Resesi Seks Penyebab Utama Krisis Demografi di Masa Depan
Table of Contents
Apa itu Resesi Seks? dan Bagaimana Faktanya?
Resesi seks adalah istilah yang merujuk pada penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual yang dialami suatu negara sehingga berakibat pada rendahnya tingkat kelahiran. Sederhananya, resesi seks diartikan sebagai merosotnya gairah pasangan untuk melakukan hubungan seksual, menikah, hingga memiliki anak.Ramai diperbincangkan mengenai ‘resesi seks’ yang belakangan ini menghantui China. Di mana, adanya resesi seks yang terjadi di China tersebut menyebabkan angka kelahiran terus merosot, bahkan kabarnya diprediksi akan kembali mencetak rekor di tahun ini.
Dilansir dari berbagai sumber, per tahun 2021, angka kelahiran berada di 7,52 per 1.000 individu, hal tersebut merupakan angka terendah yang terjadi di negara tersebut sejak tahun 1949. Data terbaru di tahun 2022 menyebutkan bahwa angka mencapai 11,5 persen lebih rendah dari tahun lalu.
Fenomena tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh negara China saja, tetapi juga terjadi di beberapa negara lain. 'Resesi seks' hingga kini masih menghantui negara-negara besar dari China hingga Amerika Serikat. Hal ini tentunya menimbulkan masalah demografi yang serius, dan memberikan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan.
Dalam sebuah artikel yang dirilis pada 2018, editor senior The Atlantic, Kate Julian, menuliskan tentang 'resesi seks' di AS. Julian membeberkan kekhawatiran remaja dan dewasa di AS melakukan seks lebih sedikit ketimbang generasi sebelumnya.
Ia merujuk pada data Survei Perilaku Risiko Remaja yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS. Berdasarkan survei itu, persentase murid SMP dan SMA yang melakukan hubungan seksual di negara itu berkurang dari 54 persen ke 40 persen sejak 1991 sampai 2017.
Insider juga melaporkan jumlah warga AS berusia 18 hingga 29 tahun yang tak melakukan seks sejak 2008 hingga 2018 meningkat dua kali lipat. "Dengan kata lain, di jeda generasi, seks berubah dari sesuatu yang paling sering dilakukan anak SMP dan SMA, ke sesuatu yang paling jarang dilakukan oleh generasi muda sekarang," tulis Julian.
Julian menjelaskan bahwa salah satu penyebab 'resesi seks' ini adalah beberapa orang tak merasa harus melakukan seks jika mereka tak menginginkannya. Selain itu, Julian juga mengakui kemungkinan beberapa orang lebih mengutamakan sekolah dan pekerjaan, ketimbang cinta dan seks.
Faktor Penyebab Resesi Seks
Secara garis besar, penyebab utama adanya resesi seks di negara-negara tersebut adalah permasalahan ekonomi, dan semakin banyaknya wanita yang menganggap pernikahan dan memiliki keluarga bukanlah suatu hal yang penting.Dikutip dari The Atlantic, fenomena resesi seks umumnya bisa terjadi akibat sejumlah faktor, di antaranya,
1. Menemukan 'kesenangan' dengan cara lain
Dari tahun 1992 hingga 1994, jumlah pria di Amerika melaporkan masturbasi dalam minggu tertentu meningkat dua kali lipat, menjadi 54 persen. Begitu juga jumlah wanita meningkat lebih dari tiga kali lipat, menjadi 26 persen.
Selain di Amerika hingga China, artikel Economist baru-baru ini mengungkapkan kaum muda di Jepang memandang seks sebagai mendokusai atau "melelahkan". Karenanya, mereka lebih sering mengunjungi toko onakura untuk masturbasi di depan karyawan wanita.
Selain itu, adanya kemudahan untuk mengakses internet, memudahkan seseorang mengakses pornografi yang kemungkinan berkontribusi pada lonjakan masturbasi dengan perluasan resesi seks.
2. Seks menyakitkan
Penyebab resesi seks berikutnya kemungkinan karena seks yang menyakitkan. Menurut sebuah penelitian pada 2012 oleh Debby Herbenick, seorang peneliti seks di University of Indiana di Bloomington, sebanyak 30 persen wanita mengalami rasa sakit terakhir kali mereka melakukan hubungan seks.
3. Permasalahan ekonomi
Ahli epidemiologi Swedia Peter Ueda dan rekannya menganalisis data Amerika Serikat dari 4.291 pria dan 5.213 wanita, menemukan bahwa antara tahun 2000 hingga 2018, tidak aktifnya seksual meningkat di antara pria berusia 18 hingga 24 tahun dan 25 hingga 34 tahun. Sedangkan wanita berusia 25 sampai 34 tahun.
