Teori Kontekstual: Pengertian, Teori Perkembangan Kontekstual, dan Teori Pembelajaran Kontekstual

Pengertian Teori Kontekstual
Teori Kontekstual
Pengertian Teori Kontekstual
Teori kontekstual adalah teori psikologi yang memandang perkembangan sebagai proses yang terbentuk dari transaksi timbal balik antara seseorang dan konteks perkembangan sistem fisik, sosial, kultural, dan historis di mana interaksi tersebut terjadi.

Berikut beberapa pandangan para pakar pedagogi tentang teori perkembangan kontekstual di antaranya,
Dun Hull
Penerapan kaidah pembelajaran yang berangkat dari teori perkembangan kontekstual memberikan implikasi positif terhadap keterlibatan siswa dalam sekolah.

Efektivitas pembelajaran meningkat secara signifikan ketika mereka diajarkan mengapa mereka mempelajari konsep dan bagaimana konsep-konsep dapat digunakan di luar kelas, dan akan semakin efektif ketika mereka diizinkan untuk bekerja sama dengan yang lain dalam kelompok atau tim.

John Dewey
Rancangan formula kurikulum akan lebih maksimal jika kerangka formula tersebut mengambil titik acuan berupa perkembangan kontekstual, yaitu kurikulum dan metode pembelajaran yang terkait dengan pengalaman dan minat anak.

Howard Gardner
Implikasi dari konsep perkembangan kontekstual mengarah pada definisi belajar sebagai proses yang kompleks yang tidak dapat ditangani secara memadai melalui drill-oriented (metode stimulus atau respons).

Geoffrey Caine
Teori Perkembangan kontekstual akan mengarahkan sasaran dan metode pembelajaran dengan karakteristik pencarian makna melalui hubungan yang masuk akal dan cocok dengan pengalaman masa lalu sebagai hakikat pembelajarannya.

Jonassen
Jonassen menawarkan konsep belajar yang berangkat dari teori perkembangan kontekstual yaitu belajar dari tugas yang terletak di beberapa tugas dalam dunia nyata, atau dirangsang melalui beberapa lingkungan belajar berbasis kasus atau berbasis masalah.

D.A. Kolb
Suasana belajar yang mengambil teori perkembangan kontekstual sebagai basisnya yaitu suasana pelajaran yang melibatkan berbagai pengalaman yang mungkin dalam konteks sosial, budaya, fisikal dan psikologi.

Teori Perkembangan Kontekstual
Secara garis besar terdapat dua teori perkembangan kontekstual, yaitu teori etologi dan teori ekologi
1. Teori Etologi
Etologi menegaskan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi, terkait dengan evolusi dan ditandai dengan periode kritis atau sensitif. Periode ini merupakan jangka waktu spesifik, yang menurut ahli etologi, ada atau tidaknya pengalaman tertentu akan memiliki dampak jangka-panjang bagi individu.

Seorang ahli zoologi Eropa, Konrad Lorenzo (1903-1989) telah berjasa dalam mengangkat etologi menjadi teori yang penting. Dalam eksperimennya yang terkenal, Lorenz (1965) mempelajari perilaku dari angsa abu-abu, yang selalu mengikuti induknya sesaat setelah mereka menetas.

Lorenz memisahkan telur-telur angsa ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama ia kembalikan kepada angsa untuk dierami, kelompok yang lain ditetaskan dalam sebuah inkubator. Anak-anak angsa dalam kelompok pertama berperilaku seperti yang diramalkan, mereka mengikuti induk mereka sesaat setelah mereka menetas.

Namun, anak-anak angsa dalam inkubator melihat Lorenz ketika mereka menetas sehingga mengikuti Lorenz ke mana-mana, seolah-olah ia adalah induk mereka. Lorenz menandai anak-anak angsa itu kemudian menempatkan kedua kelompok itu dalam satu kotak.  

Induk angsa dan “ibu” Lorenz berdiri agak jauh ketika kotak itu diangkat. Masing-masing kelompok anak angsa langsung menuju “induk’-nya. Lorenz menyebut proses ini imprinting, suatu proses belajar yang cepat dan naluriah yang melibatkan kelekatan kepada objek bergerak yang pertama kali dilihat.

Meskipun demikian, John Bowlby (1969, 1989) menggambarkan penerapan penting dari teori etologi dalam perkembangan manusia. Bowlby mengatakan bahwa kelekatan kepada pengasuh selama satu tahun pertama kehidupan memiliki konsekuensi penting bagi keseluruhan masa hidup seseorang.

