Wasil bin Atha dan Rasionalisme dalam Islam
Siapa itu Wasil bin Atha'?
Wasil bin Atha’ bernama lengkap Abu Huzaifah Wasil Ibn Atha’ Al Ghazzal, yang lahir di Madinah pada 80 Hijriyah. Ia adalah teolog dan filsuf muslim terkemuka pada zaman dinasti Bani Umayyah.
Wasil bin Atha’ merupakan tokoh utama sekaligus pendiri dari aliran Muktazilah. Ia mendapat julukan “al Ghazzal” atau yang biasa diartikan dengan “penenun” karena ia senang berkeliling di dalam kilang-kilang tenun.
Baca Juga: Aliran Ilmu Kalam. Muktazilah
Pada mulanya ia belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyah. Selanjutnya, banyak menimba ilmu pengetahuan di Mekkah dan mengenal ajaran Syi’ah di Madinah.
Ia kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashri. Wasil bin Atha’ meninggal pada tahun 748/749 M (131 H) di usianya yang ke 49 tahun (Badawi, 1971: 73-82).
Aliran Muktazilah
Wasil bin Atha’ merupakan tokoh utama sekaligus pendiri dari aliran ilmu kalam Muktazilah. Pengikut aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal. Sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal.
Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan adalah “ketetapan akal”.
Adapun ketentuan wahyu kemudian dita'wilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan ketetapan akal, atas dasar inilah orang berpendapat bahwa timbulnya aliran Mu'tazilah merupakan cikal bakal lahirnya aliran rasionalisme di dalam Islam.
Sekilas Biografi
Wasil bin Atha’ dilahirkan di mana orang-orang muslim Madinah banyak yang menganut paham Salafiyah, jadi tidak heran jika Washil bin Atha’ banyak dipengaruhi dari paham tersebut (al-Ghurabi, tt : 76).
Sejak kecil beliau merupakan murid yang amat kritis dalam mengkaji Al Qur’an, Hadis Nabi, dan ilmu-ilmu lain. Beliau merupakan salah seorang murid dari Abu Hasyim ‘Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyyah. Kemudian beliau berhijrah ke Mekah dan mengenal ajaran Syi’ah.
Baca Juga: Syi’ah: Pengertian, Doktrin, Itikad, Sekte, dan Polemiknya dengan Sunni
Selanjutnya, beliau melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan Al Bashri. Washil bin atha’ merupakan murid yang sangat cerdas dan berani. Ia tidak segan untuk berbeda pendapat, jika menurutnya pemikiran itu tidak sesuai dengan penglihatannya, sekalipun itu gurunya sendiri.
Washil adalah orang yang sangat pandai. Ia mampu mengatur waktunya dengan baik. Ia juga merupakan seorang sastrawan yang memiliki kemampuan retorika yang sangat baik. Argumentasinya tidak mudah goyah oleh argumentasi lain. Kemampuan bicaranya juga sangat bagus.
Ia banyak belajar dari tokoh-tokoh di zamannya, sehingga menempatkannya sebagai seorang yang alim. Berdasarkan beberapa sumber, Washil dikenal sebagai ahli zuhud yang memiliki rasa takut kepada Allah, sehingga ia sangat taat pada-Nya.
Dalam urusan dakwah, Washil tak perlu diragukan lagi. Ia mampu menggerakkan dai-dai untuk menyebarkan ajaran Islam di berbagai negara hingga seluruh dunia.
Ia juga menggerakkan tokoh Mu’tazilah seperti Usman Ath-Thawil yang diutus ke Armenia, Ayyub ke Jazirah, Abdullah bin Al-Haris ke Maroko, dan Hafs bin Salim ke Khurasan.
Washil juga menjadi orang pertama yang menancapkan konsep-konsep dakwah dalam menegakkan ajaran Islam dan menjadi orang yang memegang kuat pendapatnya agar tidak runtuh dengan pendapat-pendapat yang lain (Badawi, 1971 : 103).
Beberapa karya tulis Washil bin Atha’ yang kemudian dijadikan sebuah kitab. Karya-karya tersebut ialah Ashnaf Al-Murji’ah, A-Taubah, Al-Manzilah baina al-Manzilatain, Khutbatuhu allati Akhraja Minha ar-Ra’yu, Ma’ani Al-Qur’an, Al-Kitab fi at-Tauhid wa al-‘Adl, Ma Jara Bainahu wa Baina Amr Bin Ubaid, As-Sabil ila Ma’rifati al-Haqq, Fi ad-Dakwah, dan Thabaqat Ahl Al-‘Ilm wa wa al-Jahl.
Pemikiran Teologis
Munculnya aliran Mu’tazilah ini berawal dari adanya perbedaan pendapat tentang status kemukminan seseorang. Dalam bahasa Arab, “mu’tazilah” artinya (keadaan) memisahkan diri.
Pada kasus ini, penyematan nama Mu’tazilah berasal dari kejadian ketika Washil bin Atha’ memisahkan diri dari golongan Hasan Al-Bahsri. Lambat laun, Washil bin Atha’ mengajarkan pemikirannya hingga menjadi aliran yang berpengaruh luas dan populer pada masa Dinasti Abbasiyah.
Saking populer dan kuatnya pengaruh Mu’tazilah, ia menjadi mazhab dan aliran resmi negara pada masa pemerintahan 4 khalifah Abbasiyah, yakni Al-Makmun (198-218 H), Al-Mu’tashim (218-227 H), Al-Watsiq (227-232 H), dan berakhir pada masa Al-Mutawakil (234 H).
Terdapat tiga pemikiran teologis Wasil bin Atha, pertama yaitu peniadaan sifat Tuhan bahwa Tuhan berbeda dengan makhluknya. Kedua Takdir, dan ketiga Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain salah satu pemikiran yang digunakan dalam teologi Mu’tazilah.
Pertama, teori Washil bin Atha’ soal Tuhan dan sifat sifat-Nya didasarkan atas postulat Al Qur’an, yakni diantaranya: surat al-Syura, 11: “laisa ka misli hi syaiun”, surat al-An’am, 103: “la tudriku hui al-absar wa hua yudriku al-absar wa hua al-latifu al-khabir” surat al-Baqarah: 163, “ila hu kum ilahun wahid”, surat al-Ikhlas, 4: “wa lam yakun la hu kufuan ahad”, surat al-Taubah, 31: “la ila ha illah huwa subhana hu ‘amma yusyrikun”, dan surat al-Ra’d ;16 :“am ja’alu lillahi syuiraka’ khallaqu ka khalqi hi watasyabaha al-khalqu ‘alai him”.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Washil ibn ‘Atha memberikan interpretasi rasional bahwa esensi Tuhan berbeda dengan makhluk. Pembeda Tuhan dan makhluknya adalah esensi antara keduanya. Esensi Tuhan bersifat immateri dan tidak tersusun dari subtansi, accidents, dan anasir lainnya, sedangkan makhluk tersusun dari hal tersebut.
Pemikiran Washil bin Atha’ tentang peniadaan sifat Tuhan adalah terdapat zat dan sifat yang merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Seandainya Tuhan diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada esensi-Nya yang qadim, maka sifat itu qadim, sehingga akan membawa kepada adanya dua Tuhan, atau “syirk”.
Oleh karena itu, sifat Tuhan tidak berwujud di luar esensi. Kesempurnaan Tuhan, bukan karena sifat-sifat-Nya, tetapi disebabkan esensi-Nya atau “hal” (keadaan esensi). Dia Maha Kuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah esensi-Nya.
Kedua, teori Washil bin Atha’ soal takdir. Washil ibn ‘Atha memberikan interpretasi bahwa manusia mempunyai daya, kehendak, dan otoritas dalam menentukan perbuatannya. Tuhan memberi daya yang efektif kepada manusia agar dapat melaksanakan syari’at-Nya.
Kalau manusia tidak mempunyai daya yang efektif, maka beban yang dipikulkan kepada manusia akan sia-sia. Sebab, tidak dapat dilaksanakan.
Segala sesuatu yang berwujud telah diketahui dan ditetapkan sesuai dengan aturan masing-masing. Sunnah Allah yang “kasyafi” (tidak mengikat) itulah, demikian Harun Nasution, yang diartikan sebagai qada dan qadar.
Semua perbuatan manusia yang baik dan yang buruk diserahkan kepada manusia untuk melakukannya atau meninggalkannya secara merdeka, dan tidak turut campur di dalamnya kemauan dan daya Tuhan.
Namun, segala apa yang diperbuat manusia dapat diketahui Tuhan sebelum terjadi. Tuhan Maha Bijaksana, Maha Adil, dan tidak bersifat aniaya terhadap makhluk-Nya.
Ketiga, teorinya tentang “manzilah baina almanzilatain”, Washil bin ‘Atha terlihat mengambil jalan sintesa antara pendapat yang mengatakan hukum pelaku dosa besar adalah kafir (Khawarij), dan pendapat yang mengatakan hukum pelaku dosa besar adalah mukmin (Murji’ah). Ia berpendapat bahwa hukum pelaku dosa besar adalah fasik.
Baca Juga:
Aliran Ilmu Kalam. Murji’ah
Sebagai telah dijelaskan dalam corak teologi Washil bin ‘Atha, ia memandang iman sebagai bentuk amaliah, siapa yang beramaliah tidak sesuai dengan tuntunan ajaran Tuhan, maka pelakunya berdosa dan tidak berpredikat sebagai mukmin. Pelaku dosa yang beriman, bagi Washil ibn ‘Atha, bukan kafir, karena orang kafir tidak beriman, tetapi ia disebut fasik.
Hal yang dapat dipahami, orang fasik memang telah keluar dari iman, tetapi dia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, dan amal kebajikannya masih ada. Orang yang demikian, apabila meninggal dunia tanpa tobat kekal di dalam neraka, namun siksanya lebih ringan dari orang kafir. Sebab, di akhirat hanya ada surga dan neraka.
Jadi, hukum pelaku dosa adalah bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi fasik. Teori “manzilah baina al-manzilatain” ini didasarkan atas surat dalam Al Qur’an yakni surat al-Nur: 4 dan surat al-Nisa’: 93.
Demikian beberapa pemikiran dari Washil bin Atha’. Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Washil bin Atha banyak mengalami tantangan dan hambatan yang datang silih berganti dari kalangan masyarakat awam, karena mereka sulit menerima ajaran yang bersifat rasional dan filosofis.
Selain itu, ajaran Washil tersebut dinilai oleh masyarakat awam sebagai ajaran yang tidak berpegang pada sunnah Rasullah saw. dan para sahabatnya. Namun, berkat semangat juangnya, menjadikan pemikiran yang ditentang itu mendapatkan pengakuan dari Penguasa Abasiyah dan dijadikan madzab resmi negara sehingga kita masih bisa mengenal beberapa pemikirannya hingga saat ini.
Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://ibtimes.id
https://madrasahdigital.co
dan sumber lain yang relevan
Download
Post a Comment