Pria dengan pendapatan lebih rendah atau tanpa pekerjaan lebih cenderung tidak aktif secara seksual, termasuk juga pria dan wanita yang masih pelajar. Sebab, masih banyak anak muda yang tinggal bersama orang tua karena tidak memiliki pekerjaan, sehingga membuat mereka sulit menemukan pasangan.
4. Tingkat pernikahan yang sedikit
Psikolog Universitas Negeri San Diego Jean Twenge, mengungkapkan penyebab lainnya dari fenomena 'resesi seks' adalah tingkat pernikahan yang menurun. Mereka yang menikah umumnya melaporkan lebih banyak aktivitas seksual daripada mereka yang tidak menikah. Saat ini, lebih sedikit anak muda yang menikah atau berpasangan, dan karenanya lebih sedikit yang berhubungan seks.
5. Stres kerja dan kelelahan
Sebuah studi tahun 2010 oleh Guy Bodenmann dan rekannya menemukan bahwa stres kerja dan kelelahan juga kemungkinan penyebabnya. Orang-orang bekerja selama hari-hari yang panjang dan berat, pada akhirnya mereka terlalu lelah untuk mendapatkan mood.
"Stres yang dilaporkan sendiri lebih tinggi dalam kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan tingkat aktivitas dan kepuasan seksual yang lebih rendah dan penurunan kepuasan hubungan," demikian bunyi studi tersebut.
Negara yang Terimbas Resesi Seks
Saat ini fenomena resesi seks disebut-sebut terjadi tidak hanya di AS. Tetapi juga China, Jepang, Korea Selatan (Korsel), hingga Singapura. Di China pemerintah sampai turun tangan merevisi aturan memiliki anak. Kini pasangan di China bisa memiliki tiga anak.Jepang mencatat jumlah kelahiran bayi turun menjadi 840.832 pada 2020, turun 2,8% dari tahun 2019 sebelumnya. Jumlah angka ini juga terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899, sebagaimana dilansir dari Reuters.
Di Korsel sudah ada persatuan wanita yang menolak norma patriarkal dan bersumpah untuk tidak menikah. Mereka bahkan berjanji tak mau punya anak bahkan berkencan dan berhubungan seksual.
Di Singapura, dari data terbaru, jumlah pernikahan di negara itu turun drastis ke level terendah dalam 34 tahun terakhir. Sementara kelahiran warga juga tergelincir ke level terendah selama tujuh tahun.
1. Singapura
Perkiraan penyebab utama resesi seks di negara ini adalah aturan lockdown yang berlaku saat pandemi. Hal tersebut membuat sebagian warganya melakukan penundaan pernikahan sehingga angka pernikahan dilaporkan menurun mencapai 12,3 persen pada 2020.
Hal itu berdampak pada angka kelahiran di negara tersebut. Di tahun yang sama, angka kelahiran juga ikut menurun menjadi hanya ada 31.816 kelahiran. Di Singapura, angka tersebut 3,1 persen lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, yang mencapai 32.844 kelahiran.
2. Korea Selatan
Kalau di Negeri Ginseng, fenomena resesi seks disebut sudah terjadi cukup lama sebelum pandemi. Alasan utamanya karena di sana terdapat gerakan para perempuan yang tidak ingin menikah dan memiliki anak.
Disebut dengan gerakan '4B' atau 'Four Nos', kepanjangan dari 'no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing', gerakan 'tidak menikah' ini memanfaatkan isu feminisme yang sedang berkembang di Korea Selatan.
Bahkan, data PBB menunjukkan bahwa rata-rata perempuan di negeri asal K-Pop tersebut hanya memiliki 1 anak. Hal tersebut tentu saja menciptakan krisis demografis yang mengancam penyusutan populasi dan ekonomi.
3. Jepang
Pada 2021, Kementerian Kesehatan Jepang melaporkan bahwa angka kelahiran di negara tersebut turun hingga rekor terendah pada 2020. Menurut laporan Reuters, pada tahun tersebut angka kelahiran di Jepang hanya sebanyak 840.832. Jumlah ini turun 2,8 persen dari tahun sebelumnya, bahkan terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899.
Banyak ahli yang menduga bahwa penurunan ini disebabkan oleh rendahnya jumlah pernikahan di Jepang pada 2020. Di tahun itu, penurunan jumlah pernikahan mencapai 12,3 persen, yaitu hanya menjadi 525.490 pernikahan.
4. China
Meski populasi di China terbilang cukup tinggi, faktanya angka kelahiran di negara tersebut menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Dikutip dari BBC, sensus penduduk dalam satu dekade terakhir mencatat bahwa angka kelahiran di China turun ke tingkat terendah sejak 1960-an.
Pada 2020, disebutkan hanya ada 12 juta bayi yang lahir. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan 2016, yakni 18 juta kelahiran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah China karena kemungkinan negara mengalami penurunan populasi lebih cepat dari yang diharapkan.