Dalam pandangan Bowlby, apabila kelekatan ini berlangsung secara positif dan aman maka individu akan cenderung mengembangkan masa kanak-kanak dan masa dewasa yang positif. Apabila kelekatan ini berlangsung negatif dan tidak aman maka perkembangan masa hidup akan cenderung menjadi tidak optimal.

Menurut Lorenz, imprinting perlu terjadi pada waktu tertentu dan dini dalam kehidupan binatang, di luar waktu itu maka imprinting tidak akan terjadi. Periode waktu ini disebut periode kritis.

Konsep yang berkaitan dengannya adalah konsep periode sensitif, contohnya adalah masa bayi yang menurut Bowlby diperlukan terjadinya kelekatan demi mendorong perkembangan optimal atas aspek hubungan sosial.

2. Teori Ekologi
Teori ekologi dicetuskan oleh Urie Bronfenbrenner (1917-2005). Dalam teori ini lebih mengedepankan faktor lingkungan daripada faktor biologis. Teori ini menekankan pentingnya dimensi mikro dan makro dari lingkungan yang menjadi tempat hidup anak.

Teori ekologi Bronfenbrenner (Bronfenbrenner, 1986, 2004; Bronfenbrenner & Morris, 1998, 2006) menyatakan bahwa perkembangan mencerminkan pengaruh dari sejumlah sistem lingkungan. Adapun sistem lingkungan yang diidentifikasi dalam teori di antaranya,
a. Mikrosistem
Yaitu lingkungan tempat individu hidup. Konteks ini dapat mencakup struktur dan proses yang berlangsung pada setting tatap muka individu (immediate settings), misalnya keluarga, kawan-kawan sebaya, sekolah, ruang bermain, lingkungan sekitar, dan lain sebagainya.

Dalam mikrosistem ini terjadi interaksi langsung antara individu dengan agen-agen sosial, misal interaksi seorang anak dengan orang tuanya, seorang anak yang bermain dengan kawannya di Sekolah, seorang murid dengan gurunya, dan lain sebagainya.

Dalam setting ini, individu tidak dipandang sebagai seorang yang pasif namun lebih berperan dalam membangun lingkungan.

b. Mesositem
Yaitu konteks penghubung (mata rantai) dan proses yang berlangsung dalam dua setting atau lebih dari individu. Dengan kata lain, mesositem merupakan sistem dari mikrosistem yang terdiri dari relasi antar mikrosistem atau koneksi di antara beberapa konteks.

Contohnya hubungan rumah dengan sekolah, pengalaman sekolah dengan keagamaan. Sebagai contoh, anak-anak yang orang tuanya menolak relasi dengan mereka akan mungkin mengalami kesulitan untuk mengembangkan relasi positif dengan guru mereka.

c. Eksositem
Yaitu konteks yang berkaitan antara lingkungan sosial, prosesnya terjadi di dua setting atau lebih dan individu yang berkembang tidak berperan aktif melainkan event-event yang terjadi dapat mempengaruhi proses yang berlangsung pada immediate setting.

Contohnya relasi antara rumah dengan lingkungan kerja orang tua. Misal, bagi seorang suami atau anak yang di rumah, sedangkan ibunya bekerja dan memperoleh kenaikan jabatan yang menuntutnya untuk lebih banyak bepergian, sehingga hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan konflik dengan suaminya dan mengubah pola interaksi dengan anaknya.  

d. Makrosistem
Adalah budaya tempat individu hidup. Konteks ini mencakup pola-pola ideologi dan organisasi institusi sosial dalam suatu budaya atau sub-budaya, di mana budaya merujuk pada pola-pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari sekelompok manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Dengan adanya perbandingan antara budaya yang satu dengan yang lainnya memberikan informasi mengenai generalisasi perkembangan. Dalam makrositem ini mencakup ketiga konteks di atas, yakni mikrosistem, mesosistem, dan eksosistem.

e. Kronosistem
Yaitu pola peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi dari rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris. Salah satu contoh transisi adalah perceraian. Para peneliti menemukan bahwa dampak-dampak negatif dari perceraian terhadap anak-anak sering kali memuncak ditahun pertama setelah perceraian (Hetherington, 1993).

Dua tahun setelahnya, interaksi keluarga mulai stabil, teratur, sudah tidak terlalu kacau. Sebagai contoh keadaan sosiohistoris, kita bisa melihat kesempatan bagi wanita untuk menjadi wanita karier yang memuncak sejak tahun 1960-an.

