David Ausubel: Biografi dan Teori Pembelajarannya

Biografi David Ausubel
David Paul Ausubel
Biografi David Ausubel
Nama lengkapnya Dr. Ausubel adalah David Paul Ausubel, seorang tokoh ahli psikologi kognitif yang dilahirkan di New York pada tahun 1981 ia tumbuh dan besar serta menamatkan pendidikan dasarnya di Brooklyn New York. Kemudian kuliah di universitas Pennsylvania, mengambil Pre. Medical course dan psikologi.

Pada tahun 1944, setelah lulus dari sekolah medis di universitas Middlesex, ia menyelesaikan magang di Rumah Sakit Gouveneur (salah satu departemen Rumah Sakit di New York City) yang terletak di dataran rendah bagian Timur Manhattan, termasuk little Italy dan Chinatown.

30 Tugas militernya di mulai kemudian bersama US Public Health Service (layanan kesehatan masyarakat Amerika Serikat). Dia ditugaskan di UNRRA (United Nation Relief And Rehabilitation Administration), di Stut tgart, Jerman sebagai tenaga yang memberikan pelayanan medis pada orang-orang terlantar setelah perang dunia ke-II.

Kemudian tiga tempat perawatan gangguan jiwa: dengan US Public Health Service di Kentucky, Buffalo Psychiatric Center dan Bronx Psychiatric Center. Dengan bantuan GI Bill, dia memperoleh gelar PH.D dalam bidang psikologi perkembangan dari universitas Columbia.

Serangkaian Gelar Profesor psikologi di beberapa sekolah pendidikan: universitas Illionis, Universitas Toronto dan Universitas Eropa di Berne, Universitas Salesian di Roma, dan Universitas Pelatihan Pegawai di Munich. Pada 1957-1958 dia memperoleh dana penelitian Fulbright untuk melakukan studi banding motivasi kerja orang-orang Maoris dengan orang-orang Eropa.

Pada tahun 1973 dia pensiun dari kehidupan akademis untuk bekerja penuh dalam praktik psikiater (mengatasi gangguan jiwa). Ketertarikan utamanya pada bidang psikiater meliputi: psikopatologi umum, perkembangan Ego, ketergantungan obat-obatan, psikiater forensik.

Dr. Ausubel juga sering menulis buku panduan dalam psikologi perkembangan dan pendidikan, serta buku-buku khusus tentang topik-topik ketergantungan obat-obatan, psikopatologi, perkembangan Ego, dan lebih dari 150 artikel dalam jurnal-jurnal psikologi dan psikiater.

Pada tahun 1976 dia menerima penghargaan Thorndike dari persatuan psikolog Amerika, untuk kontribusinya dalam bidang psikologi pendidikan. Dan pada tahun 1994 dia benar-benar pensiun dari kehidupan profesionalnya dan menghabiskan semua waktunya pada usia 75 tahun untuk menulis. Empat buku telah dihasilkan.

Sebagai salah satu tokoh ahli psikologi kognitif David Ausubel mengembangkan teori psikologi kognitif merupakan salah satu cabang dari psikologi umum dan mencakup studi ilmiah tentang gejala-gejala kehidupan mental sejauh berkaitan dengan cara manusia berpikir dalam memperoleh pengetahuan, mengolah kesan-kesan yang masuk melalui indra, pemecahan masalah, menggali ingatan pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kehidupan mental mencakup gejala kognitif, efektif, konatif pada taraf tertentu, yaitu psikomatis yang tidak dapat dipisahkan secara tegas satu sama lain. Oleh karena itu, psikologi kognitif tidak hanya menggali dasar gejala khas kognitif, tetapi juga dari efektif (penafsiran dan pertimbangan yang menyertai reaksi perasaan), konatif (keputusan kehendak).

Ilmu kognitif menjelaskan bidang penelitian psikologi yang mengurusi proses kognitif seperti perasaan, pengingatan, penalaran, pemutusan dan pemecahan masalah, serta menghindari adanya tumpang-tindih ilmu pengetahuan yang tertarik dalam proses tersebut seperti filosofi. Belajar menurut pandangan teori ini merupakan suatu proses yang sifatnya internal, tidak dapat diamati secara langsung.

Suatu perubahan dalam kemampuan individu respons terhadap situasi-situasi tertentu. Perubahan pada perilaku yang tampak merupakan refleksi dari perubahan yang sifatnya internal tadi. Sehingga Ausubel menekankan pada aspek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar.

Teori belajar bermakna Ausubel di mana informasi baru di asimilasikan dalam pengertian yang dimiliki siswa merupakan teori yang sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme, yang beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia.

Filsafat konstruktivisme dalam proses belajar digunakan pertama kali oleh Piaget seorang pakar psikologi kognitif yang banyak memberikan kontribusi bagi pengkajian perkembangan psikologi kognitif. Oleh karena itu Piaget banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran Ausubel dalam psikologi kognitif dan konstruktivisme proses belajar.

Teori Pembelajaran David Ausubel
David Ausubel adalah ahli psikologi pendidikan. Inilah yang membedakan Ausubel dengan teoretikus-teoretikus lainnya, khususnya ahli psikologi, yang teori-teorinya diterjemahkan dari dunia psikologi ke dalam penerapan pendidikan. Ausubel memberi penekanan pada belajar bermakna.

Belajar Menurut Ausubel
Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan dalam dua dimensi, seperti yang dinyatakan oleh gambar di bawah. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan.

Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.

Dalam tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi belajar hafalan.

Kedua dimensi, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinum. Kedua kontinum itu diperhatikan pada Gambar 8.2.

bentuk-bentuk belajar
Bentuk-bentuk Belajar

Dua Kontinum Belajar
Dua Kontinum Belajar
Sepanjang kontinum (mendatar) terdapat dari kiri ke kanan berkurangnya belajar penerimaan dan bertambahnya belajar penemuan, sedangkan sepanjang kontinum (vertikal) terdapat dari bawah ke atas berkurangnya belajar hafalan dan bertambahnya belajar bermakna.

Ausubel menyatakan bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan dengan belajar hafalan sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuan. Namun bila memperhatikan gambar di atas, dapat dilihat bahwa belajar penerimaan pun dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep.

Sementara itu, belajar penemuan rendah kebermaknaannya dan merupakan belajar hafalan bila memecahkan suatu masalah dilakukan hanya dengan coba-coba, seperti menebak suatu teka-teki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang bersifat ilmiah.

Belajar Bermakna
Inti teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna (Ausubel, 1968). Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.

Walaupun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori atau disimpannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Banyak sel otak yang terlibat dalam menyimpan pengetahuan itu.

Dengan berlangsungnya belajar, dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari. Gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana terkaitnya informasi baru pada susunan sel dalam otak.

Dasar-dasar biologi belajar bermakna menyangkut perubahan-perubahan dalam jumlah atau ciri-ciri neuron yang berpartisipasi dalam belajar bermakna. Peristiwa psikologi tentang belajar bermakna menyangkut asimilasi informasi baru pada pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang.

Jadi, dalam belajar bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsumer-subsumer relevan yang telah ada dalam struktur kognitif. Belajar bermakna yang baru mengakibatkan pertumbuhan dan modifikasi subsumer-subsumer yang telah ada itu.

Bergantung pada sejarah pengalaman seseorang, subsumer itu dapat relatif besar dan berkembang seperti subsumer A atau kurang berkembang seperti subsumer B dan C.
Belajar Bermakna David Ausubel
Belajar Bermakna
Dalam belajar bermakna, informasi baru a, b, c dikaitkan pada konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif (subsumer) A, B, C. Subsumer A mengalami diferensiasi lebih banyak daripada subsumer B atau C.

Dari Mana Datangnya Subsumer?
Bila menginginkan belajar bermakna seperti yang dikemukakan oleh Ausubel dan bila belajar bermakna memerlukan konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif yang disebut subsumer itu; mungkin timbul pertanyaan: Dari mana datangnya subsumer itu?

Pada anak-anak, pembentukan konsep merupakan proses utama untuk memperoleh konsep-konsep. Telah kita ketahui bahwa pembentukan konsep adalah semacam belajar penemuan yang menyangkut baik pembentukan hipotesis dan pengujian hipotesis maupun pembentukan generalisasi hal-hal yang khusus.

Waktu usia masuk sekolah tiba, kebanyakan anak telah mempunyai kerangka konsep yang mengizinkan terjadinya belajar bermakna.

Belajar Hafalan
Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau subsumer-subsumer relevan, informasi baru dipelajari secara hafalan. Bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasi pengetahuan baru pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, akan terjadi belajar hafalan.

Pada kenyataannya, guru dan bahan-bahan pelajaran sangat jarang menolong para siswa dalam menentukan dan menggunakan konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif mereka untuk mengasimilasikan pengetahuan baru, dan akibatnya pada para siswa hanya terjadi belajar hafalan.

Lagi pula sistem evaluasi di sekolah menghendaki hafalan. Jadi timbul pikiran pada para siswa untuk apa bersusah payah secara bermakna? Kerap kali siswa-siswa diminta, untuk mengemukakan prinsip-prinsip yang sebenarnya tidak mengerti apa yang mereka katakan.

Subsumsi-subsumsi Obliteratif
Selama belajar bermakna berlangsung, informasi baru terkait pada konsep-konsep dalam struktur kognitif. Untuk menekankan pada fenomena pengaitan ini, Ausubel mengemukakan istilah subsumer.

Subsumer memegang peranan dalam proses perolehan informasi baru. Dalam belajar bermakna, subsumer mempunyai peranan interaktif, memperlancar gerakan informasi yang relevan melalui penghalang-penghalang perseptual dan menyediakan suatu kaitan antara informasi yang baru diterima dan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.

Lagi pula, dalam proses terjadinya kaitan ini, subsumer itu mengalami sedikit perubahan. Proses interaktif antara materi yang baru dipelajari dengan subsumer-subsumer inilah yang menjadi inti teori belajar asimilasi Ausubel. Proses ini disebut subsumsi dan secara sistematis dinyatakan sebagai berikut.
 
Subsumsi Obliteratif
Subsumsi Obliteratif
A = subsumer
Aʼ= subsumer yang mengalami modifikasi
Aʼ dan Aʼʼ= subsumer yang lebih banyak mengalami modifikasi
a₁ = informasi baru yang mirip dengan subsumer A demikian pula aʼ₂ aʼ₃
aʼ₁ aʼ₂ dan aʼ₃ = pengetahuan baru yang telah tersubsumsi

Selama belajar bermakna, subsumer mengalami modifikasi dan terdiferensiasi lebih lanjut. Diferensiasi subsumer diakibatkan oleh asimilasi pengetahuan baru selama belajar bermakna berlangsung.

Informasi yang dipelajari secara bermakna biasanya lebih lama diingat daripada informasi yang dipelajari secara hafalan, tetapi adakalanya unsur-unsur yang telah tersubsumsi (yaitu aʼ₁ aʼ₂ dan aʼ₃) tidak dapat lagi dikeluarkan dari memori, jadi sudah dilupakan. Menurut Ausubel, terjadi subsumsi obliteratif (subsumsi yang telah rusak).

Ini berarti bahwa subsumer yang tinggal telah kembali pada keadaan sebelum terjadi proses subsumsi. Jadi walaupun kelihatannya ada suatu unsur subordinat yang hilang, subsumer telah diubah oleh pengalaman belajar bermakna sebelumnya. Peristiwa subsumsi obliteratif dapat diperhatikan sebagai berikut.
 
Subsumsi Obliteratif
Subsumsi Obliteratif
Dari rumus di atas terlihat bahwa unsur aʼ₁ sesudah waktu = 4 telah dilupakan, pada waktu = 5 unsur aʼ₂, sesudah waktu = 6 unsur aʼ₃ ikut dilupakan. Jadi, sesudah waktu = 6 tinggallah Aʼʼʼ yang merupakan subsumer yang telah mengalami modifikasi yang disebabkan karena beberapa pengalaman belajar bermakna sebelumnya.

Menurut Ausubel dan juga Novak (1977), ada tiga kebaikan dari belajar bermakna, yaitu:
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat
2. Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip
3. Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif meninggalkan efek residual pada subsumer sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi lupa.

Berdasarkan hasil penelitian mereka dan beberapa penelitian lainnya, Ausubel dan Novak dapat mengharapkan bahwa belajar bermakna baru yang relevan dengan subsumer A akan berlangsung paling cepat pada waktu = 3, tetapi lebih cepat pada waktu = 6 daripada waktu = 0.

Penelitian-penelitian laboratorium memperlihatkan bahwa informasi yang dipelajari secara hafalan menghalang-halangi belajar selanjutnya tentang informasi baru yang mirip.

Variabel yang Mempengaruhi Penerimaan Bermakna
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (1963) ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul saat informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi terjadi.

Jika struktur kognitif itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik, arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Akan tetapi sebaliknya, jika struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.

Prasyarat-prasyarat belajar bermakna adalah sebagai berikut.
1. Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial
2. Anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna. Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna.

Banyak siswa mengikuti pelajaran-pelajaran yang kelihatannya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pelajaran-pelajaran demikian, materi pelajaran dipelajari secara hafalan. Para siswa kelihatannya dapat memberikan jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek-aspek lain dalam struktur kognitif mereka.

Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial bergantung pada dua faktor, yaitu sebagai berikut.
1. Materi itu harus memiliki kebermaknaan logis
2. Gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa

Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang nonarbitrer dan substantif. Materi yang nonarbitrer adalah materi yang serupa dengan apa yang telah diketahui.

Sebagai contoh, anak yang sudah mempelajari konsep-konsep segiempat dan bujur sangkar dapat memasukkan kedua konsep ini secara nonarbitrer ke dalam klasifikasi yang lebih luas, yaitu kuadrilateral (persegi empat) sebab konsep segi empat dan bujur sangkar yang sudah dipelajari.

Materi itu harus substantif yang berarti materi itu dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah artinya. Misalnya, definisi Suatu segitiga ekuilateral adalah segitiga yang mempunyai tiga sisi yang sama dapat diubah menjadi Bila sebuah segitiga mempunyai sisi yang sama, segitiga itu ialah segitiga ekuilateral.

Dengan mengubah urutan kata-kata, kita tidak mengubah artinya; pernyataan-pernyataan itu ekuivalen. Walaupun nomor-nomor telepon atau nomor-nomor mobil kerap kali tidak memiliki kesubstantifan, jadi harus dihafalkan, dengan ditemukannya suatu hubungan nomor-nomor itu, tugas untuk mempelajari dan mengingat informasi ini menjadi lebih mudah.

Aspek kedua kebermaknaan potensial ialah bahwa dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan yang relevan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan pengalaman anak-anak, tingkat perkembangan mereka, inteligensi, dan usia. Isi pelajaran harus dipelajari secara hafalan bila anak-anak itu tidak mempunyai pengalaman yang diperlukan mereka untuk mengaitkan atau menghubungkan isi pelajaran.

Oleh karena itu, agar terjadi belajar bermakna, materi pelajaran harus bermakna secara logis. Siswa harus bertujuan untuk memasukkan materi itu ke dalam struktur kognitifnya dan dalam struktur kognitif anak harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengaitkan atau menghubungkan materi baru secara nonarbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada, materi itu dipelajari secara hafalan (Rosser, 1984).

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "David Ausubel: Biografi dan Teori Pembelajarannya"