Postmodernisme: Pengertian, Elemen, Strategi Resistensi, dan Tokohnya

Table of Contents

Postmodernisme
Pengertian Postmodernisme

Postmodernisme adalah gerakan intelektual dan teori yang muncul setelah modernisme. Postmodernisme merupakan gerakan yang kritis terhadap modernisme, terutama dalam hal pemikiran dan prinsip-prinsipnya.

Postmodernisme muncul di akhir abad ke-20 dan memengaruhi seni, arsitektur, dan kritik. Postmodernisme juga memengaruhi pemikiran kritis dan seni. Postmodernisme juga dikenal sebagai pascamodernisme.

Termasuk di dalamnya adalah interpretasi skeptis terhadap budaya, sastra, seni, filsafat, sejarah, ekonomi, arsitektur, fiksi, dan kritik sastra. Pascamodernisme sering dikaitkan dengan dekonstruksi dan pascastrukturalisme.

Banyak tokoh yang memberikan arti pascamodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Sebagian mengartikannya sebagai pemutusan secara total dari modernisme, yang lain memandangnya sebagai koreksi beberapa aspek dari modernisme. 

Baca Juga: Filsuf Awal Postmodernisme

Etimologi Postmodernisme

Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari modernisme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. 

Baca Juga: Arnold Joseph Toynbee: Biografi, Pemikiran, dan Karyanya

Setelah itu berkembang dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri. Ciri pemikiran ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya.

Mereka menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.

Pendapat Para Ahli tentang Postmodernisme

Berbagai perubahan drastis di dunia abad 20 telah membawa masyarakat pada era postmodern. Menurut Anthony Giddens, dalam buku The Consequences of Modernity, postmodernisme memiliki ciri khusus yaitu sistemnya lebih kompleks secara institusional. Giddens menyebut postmodernisme sebagai sesuatu yang melampaui modernisme.

Baca Juga: Anthony Giddens: Biografi dan Teori Strukturasinya

Perspektif (cara pandang) postmodernisme bisa dikatakan muncul sebagai kritik terhadap paradigma modernisme yang dinilai gagal mengangkat martabat manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan beserta teknologi yang mengalami lompatan jauh, terutama sejak revolusi industri lahir, dianggap belum memajukan peradaban manusia. Perang dan kerusakan lingkungan merupakan contoh kegagalan cara pandang modernisme.

Salah satu pemikir yang paling awal melontarkan istilah postmodernisme adalah Jean-Francois Lyotard. Mengutip penjelasan Ali Maksum, dalam Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Posmodernisme (2014:305-306), istilah tersebut muncul di buku karya Lyotard yang berjudul The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.

Lyotard, dalam buku yang muncul di tahun 1979 itu, mendefinisikan postmodernisme sebagai kritik terhadap pengetahuan universal, tradisi metafisik, fondasionalisme, dan modernisme.

Sementara itu, Charles Jencks, arsitek yang menggunakan istilah postmodern di dunia arsitektur untuk pertama kali, dalam buku karyanya yang terbit di tahun 1977, The Language of Post-modern Architecture, merumuskan 4 definisi untuk istilah postmodernisme.
Pertama, menurut Jencks, postmodernisme merupakan aliran, pemikiran maupun sikap yang menjadi bagian dari kebudayaan populer atau kritik teoritis, dengan ciri pemihakan pada relativitas, anti-universalitas, dan nihilis. Oleh karena itu, ia memuat kritik terhadap rasionalisme, universalisme, dan fundametalisme sains.
Kedua, Jencks juga mendefinisikan postmodernisme sebagai aliran pemikiran atau filsafat yang berkembang pada abad 20 dan memuat pandangan kritis terhadap rasionalisme dan sains dalam alam pikiran Barat.
Ketiga, Jencks mencatat, di bidang sosiologi, postmodernisme didefinisikan sebagai aliran ataupun gerakan yang menandai peningkatan pada pelayanan ekonomi, peran media massa, saling ketergantungan dalam perekonomian dunia, perubahan pola konsumsi masyarakat, dan yang paling penting, pengaruh globalisasi.
Keempat, dalam pandangan Jencks, postmodernisme pun bisa didefinisikan sebagai aliran atau pemikiran yang berkaitan dengan reaksi atas kegagalan arsitektur modern. Kegagalan itu ditandai oleh lenyapnya identitas dari tempat (lokasi), tampilan bentuk yang membosankan, serta dominannya pengaruh dari efisiensi, produksi massal dan industrialisasi.

Dalam perkembangannya, perspektif postmodernisme diperkaya oleh pemikiran dan teori dari sosiolog dan filsuf di tahun 1960-1980an.

