Konflik Sektarian Maluku: Sejarah, Kronologi, dan Upaya Penyelesaiannya
Table of Contents
Apa itu Konflik Sektarian Maluku?
Konflik sektarian Kepulauan Maluku adalah konflik etnis-politik yang melibatkan kelompok agama di Kepulauan Maluku, Indonesia, khususnya Pulau Ambon dan Pulau Halmahera. Konflik ini bermula pada era Reformasi awal 1999 hingga penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002. Penyebab utama konflik ini adalah ketidakstabilan politik dan ekonomi secara umum di Indonesia setelah Soeharto tumbang dan rupiah mengalami devaluasi selama dan seusai krisis ekonomi di Asia Tenggara. Rencana pemekaran provinsi Maluku menjadi Maluku dan Maluku Utara semakin memperuncing permasalahan politik daerah yang sudah ada.
Karena permasalahan politik tersebut menyangkut agama, perseteruan terjadi antara umat Kristen dan Islam pada Januari 1999. Perseteruan ini dengan cepat berubah menjadi pertempuran dan tindak kekerasan terhadap warga sipil oleh kedua belah pihak.
Sejarah Konflik Sektarian Maluku
Konflik yang terjadi di Maluku sering disebut sebagai konflik antara umat Islam dan Kristen, walaupun kenyataannya latar belakang konflik ini lebih kompleks. Pada zaman penjajahan Belanda dulu, masyarakat Maluku dibagi sesuai dengan garis agama secara geografis dan sosial. Massa penjajahan Belanda, Belanda memberikan orang Kristen akses yang lebih besar dalam bentuk Pendidikan dan posisi politik, sementara orang Muslim lebih diberi akses untuk berdagang dan berbisnis.
Pada masa pemerintahan Soeharto, Maluku mengalami banyak perubahan sosial, dengan adanya praktik- praktik tradisional yang menjadi salah satu peredam ketegangan antara umat Muslim dan Kristen, namun sayangnya hal ini hanya tampak dari lapisan luarnya saja.
Adanya kebijakan transmigrasi dari pemerintah pada tahun 1950 dari Bugis, Buton dan Makassar ke Maluku, membuat pertumbuhan Muslim di Maluku semakin bertambah. ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) didirikan Soeharto yang bertujuan untuk mengamankan dukungan politik dari kelompok Muslim Ketika kekuasaan militernya memudar.
Adanya pengangkatan M. Akib Latuconsina pada tahun 1992 yang dulunya merupakan direktur ICMI di Maluku diangkat menjadi Gubernur Maluku menyebabkan semua bupati di provinsi Maluku beragama Islam, hal ini membuat kesal umat Kristen yang bertempat tinggal di sana (Debora, 2011).
Konflik kekerasan yang terjadi di Maluku Sebagian besar lebih berpusat di Ambon. Pada tahun 1999 sampai 2002 konflik kekerasan di Ambon menewaskan hampir dari 5.000 nyawa, konflik ini merupakan konflik yang paling dahsyat di Indonesia setelah keruntuhan rezim pemerintahan Soeharto.
Kronologi Konflik Sektarian Maluku
Awal mula terjadinya konflik di Maluku yakni adanya target kekerasan untuk para pendatang Muslim dari Bugis, Buton dan Makassar. Setelah adanya perpindahan penduduk besar- besaran, konflik mulai menyebar ke wilayah luar dari Maluku. Pecahnya konflik ini diperparah dengan adanya rumor seputar simbol keagamaan, seperti terjadinya serangan pada masjid ataupun gereja. Konflik di Maluku ini sempat mereda karena adanya PEMILU pada Mei 1999.
Hingga akhirnya pada Juli 1999 pemilihan di Ambon dimenangkan oleh partai PDIP, pengumuman kemenangan ini berakhir dengan kekerasan dikarenakan kemenangan PDIP seperti halnya kemenangan umat Kristen.
Hal ini membuat masing-masing dari umat beragama yang ada di Maluku untuk memberikan pertahanan diri dan melakukan kekerasan kepada siapa pun dari agama yang berbeda (Debora, 2011).
Puncak konflik ini yaitu adanya pembantaian Tobelo dan serangan terhadap Gereja Silo yang berada di tengah pusat Kota Ambon pada tanggal 26 Desember 1999. Gereja ini merupakan salah satu Gereja Protestan Maluku yang terbesar dan terbakar habis pada hari selesai perayaan Natal.
Sementara itu, pada hari yang sama umat Muslim di Masjid desa Tobelo terbunuh hampir 800 orang oleh umat Kristen. Adanya serangan ini membuat kedua umat tersebut terlibat lebih jauh dalam konflik kekerasan, sampai- sampai para aparat pun tidak dapat menanganinya.
Dilansir dari (bbc.co) bahwa setelah sekian lama ketenangan terjadi di Maluku. Pada bulan September 2011 Ambon Kembali mengalami kerusuhan yang disebabkan oleh kematian tukang ojek beragama Muslim yang Bernama Saiman di Kawasan komunitas Kristen.
Demikian, dalam hal ini masyarakat sangat mudah sekali untuk terprovokasi, hanya sebatas pesan masuk yang menyebar, pesan tersebut berisi bahwa Saiman telah mati dibunuh oleh orang Kristen.
Menurut Guru besar sosiologi FISIP Universitas pattimura, Tony Pariela mengatakan bahwa konflik Ambon yang terjadi tersebut menandakan bahwa penyelesaian konflik agama pada 1999 belum terselesaikan hingga tuntas.
Upaya Penyelesaian Konflik Sektarian Maluku
Berbagai upaya untuk mengakhiri konflik pun dilakukan, beberapa pihak yang terlibat dalam upaya perdamaian yakni dari petugas keamanan, pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Dua pendekatan upaya dalam penyelesaian konflik di Maluku yakni yang pertama dalam bentuk pendekatan keamanan dan darurat, yang kedua yakni dalam bentuk pendekatan pemulihan dan pembangunan.
Namun sayangnya dalam hal ini tidak ada strategi serta perencanaan jangka panjang baik dari pemerintah maupun dari masyarakat sipil, pendekatan penyelesaian konflik yang pertama yakni mengandalkan pihak militer yang didatangkan dari luar daerah Maluku.
Sementara itu pemerintah pusat memulai perundingan damai antara kelompok Muslim dan Kristen pada Februari 2002.
Sebelum pemerintah mengadakan perundingan damai pada Februari 2002, ada beberapa upaya perdamaian dari pemerintah yang tidak berhasil. Salah satunya yakni Gubernur Maluku membentuk satuan “Tim 6”.
Mereka dibentuk untuk berkomitmen dalam upaya perdamaian, tetapi sayangnya dalam hal ini justru sebaliknya, mereka diduga terlibat dalam kekerasan. Adanya bentukan “Tim 6” tadi tidak berpengaruh dalam upaya perdamaian. Alhasil perdamaian yang ditempuh dengan cara seperti ini pun gagal.
Sementara itu, bantuan yang diberikan pemerintah juga bermasalah. Tidak adanya dukungan dari militer dalam mendistribusikan bantuan, akhirnya persediaan makanan dan kebutuhan lainnya pun tidak dapat dibagikan. Di sisi lain, militer dalam hal ini tidak mendapatkan dukungan logistik yang cukup.
Adanya pemisahan antara kelompok Kristen dan Muslim juga menjadi tantangan untuk pendistribusian bantuan. Dengan adanya hal ini, membuat pemerintah lebih terdorong untuk menanggapi kasus kekerasan yang berkembang di Maluku (Debora, 2011).
Sampai pada akhirnya pemerintah pusat pun memimpin proses perdamaian. Pada 11 Februari 2002 di pegunungan Malino Sulawesi Selatan terjadilah penandatanganan perjanjian damai Malino II.
Baca Juga: Perjanjian Malino II: Sejarah dan Isinya
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.kompasiana.com
Download
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.kompasiana.com
Download
Post a Comment