Bronfenbrenner (2004; Bronfenbrenner & Morris, 2006) baru-baru ini menambahkan pengaruh biologis dalam teorinya dan dikenal dengan nama teori bioekologi. Akan tetapi, adanya pengaruh biologis tersebut tidak mengubah teori Bronfenbrenner sebelumnya, konteks ekologi dan lingkungan masih memegang perang utama dalam teori Bronfenbrenner.

Teori Pembelajaran Kontekstual
Teori perkembangan kontekstual memberikan implikasi terhadap bagaimana teori ini memberikan sumbangsih terhadap efektivitas pembelajaran suatu bidang studi bagi setiap peserta didik di setiap jenjangnya. Berkenaan dengan hal tersebut, telah banyak para ahli yang menelaah bagaimana teori ini diterapkan dalam proses pembelajaran.

Dalam rentang waktu yang cukup panjang, akhirnya ditemukan suatu konsep pembelajaran yang memanfaatkan teori perkembangan kontekstual yaitu Contextual Teaching and Learning Model. Prinsip kerja Model ini menyokong semua sistem kehidupan dan keseluruhan alam semesta dan bekerja menyerupai cara alam bekerja.

Menurut Elaine B. Johnson, Ph.D dalam bukunya Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here To Stay, terdapat tiga prinsip utama dalam penerapan pembelajaran kontekstual ini di antaranya,
1. Prinsip Diferensiasi
Diferensiasi merujuk pada keragaman setiap objek hasil penciptaan. Kaitannya dengan teori kontekstual yaitu bahwa setiap objek di alam ini memiliki keragaman yang begitu luar biasa yang mencerminkan begitu indahnya di balik keragaman tersebut.

Prinsip diferensiasi dalam pembelajaran yaitu bagaimana setiap pendidik ataupun peserta didik mampu berkreasi dalam berbagai hal dengan mengutamakan kreativitas menciptakan hal yang berbeda daripada yang lain, tentunya dalam segi yang positif.

Contoh penerapan prinsip ini dalam proses pembelajaran khususnya fisika adalah dengan membuat tugas (baik kelompok atau individu) membuat suatu karya sederhana baik berupa miniatur atau hal menarik lainnya yang berkaitan dengan pelajaran fisika.

2. Prinsip pengaturan diri
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap entitas memiliki sebuah potensi bawaan, suatu kewaspadaan atau kesadaran. Prinsip ini menaruh perhatian utama pada potensi bawaan setiap individu yang merupakan modal baginya untuk menjalani kehidupan serta bersaing untuk menjadi yang terbaik.

Kaitannya dengan proses pembelajaran yaitu bagaimana pendidik mampu memancing serta mendorong setiap siswa untuk mengembangkan secara maksimal seluruh potensi yang ada dalam dirinya dengan sasaran utama mencapai keunggulan akademik, memperoleh keterampilan karier, dan mengembangkan karakternya.

Contoh penerapan prinsip ini dalam proses pembelajaran khususnya fisika yaitu dengan mengadakan kuis ataupun hal lainnya yang mampu merangsang peserta didik untuk saling mengungguli serta merangsang potensi peserta didik dengan kegiatan di luar sekolah baik itu berupa perlombaan semisal olimpiade ataupun kegiatan ekstra.

3. Prinsip kesaling-bergantungan
Pada hakikatnya tidak ada satu pun materi di alam ini yang berdiri sendiri, namun semuanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain begitu pula dengan ilmu yang membahas objek materi tersebut.

Adannya pemisahan ke dalam berbagai disiplin ilmu hanyalah sebatas untuk memudahkan memahami konsep dasar dari keilmuan tersebut, namun pada tingkat yang lebih tingginya disiplin ilmu tersebut dengan sendirinya akan berhubungan dengan disiplin ilmu yang lainnya.

Contoh penerapan prinsip ini dalam pembelajaran khususnya fisika yaitu dengan mengaitkan objek pembahasan fisika dengan bidang studi lainnya baik itu dengan ilmu dalam ranah agama maupun dengan ranah IPA sendiri.

Ketika peserta didik mampu menerapkan tiga prinsip ini dalam setiap proses pembelajaran, maka efektivitas pencarian makna pembelajaran dari sebuah bidang studi akan didapatkan oleh semua peserta didik. Karena pada hakikatnya tujuan akhir dari setiap pembelajaran adalah pencarian makna dibalik masing-masing objek pembahasannya.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Teori Kontekstual: Pengertian, Teori Perkembangan Kontekstual, dan Teori Pembelajaran Kontekstual"