Elemen Postmodernisme

Fredric Jameson dalam bukunya “Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism” (1991) menjelaskan wacana postmodernisme dalam kebudayaan, dengan memaparkan beberapa elemen-elemen postmodernisme di antaranya:
1. Munculnya Distorsi Realitas di Media Sosial
Menurut Jameson, salah satu gejala postmodernisme adalah ditandai oleh kepura-puraan atau biasa disebut sebagai ”the waning of affect”. Gejala tersebut memberikan banyak sekali perubahan mendasar, baik perubahan dalam dunia objek (munculnya simulakrum), maupun perubahan dalam dunia subjek.

Perubahan dalam dunia subjek yang dimaksud di sini adalah hilangnya eksistensi subjek individu yang memiliki ekspresi atau style yang unik dan personal serta keotentikan perasaan individual. Subjek individu di postmodernisme ini cenderung telah terfragmentasi, terbelah-belah hingga ke ranah emosi pribadi (Jameson, 1991: 10-11).

Contoh yang menarik dalam konteks sekarang ini adalah kasus komodifikasi sosok selebgram melalui pembentukan branding diri di media sosial Instagram. Menurut Jameson konstruksi semacam itu sebenarnya adalah tontonan belaka (spectacle) dan belum tentu merepresentasikan kepribadian asli selebgram tersebut.

Akibatnya, fenomena ini menyebabkan munculnya euforia yang aneh ketika tubuh berhubungan dengan media elektronik, seperti adanya kepura-puraan atau pencitraan dalam diri tiap individu ketika di media sosial.

Distorsi realitas seperti itu tentu berpengaruh terhadap kesehatan mental, seperti terjadinya penolakan atas karakter yang sebenarnya dimiliki akibat terlalu sering menampilkan kepura-puraan di hadapan publik.

2. Hilangnya Kesejarahan
Hingar bingar kemewahan postmodernisme ini juga mengancam hilangnya rasa sejarah yang semula eksis di masyarakat. Dalam sudut pandang Jameson, hal itu menyebabkan “kanibalisasi atau peniruan acak terhadap gaya masa lalu”. Pemahaman ini membawa kita pada konsep kunci dalam postmodernisme, yakni pastiche (Jameson, 1991: 67-97).

Pastiche adalah praktek peniruan atau imitasi mentah-mentahan atas sesuatu yang asli tanpa maksud-maksud tersembunyi apapun, tanpa motif kritik maupun parodi (Sean Homer: 104). Munculnya fenomena pastiche ini merupakan gejala runtuhnya historisitas, suatu keterputusan dengan sejarah, dan sekaligus gejala ketidakmampuan kita merepresentasikan pengalaman kekinian kita sendiri (Jameson, 1991: 21).

Fenomena pastiche ini acap kali divisualisasikan dalam film-film kekinian yang cenderung menekankan citra buatan (image) dengan isi cerita yang dibuat seolah nyata. Padahal jenis konsumsi budaya semacam ini sama sekali tidak menunjuk pada realitas konteks yang sesungguhnya, melainkan hanya mengeksploitasi pencitraan dan stylization yang hampa makna, yang ditujukan untuk komodifikasi dan konsumsi semata.

Akibatnya, masyarakat hanya dicekoki cerita-cerita imitasi hasil kreasi sehingga lupa pada sejarah-sejarah yang seharusnya eksis dalam dimensi sosial bermasyarakat.

3. Munculnya Temporalitas yang Paradoks
Jameson memakai istilah schizophrenia untuk menandai temporalitas posmodernisme. Konsep ini berarti bahwa masyarakat yang hidup di era postmodernisme ini cenderung mencari sesuatu yang baru dan berusaha mengkonsumsi hal yang terbaru terus menerus guna memenuhi selera dan keinginan mereka.

Manusia postmodern terjebak dalam “kekinian”, dan dalam kondisi itu membuatnya ingin selalu memenuhi hasrat kebaruan dan up to date secara lebih intens.

Strategi Resistensi terhadap Postmodernisme

Dari paparan tersebut diatas diperlihatkan dengan jelas bagaimana ruang budaya global postmodernisme telah menyediakan jebakan dan mengkooptasi subjek individual. Oleh karenanya dalam konteks ini, Jameson menawarkan dua bentuk strategi resistensi budaya untuk melawan logika postmodernisme.

Pertama, strategi homeopathic, seperti misalnya membuat gangguan budaya, membuat praktek-praktek bermakna perlawanan, dan juga menolak nilai-nilai yang dikomodifikasikan. Kedua, strategi cognitive mapping, seperti mendorong individu dan masyarakat untuk menciptakan budaya politik baru dengan menyadari the truth of postmodernism.

Jameson mengajak kita untuk mulai memahami positioning diri, memegang prinsip hidup dan tetap menjaga jati diri, agar tidak mudah terbawa oleh derasnya arus postmodernisme yang semakin menentang esensi realitas kehidupan kita.

