjutkan perjuangannya. Mereka adalah Chaerul Saleh, Adam Malik, DN Aidit, Wikana, Sukarni, Syamsudin Tjan, AM Hanafi, Ismail Widjaja, dan masih banyak lainnya.
Sedangkan Prapatan 10 merupakan sebutan para pemuda yang tinggal di asrama Prapatan 10. Mereka adalah mahasiswa Ika Daigaku (perguruan tinggi kedokteran) yang didirikan oleh Jepang, yang terpengaruh pemikiran Sutan Sjahrir.
Berbeda dengan para pemuda Menteng 31 yang cenderung revolusioner dan memilih menggunakan cara-cara frontal dan konfrontatif, para pemuda Prapatan 10 bersama Sjahrir, yang ingin membentuk organisasi dan menerima dulu kedatangan Sekutu bersama Belanda.
Meski pemuda Menteng 31 dan Prapatan 10 pada akhirnya pecah kongsi, terselenggaranya Rapat Raksasa di Lapangan Ikada merupakan keberhasilan tersendiri bagi Komite van Aksi. Pertemuan tersebut menjadi simbol persatuan antara rakyat Indonesia dengan pemerintah yang memiliki tujuan selaras, yaitu kemerdekaan Indonesia.
Rapat Raksasa di Lapangan Ikada juga menunjukkan bahwa adanya suatu pemerintahan bernama Republik Indonesia yang didukung sepenuhnya oleh rakyatnya.
Tujuan Peristiwa Lapangan Ikada di Jakarta 19 September 1945
Tujuan diadakan rapat raksasa di Lapangan Ikada yang diinisiasi Komite van Aksi adalah agar para pemimpin negara dapat berbicara di hadapan rakyat secara langsung guna menegaskan atau memberi kepastian bahwa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan dan akan mempertahankan kedaulatan negara yang baru berumur satu bulan. Setelah peristiwa proklamasi kemerdekaan, bentrokan sering terjadi antara para pemuda Indonesia dengan penguasa militer Jepang. Saat itu, Jepang belum angkat kaki dan akan menyerahkan status quo Indonesia kepada pihak Sekutu. Bahkan sudah sebulan setelah peristiwa proklamasi, tidak ada perubahan yang nyata di Indonesia.
Latar Belakang Peristiwa Lapangan Ikada di Jakarta 19 September 1945
Menyusul proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, muncul ketidakpuasan di antara para pemuda atas kebijakan pemerintah dalam hal pengambilalihan kekuasaan dari Jepang (Muljana 2008: 48-49). Atas dasar ketidakpuasan tersebut, maka para pemuda yang berada dalam Komite van Aksi menggalang massa untuk mengadakan rapat besar dalam rangka memperingati satu bulan kemerdekaan RI (Leirissa dan Djamhari 1993: 35).
Awalnya rapat besar ini akan diselenggarakan pada tanggal 17 September, bertepatan dengan satu bulan proklamasi kemerdekaan. Namun karena adanya ancaman dari tentara Jepang, maka rapat diundur dua hari.
Pada tanggal 19 September tentara Jepang berjaga-jaga di lokasi rapat dengan senjata lengkap, bahkan mengerahkan beberapa unit tank dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, peserta rapat tetap berdatangan ke lapangan IKADA dan menunggu kedatangan Presiden dan Wakil Presiden.
Rakyat Indonesia yang sudah tersulut api semangat kemerdekaan tidak gentar dan mengabaikan penjagaan dari tentara Jepang. Situasi saat itu sangat tegang dan bentrokan berdarah bisa terjadi sewaktu-waktu (Leirissa dan Djamhari 1993: 36).
Pada saat yang sama, pemerintahan RI yang baru terbentuk sedang mengadakan sidang kabinet. Mendengar kabar adanya rapat raksasa di lapangan IKADA yang dijaga oleh tentara Jepang bersenjata lengkap, Sukarno dan Hatta kemudian berangkat ke lokasi rapat.
Selang beberapa saat, keduanya akhirnya tiba di Lapangan IKADA disertai beberapa menteri (Leirissa dan Djamhari 1993: 36). Sukarno memberikan pidato singkat selama lima menit yang berisi permintaan dukungan dan kepercayaan dari rakyat Indonesia.
Presiden menyatakan bahwa pemerintah sedang berusaha sebaik mungkin mempertahankan kemerdekaan, maka dari itu rakyat perlu percaya dan mendukung dengan tetap tenang namun tetap siap sedia menerima seruan dari pemerintah (Muljana 2008: 49).
Sukarno kemudian meminta peserta rapat pulang dengan tenang yang segera ditaati oleh semua peserta yang hadir (Lapian 1996: 98-99). Dengan demikian bentrokan berdarah antara rakyat dengan tentara Jepang dapat dielakkan.
Peristiwa ini merupakan titik penting dalam sejarah Indonesia. Pemerintahan RI yang berusia sangat muda mampu membuktikan wibawanya. Dari peristiwa ini pula pihak tentara Jepang dapat melihat bahwa Sukarno dengan pengaruh dan wibawanya mampu mengendalikan gejolak rakyat Indonesia (Muljana 2008: 49).
Peristiwa ini di sisi lain juga berhasil menumbuhkan kepercayaan rakyat Indonesia kepada pemerintahan RI (Leirissa dan Djamhari 1993: 37).
Makna Peristiwa Lapangan Ikada di Jakarta 19 September 1945
Rapat Raksasa yang dilakukan di Lapangan Ikada telah berhasil menunjukkan adanya pemerintahan bernama Republik Indonesia yang didukung sepenuhnya oleh semua rakyatnya.Peristiwa ini merupakan demonstrasi rakyat Indonesia demi menunjukkan kepada penguasa Jepang dan dunia tentang kuatnya tekad bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya dan mendukung pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno-Hatta.
Walaupun hanya berlangsung sekitar lima menit saja, Rapat Raksasa ini berhasil menjadi awal berputarnya roda revolusi serta mengambil alih kekuasaan pemerintah dari tangan Jepang.
Sumber:
https://esi.kemdikbud.go.id
https://kumparan.com
https://www.kompas.com
Download
Post a Comment