Efek Negatif Resesi Seks
Fenomena 'resesi seks' ini rupanya dapat menyebabkan depresi ekonomi. Ini bisa menjadi masalah serius untuk berbagai sektor mulai ritel hingga real estat."Penurunan tingkat seks dan tingkat pernikahan jelas terkait ... tidak perlu menjadi jenius ekonomi untuk mengetahui bahwa lebih sedikit pernikahan dan anak-anak melemahkan permintaan ekonomi secara keseluruhan," ujar Jake Novak analis dari Jake Novak News dimuat CNBC International.
Beberapa ahli fokus pada fakta bahwa generasi milenial berurusan dengan utang pinjaman yang terus meningkat. Ini membuat realitas ekonomi mereka jauh lebih buruk daripada ketika generasi sebelumnya seusia mereka.
Selain itu, efek resesi seks sendiri tentu saja memicu rendahnya angka kelahiran, hal tersebut menyebabkan populasi terancam menyusut. Hal yang kemudian dikhawatirkan adalah populasi lansia yang akan lebih mendominasi di masa mendatang, sementara usia produktif terus berkurang sehingga memiliki risiko pada aspek sosial, hingga ekonomi.
Upaya Pemerintah Mengatasi Resesi Seks
Belakangan pemerintah Cina melakukan beberapa upaya untuk mengatasi fenomena resesi seks di negara tersebut. Selain mengizinkan pasangan untuk memiliki tiga anak, Cina akan mencegah aborsi dan mengambil langkah-langkah untuk membuat perawatan kesuburan lebih mudah diakses.Selain itu, pemerintah Cina juga mengeluarkan kebijakan seperti subsidi, keringanan pajak, asuransi kesehatan yang lebih baik, dukungan pendidikan, perumahan, hingga pekerjaan untuk keluarga muda. Semua negara bagian juga harus memastikan mereka menyediakan layanan pengasuhan anak yang memadai. Terutama untuk anak-anak berusia dua hingga tiga tahun.
Faktanya, kota-kota kaya di Cina telah membagikan pajak dan pinjaman perumahan, tunjangan pendidikan, dan insentif keuangan untuk mendorong wanita memiliki lebih banyak anak.
Menyangkut budaya kerja 9-9-6, pengadilan Cina sudah mulai mengambil tindakan terhadap perusahaan semacam itu. Majelis hakim mengingatkan perusahaan untuk menghormati hak dan kewajiban karyawan yang bekerja di tempat mereka.
Kaum muda diminta untuk kurangi penggunaan smartphone
Meskipun sangat membantu kehidupan modern, faktanya smartphone atau ponsel pintar juga terbukti memiliki beberapa dampak buruk. Salah satunya adalah mengurangi keintiman di antara pasangan.Bahkan, pemerintah Jepang, Korea Selatan, dan Singapura mulai mengimbau generasi milennial untuk mengurangi penggunaan smartphone. Dengan begitu, diharap orang-orang memiliki waktu lebih banyak bersama pasangan sehingga bisa meningkatkan keintiman dan mengembalikan gairah seks yang mulai menurun.
Fenomena Egg Freezing Akibat Resesi Seks
Akibat adanya fenomena resesi seks, beberapa negara seperti AS, China, Jepang, Korea Selatan dan Singapura, mengizinkan wanita sehat untuk melakukan egg freezing atau pembekuan sel telur. Dijelaskan oleh dr. Theresia Rina Yunita, seiring bertambahnya usia, kualitas dan jumlah sel telur seorang wanita akan berkurang. Oleh sebab itu, usia ideal untuk hamil yang disarankan adalah usia 20-35 tahun.
“Wanita yang berusia di atas 35 tahun dikhawatirkan memiliki kualitas dan jumlah sel telur yang sudah menurun. Ini akan meningkatkan risiko sulit hamil dan kelahiran anak dengan cacat bawaan,” jelas dr. Theresia.
Untuk mencegah hal tersebut, beberapa negara akhirnya mengizinkan wanita sehat melakukan pembekuan sel telur. Sebelumnya, egg freezing hanya dilakukan untuk wanita dengan kondisi medis tertentu, seperti sedang menjalani kemoterapi.
Pembekuan sel telur ini bertujuan agar wanita yang belum menikah di usia dewasa, tetap dapat hamil dan memiliki anak. Pembekuan sel telur pun dapat mempertahankan kesuburan wanita.
“Sel telur yang telah matang diambil dan dibekukan kemudian disimpan hingga jangka waktu tertentu. Sel telur ini nantinya dapat digunakan ketika wanita tersebut sudah siap untuk hamil dan memiliki anak,” tambah dr. Theresia.
Dari berbagai sumber
Post a Comment