Istishab: Pengertian, Kedudukan, Unsur, Macam, dan Contoh Penerapannya
Pengertian Istishab
Istishab adalah metode ijtihad yang berarti menetapkan hukum sesuatu pada hukum asalnya selama belum ada dalil lain yang merubahnya. Secara etimologis, istishab artinya adalah al-mushâhabah yang artinya dalam menemani atau membarengi.
Baca Juga: Ijtihad: Pengertian, Ruang Lingkup, Fungsi, Rukun, Metode, dan Contohnya
Istishab digunakan sebagai dalil oleh ulama ushul, yang mengambil sesuatu yang telah diyakini dan diamalkan di masa lalu, dan secara konsisten menyertainya untuk diamalkan sampai ke masa selanjutnya. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan dan melestarikan hukum lama, bukan menciptakan hukum baru.
Mengutip jurnal Istishab dan Hukumnya dalam Islam oleh Ridwan, istishab pada dasarnya merupakan suatu metode penemuan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada sebelumnya selama belum ada dalil (bukti hukum) baru yang menyatakan sebaliknya.
Pengertian Istishab dari Para Ulama
Secara terminologi, para ulama ushul berbeda-beda dalam memberikan definisi istishab, tetapi secara substansi, mereka cenderung mengarah pada makna yang sama.
Beberapa definisi istishab yang diberikan oleh ulama meliputi:
1. Al-Syawkani: Istishab adalah tetapnya hukum atas suatu masalah selama belum ada dalil lain yang mengubahnya.
2. Imam Ibnu al-Subki: Istishab adalah menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.
3. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah: Istishab adalah melanggengkan hukum dengan cara menetapkan hukum berdasarkan hukum yang sudah ada, atau meniadakan hukum atas dasar tidak adanya hukum sebelumnya.
4. Wahbah Zuhaili: Istishab adalah menghukumi tetap atau hilangnya sesuatu pada masa kini atau masa mendatang berdasarkan tetap atau hilangnya sesuatu tersebut di masa lalu karena tidak ada dalil yang mengubahnya.
5. Al-Ghazali: Istishab adalah tetap berpegang teguh dengan dalil akal atau dalil syar'i, bukan karena ketidaktahuan tentang adanya dalil, melainkan karena mengetahui adanya dalil yang mengubahnya setelah berusaha keras mencarinya.
6. ‘Abd al-‘Aziz al-Bukhari: Istishab adalah menyatakan tetap adanya sesuatu pada masa kedua karena sesuatu tersebut memang ada pada masa pertama.
7. Abdul Wahab Khallaf: Istishab adalah menjadikan ketentuan hukum yang telah tetap di masa lalu tetap berlaku pada saat ini sampai muncul keterangan tentang adanya perubahan.
8. Shihab al-Din al-Zanjani al-Shafi'i: Istishab adalah mengambil dalil-dalil hukum dikarenakan ketiadaannya dalil atas hukum tersebut, atau mengukuhkan apa yang pernah berlaku pada masa lalu dengan dalil.
9. Umar Maulud Abd al-Hamid: Istishab adalah penetapan hukum pada masa kedua sebagaimana yang telah ditetapkan pada masa pertama, yang berarti menetapkan hukum yang sudah ada sebelumnya.
10. Al-Asnawy: Istishab adalah penetapan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak ada hal yang mengharuskan perubahan.
Dengan berbagai definisi di atas, istishab dapat dijelaskan sebagai metode hukum yang memberlakukan hukum lama selama tidak ada dalil baru yang mengubahnya. Prinsip istishab bukan menciptakan hukum baru, melainkan mempertahankan dan melestarikan hukum yang telah ada.
Istishab melibatkan tiga unsur utama, yaitu segi waktu, ketetapan hukum, dan pengetahuan tentang dalil hukum. Istishab memiliki peran penting dalam menjaga kontinuitas hukum dalam Islam dan memberikan hukum yang relevan dengan perubahan zaman.
Kedudukan Istishab
Pada umumnya, para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kedudukan istishab sebagai sumber hukum Islam. Dikutip dari Fikih Madrasah Aliyah Kelas XII oleh Mundzier Suparta, dkk., (2016: 60-61), pendapat para ulama tentang kedudukan istishab, yaitu:
1. Istishab sebagai Pedoman dalam Menentukan Hukum Islam
Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum suatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Alquran, sunnah, maupun ijma.
Baca Juga: Ijma: Pengertian, Dalil, Unsur, Syarat, Rukun, Macam, Contoh, dan Perbedaannya dengan Qiyas
Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Syafi'iyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama Hanafiyah. Dalil yang mereka jadikan alasan untuk ini, yaitu:
إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُوْنَ.
Artinya: "Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (QS. Yunus: 36)
Berdasarkan kepada dalil di atas, para ulama menetapkan kaidah-kaidah fikih sebagai berikut:
a. Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya.
b. Apa yang diyakini adanya tidak hilang karena adanya keraguan.
c. Asal hukum sesuatu adalah boleh.
2. Menolak Istishab sebagai Pegangan dalam Menetapkan Hukum Islam
Sebagian ulama lainnya menolak istishab sebagai pegangan dalam menentukan hukum Islam. Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah.
Mereka menyatakan bahwa istishab seperti yang disebutkan di atas adalah tanpa dasar dan menolaknya untuk menetapkan hukum baru.
Unsur Istishab
Konsep istishab sebagai metode hukum mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1. Waktu
Istishab menghubungkan tiga waktu sebagai satu kesatuan yaitu waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ketiganya dalam istishab dianggap sama nilainya sampai terbukti ada perubahan karakteristik hukum yang melekatnya.
2. Ketetapan Hukum
Ada dua ketetapan hukum, yaitu ketetapan hukum boleh (isbat) dan ketetapan hukum yang tidak membolehkan (nafy).
3. Dalil
Istishab sebagai metode penetapan hukum berpusat pada pengetahuan seseorang atas dalil hukum. Pengetahuan inilah yang menjadi kerangka dasar dalam menetapkan posisi hukum asalnya.
Macam Istishab
Mengutip buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan (2019: 98), Abu Zahrah membagi istishab menjadi empat macam, yaitu:
1. Istishab Al-Ibabah Al-Ashliyah
Istishab yang didasarkan pada hukum asal, yaitu mubah (boleh). Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah, seperti terkait makanan dan minuman.
Selama tidak ada dalil yang melarangnya, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab, pada dasarnya segala sesuatu di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia.
2. Istishab Al-Baraah Al-Ashliyyah
Istishab ini berdasarkan prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang mengubah status tersebut. Atas dasar ini, manusia bebas dari kesalahan sampai ada buktinya.
3. Istishab Al-Hukmi
Didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yang mencabutnya. Contohnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status pernikahan tersebut berlaku sampai terbukti adanya perceraian.
4. Istishab Al-Washfi
Istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya akan tetap suci sampai ada bukti yang menunjukkan air itu menjadi najis.
Contoh Penerapan Istishab
Contoh Penerapan Istishab dalam Mengatasi Problematikan Hukum Islam
Dalam konteks pemahaman dan penerapan hukum Islam, konsep Istishab memegang peran penting dalam menjawab problematika sosial dan menjaga keadilan hukum. Berikut adalah penjelasan selengkapnya tentang penerapan istishab dalam menetapkan hukum:
1. Kasus Talak (Perceraian) dengan Keraguan pada Jumlah Talak
Dalam kasus suami yang menceraikan istrinya dengan ragu apakah yang dijatuhkan adalah talak satu atau talak tiga, istishab digunakan untuk menjaga kemaslahatan suami dan istri.
Mayoritas ulama cenderung menerapkan istishab dalam kasus ini dengan mempertahankan status talak satu karena hal ini lebih menguntungkan bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa istishab digunakan untuk meminimalkan keraguan dan menjaga keutuhan pernikahan.
2. Hukum Tayammum ketika Menemukan Air Ketika Sedang Shalat
Dalam kasus di mana seseorang menemukan air ketika sedang menjalani shalat, istishab digunakan untuk mempertahankan kesahihan shalatnya.
Menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik, tayammum dan shalatnya dianggap sah, dan hukum ini berlaku sampai shalat selesai. Ini menghindari keraguan dan memastikan kelancaran pelaksanaan ibadah.
3. Asas Praduga Tak Bersalah dalam Hukum Pidana
Praduga tak bersalah adalah konsep penting dalam hukum pidana, yang memastikan bahwa seseorang tidak dianggap bersalah sampai ada bukti yang mendukung. Istishab berperan dalam menjaga prinsip ini, dengan asas bahwa seseorang bebas dari tuntutan hukuman sampai bukti formil dan materiil terbukti di pengadilan. Ini menjaga hak individu dan mencegah kesalahan hukuman.
4. Kasus Wanprestasi dalam Hukum Perdata
Istishab digunakan dalam hukum perdata, khususnya dalam kasus wanprestasi. Prinsipnya adalah bahwa seseorang dianggap bebas dari tuntutan kewajiban perdata, dan si penggugat memiliki beban pembuktian. Ini mengacu pada prinsip bahwa setiap orang bebas dari kewajiban hingga ada bukti yang mendukung klaim.
Baca Juga: Pengertian Wanprestasi, Bentuk, Syarat, Faktor, dan Akibat Hukumnya
5. Hukum Perkawinan
Istishab berperan dalam hal perkawinan. Sebelum ada bukti hukum seperti Akta Nikah, individu dianggap bebas dan tidak terikat oleh hukum perkawinan. Ini mencerminkan konsep "Istishab al-Barâ’ah al-Ashliyyah." Pencatatan perkawinan diperlukan untuk menjaga kepastian hukum dan menghindari masalah dalam kasus perkawinan yang tidak tercatat.
Dalam semua contoh-contoh ini, istishab digunakan untuk mempertahankan hukum yang menguntungkan individu atau kelompok dan untuk menjaga kepastian hukum. Prinsip istishab berfokus pada meminimalkan keraguan dan mempertahankan hukum asal sampai ada bukti yang memerlukan perubahan. Hal ini mencerminkan pentingnya kemaslahatan dan keadilan dalam pemahaman hukum Islam.
Sumber:
https://kumparan.com
https://www.liputan6.com
dan sumber lain yang relevan
Post a Comment