Pengertian Jiwa dan Konsep Jiwa dalam Islam
Jiwa dan Konsep Jiwa dalam Islam |
A. Pengertian Jiwa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah jiwa memiliki arti roh manusia (yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup); nyawa; seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya). Jiwa atau Jiva berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya "benih kehidupan". Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonim dengan roh, akal, atau awak diri.
Di dalam teologi, jiwa dipercaya hidup terus setelah seseorang meninggal, dan sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa. Di beberapa budaya, benda-benda mati dikatakan memiliki jiwa, kepercayaan ini disebut animisme. Penggunaan istilah jiwa dan roh sering kali sama, meskipun kata yang pertama lebih sering berhubungan dengan keduniaan dibandingkan kata yang kedua.
Jiwa dan psyche bisa juga digunakan secara sinonimous, meskipun psyche lebih berkonotasi fisik, sedangkan jiwa berhubungan dekat dengan metafisik dan agama. Jiwa manusia berbeda dengan jiwa makhluk yang lain seperti binatang, pohon, dan sebagainya. Jiwa manusia bagaikan alam semesta (Makrokosmos), atau alam semesta itu sendiri, yang tersembunyi di dalam tubuh manusia (Mikrokosmos) dan terus bergerak dan berotasi.
B. Konsep Jiwa dalam Islam
Al-Qur’an sebagai kitab suci Agama Islam memberikan apresiasi yang sangat besar bagi kajian jiwa (nafs) manusia. Terdapat sekitar 279 kali Al-Qur’an menyebutkan kata jiwa (nafs). Dalam Al-Qur’an kata jiwa mengandung makna yang beragam (lafzh al-Musytaraq). Terkadang lafaz nafs bermakna manusia (insan). Kata jiwa berasal dalam hal ini dari bahasa arab, nafs’ yang secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai diri atau secara lebih sederhana bisa diterjemahkan dengan jiwa, dalam bahasa Inggris disebut soul atau spirit.
Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jamaknya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri). Sedangkan dalam kamus al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), as-syakhs (orang), as-syahks al- insan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri). Kajian masalah jiwa sangatlah menjadi perhatian sangat penting dalam budaya tradisi keilmuan Islam.
Menurut al-Ghazali nafs itu mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-nafsu rendah yang kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-ghadlab), dan dorongan erotik (al-syahwat), yang keduanya dimiliki oleh hewan dan manusia. Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang lembut, halus, suci dan tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan lembutnya untuk masuk ke dalam surga-Nya (QS:al-Fajr;27-28). Al-Qusyairi mempertegas bahwa jiwa itu berwujud sendiri.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi (filsuf Muslim pertama) juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Subtansi (jauhar) nya merupakan hasil dari subtansi Allah. Hubungan manusia dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud sendiri terpisah dan berbeda dengan badan atau jasad manusia. Jiwa sebenarnya bersifat rohani dan Ilahyah.
Sementara jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Al-Kindi berbeda dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana sama dengan benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Maka dalam pendapat ini Al-Kindi lebih dekat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa.
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya di antaranya,
1. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
2. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
3. Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoretis dan praktis.
Menurut Ibnu Thufail (juga filsuf Muslim sebelumnya) jiwa sendiri terdiri dari tiga tingkatan dari yang rendah jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyyat), ke tingkat yang lebih tinggi jiwa hewan (al-nafs al-hayawaniyyat), kemudian ke tingkat jiwa yang martabatnya lebih tinggi dari keduanya jiwa manusia (al-nafs al-natiqat).
Sementara Ibnu Sina mempunyai argumen yang membahas tentang jiwa di antaranya,
1. Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (ma’qulat) dan ini tidak dapat dilakukan oleh jasad. Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan objek pemikiran hanya terdapat dalam akal dan tidak mempunyai tempat.
2. Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak (kulliy) dan jiwa zatnya tanpa alat. Sementara itu, indra dan khayal hanya dapat mengetahui yang konkret (juz’iy) dengan alat. Jadi, jiwa memiliki hakikat yang berbeda dengan hakikat indra dan khayal.
3. Jasad atau organnya jika melakukan kerja berat atau berulang kali dapat menjadikan letih, bahkan dapat menjadi rusak. Sebaliknya, jiwa dipergunakan terus menerus berpikir tentang masalah besar tidak dapat membuatnya lemah atau rusak.
4. Jasad dan perangkatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya pada umur 40 tahun. Sebaliknya, jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat, kecuali jika ia sakit. Karenanya, jiwa bukan bagian dari jasad dan keduanya merupakan dua substansi yang berbeda.
Kesimpulannya para filsuf Muslim menganggap bahwa jiwa adalah hasil pertemuan ruh dengan jasmani. Jiwa itu memiliki jauhar dari ruhaniah dan memiliki sifat jasmani. Jiwa bisa menjadi jembatan antara ruh dengan jasmani. Maka tak heran dalam dunia tasawuf kita di ajak untuk membersihkan jiwa. Dengan membersihkan jiwanya maka akan bisa mencapai ruh. Karena ruh sifatnya yang suci maka dari itu agar bisa menyentuh ruh lebih dahulu mengolah jiwa.
Dari berbagai sumber
Post a Comment