Tokoh Postmodernisme

Beberapa contoh tokoh pemikir postmodernisme di antaranya,
1. Jean Francois Lyotard
Filsuf asal Prancis, Jean-Francois Lyotard adalah salah satu tokoh yang paling sering disebut dalam pembahasan tentang postmodernisme. Salah satu karyanya yang banyak dirujuk adalah The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.

Dalam buku tersebut, Lyotard menjelaskan beberapa sebab kemunculan postmodernisme. Salah satu penyebab, menurut Lyotard, adalah perubahan yang terjadi pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang terjadi sejak tahun 1950-an.

Lyotard juga yang menyatakan bahwa postmodernisme tidak mengenal narasi besar atau narasi kecil. Narasi besar yang berpengaruh di era modernisme, menurut Lyotard telah runtuh, dan diikuti dengan berkembangnya teknologi komputerisasi. Lyotard meyakini bahwa kebenaran di era postmodernisme tidak lagi bersifat mutlak.

2. Jean Baudrillard
Filsuf dan sosiolog asal Prancis, Jean Baudrillard melontarkan banyak pemikiran menarik tentang hiperealitas, era masyarakat konsumsi, dan postmodernisme. Di antara karya Baudrillard yang cukup berpengaruh ialah Simulacra and Simulation (1981) dan The Consumer Society (1970). 

Baca Juga: Jean Baudrillard: Dunia Simulasi dan hiperrealitas

Menurut Baudrillard, perkembangan media elektronik menjadi faktor pendorong terbesar postmodernisme. Media, dalam penilaiannya, telah mengubah hubungan manusia dengan sejarah dan menciptakan tatanan baru.

Baudrillard juga meyakini bahwa kehidupan sosial manusia pada era postmodern dipengaruhi oleh sign atau tanda yang muncul melalui media. Salah satu contoh ialah peristiwa kematian Putri Diana pada 1997 yang menimbulkan duka di seluruh dunia.

Menurut Baudrillard, kabar duka tersebut tersebar melalui media dengan membawa sign untuk orang-orang di luar Inggris yang hanya mengenal sosok Putri Diana melalui televisi. Fenomena ini disebut the dissolution of life into TV.

Masyarakat postmodern, menuru Baudrillard, juga identik dengan konsumerisme. Dalam The Consumer Society, Baudrillard menjelaskan bahwa masyarakat era postmodern menggemari produk-produk mass-market dan mass-culture yang mendorong konsumerisme.

3. Zygmunt Bauman
Zygmunt Bauman merupakan teoritikus kritis asal Polandia yang masuk dalam daftar sosiolog paling berpengaruh di Eropa. Bauman pun masuk dalam kategori pemikir postmodernisme.

Bauman menilai kemunculan postmodernisme adalah sebagai hasil dari kegagalan modernisme. Menurut Bauman, masyarakat modern membutuhkan keteraturan, tetapi hal tersebut gagal diwujudkan oleh modernisme. Bagi dia, modernisme telah gagal mewujudkan dunia yang rasional sesuai harapan.

Bauman pun memiliki pandangan yang sama dengan Baudrillard, bahwa perkembangan pesat media massa turut mendorong kemunculan postmodernisme. Di saat bersamaan, terjadi perubahan sosial, perkembangan teknologi, dan perputaran informasi yang semakin pesat di dunia. Bauman sepakat bahwa ilmu sosiologi postmodern perlu dikembangkan untuk memahami masyarakat postmodern.

Namun, Bauman menilai istilah ‘postmodern' kurang cocok untuk digunakan. Untuk itu, Bauman memilih ‘liquid modernity’sebagai istilah yang sesuai dengan kondisi postmodern. Di era liquid modernity, Bauman menyatakan bahwa modernitas berubah secara cair dan penuh ketidakpastian.

4. Jacques Derrida
Di antara banyak filsuf Prancis yang berpengaruh, nama Jacques Derrida tidak bisa diabaikan. Derrida merupakan filsuf yang percaya pada konsep dekonstruksi dan mendobrak cara berpikir logosentris.

Dia menilai logosentrisme mengakar pada filsafat Barat. Cara berpikir ini bersifat hierarkis dengan menganggap beberapa narasi sebagai pusat, sedangkan lainnya dianggap pinggiran.

Derrida percaya bahwa dekonstruksi dapat menggugat cara berpikir logosentrisme. Menurut Derrida, dekonstruksi dapat menjadi kritik untuk melawan irasionalitas. Dekonstruksi akan membawa kembali keberagaman pemikiran dari kelompok marginal yang tertindas modernitas.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://tirto.id/
https://kumparan.com
dan sumber lain yang relevan

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment