Filsafat Perenial: Pengertian, Sejarah Perkembangan, Kesimpulan dan Kritik

Table of Contents
Pengertian Filsafat Perenial atau Perenialisme
Helena Blavatsky (1831-1891)

Pengertian Filsafat Perenial

Filsafat perenial (perenialisme) adalah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap agama di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal yang merupakan dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius.

Sudut pandang ini bertentangan dengan saintisme dalam masyarakat sekuler modern. Salah satu penafsiran populer tentang perenialisme juga mendukung universalisme, gagasan bahwa semua agama, di bawah perbedaan yang tampak, sebenarnya menunjuk pada kebenaran yang sama.

Berangkat dari kesadaran untuk mendialogkan agama dari dataran substansinya, di mana agama pada dasarnya dipandang sebagai relatively absolute, atas klaim-klaim kebenaran yang secara tradisional inheren dalam agama, maka agama bisa diharapkan kembali seperti sedianya mengambil peran pembebasan (interior dan eksterior) atas kemanusiaan.

Perspektif yang terakhir tersebutlah yang kemudian dikenal belakangan sebagai Filsafat Perennial. Kata filsafat perennial seperti ditekankan A.K. Coomaraswamy dimaksudkan sebagai pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada, yang bersifat universal “Ada” dalam pengertian di antara orang-orang yang berbeda ruang dan waktu maupun yang berkaitan dengan prinsip-prinsip universal.

Di samping itu, pengetahuan yang diperoleh intelek ini terdapat dalam jantung semua agama dan tradisi. Sementara, Aldous Huxley, menyebutkan bahwa filsafat perennial adalah:
1. Metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi, dalam segala sesuatu kehidupan dan pemikiran;
2. Suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu jiwa (soul) manusia yang identik dengan kenyataan Ilahi itu; dan
3. Etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat imanen maupun transenden mengenai seluruh keberadaan.

Sejarah Perkembangan Filsafat Perenial

Gagasan perenialisme sudah ada sejak zaman kuno dan dapat ditemui dalam berbagai agama dan filsafat dunia. Istilah philosophia perennis pertama kali digunakan oleh Agostino Steuco (1497–1548), yang mendasarkannya dari tradisi filosofis yang sebelumnya sudah ada, yaitu dari Marsilio Ficino (1433–1499) dan Giovanni Pico della Mirandola (1463–94).

Pada akhir abad ke-19, gagasan ini dipopulerkan oleh pemimpin Masyarakat Teosofis seperti H. P. Blavatsky dan Annie Besant dengan nama "Kebijaksanaan-Agama" atau "Kebijaksanaan Kuno". Pada abad ke-20, gagasan ini dipopulerkan di negara-negara berbahasa Inggris oleh Aldous Huxley dengan bukunya The Perennial Philosophy, dan juga tulisan dari sekelompok pemikir yang kini dikenal dengan nama Mazhab Tradisionalis.

Pada awal abad ke-19, kaum Transendentalis menyebarkan gagasan tentang kebenaran metafisik dan universalisme, mengilhami kaum Unitarian yang berdakwah di kalangan elit India. Menjelang akhir abad ke-19, Perhimpunan Teosofi semakin mempopulerkan universalisme, tidak hanya di dunia barat, tetapi juga di koloni barat.

Pada abad ke-20, universalisme dipopulerkan lebih lanjut melalui Aliran Tradisionalis yang diilhami Advaita Vedanta, yang mendukung asal muasal agama-agama ortodoks yang metafisik, dan oleh Aldous Huxley dan bukunya The Perennial Philosophy, yang diilhami oleh neo-Vedanta dan aliran Tradisionalis.

Filsafat perennial (perennial Philosophy) adalah istilah Inggris untuk arti yang sama dengan philosophia perennis yang berasal dari bahasa Latin, telah digunakan secara luas oleh aliran-aliran pemikiran, dari kaum neo-Thomis hingga Aldous Huxley.

Bahkan nama terakhir ini membuat istilah “Filsafat Perennial” demikian populernya di kalangan banyak mahasiswa yang bukan spesialis dalam studi agama dan filsafat, karena itu menggunakan istilah tersebut untuk judul bukunya The Perennial Philosophy, yang terkenal itu. Karena demikian luasnya istilah itu digunakan sehingga perlu dijernihkan dalam konteks studi ini.

Kesimpulan dan Kritik

Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini dengan Realitas Mutlak. Wujud pengetahuan tersebut dalam diri manusia hanya dapat dicapai melalui Intelek, istilah yang telah dikenal sejak zaman Plotinus lewat karyanya The Six Eneads sebagai ungkapan lain dari soul atau spirit. “Jalan” inipun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan.

Sesungguhnya, dasar-dasar teoretis pengetahuan Filsafat Perennial terdapat dalam setiap agama yang otentik, yang dikenal dengan berbagai konsep: dalam agama Budha disebut Dharma, dalam Taoisme disebut tao, dalam Hinduisme dikenal sebagai Sanathana atau dalam Islam dikenal dengan konsep al-Din, dalam filsafat abad pertengahan dikenal dengan sebutan Sophia Perennis dan sebagainya.

Dengan cara, yang dalam Filsafat Perennial disebut sebagai “transenden” itu, semua ritus-ritus, doktrin-doktrin dan simbol-simbol keagamaan yang dipakai untuk mencapai pengertian mengenai dasar keagamaan itu, mendapatkan penjelasan yang menyeluruh melewati bentuknya yang formal.

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa Filsafat Perennial adalah satu perspektif yang memandang adanya “kesatuan transenden” pada setiap agama dan tradisi otentik. Perspektif itu, tidak mengedepankan aspek-aspek “dalam” (esoteris) dari setiap bentuk keagamaan, tapi juga punya kemampuan mengeleminir sejumlah perbedaan.

Meskipun demikian, tidak dengan sendirinya berarti Filsafat Perennial berpandangan semua agama adalah sama-suatu pandangan yang sama sekali tidak menghormati religiusitas yang partikular. Padahal, Filsafat Perennial justru berpandangan kebenaran mutlak (the truth) hanyalah satu, tidak terbagi. Tetapi dari Yang Satu ini memancarkan berbagai “kebenaran” (truth) sebagaimana halnya matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya.

Meski demikian, tidak berarti Filsafat Perennial sunyi dari kritik. Sebut saja misalnya para ahli agama yang tidak percaya akan adanya “kesatuan transenden”, memandang Filsafat Perennial sebagai sesuatu yang tidak ada dan hanya merupakan imajinasi dari para penganut Filsafat Perennial saja. Apalagi jika secara empiris mereka  hanya mampu melihat pertengahan-pertengahan yang terdapat dalam agama-agama sementara mereka tidak mau melihat adanya the common vision dari agama dan tradisi yang otentik tersebut.

F. Zaehner umpamanya, sebagai seorang Kristen yang ahli Hindu dan Sufi menyebut, alih-alih kesatuan, justru lebih banyak pertentangan dalam agama yang satu dengan yang lain. Di kalangan tradisional Islam juga tidak sedikit yang menolak gagasan “kesatuan transenden” ini, seperti Seyyed Naquib al-Attas. Padahal dengan Filsafat Perennial ini tentu saja bagi penganut filsafat ini disadari adanya yang “infinite” di balik kenyataan ini (Levels of Reality alam terrestrial, intermediate, celestial).

Juga dalam diri manusia yang dalam Filsafat Perennial disebut levels of selfhoodterdiri dari body, mind, soul, atau dalam istilah Islam, jism, nafs, dan ‘aql, dipercayai adanya apa yang disebut “spirit” (ruh). Alam semesta dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau bentuk perwujudan dari Yang infinite/spirit ini, yang dalam Islam disebut al-¬Haqq.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment