Mengenal Tragedi Minamata sebagai Sejarah Kelam Kasus Pencemaran Merkuri di Jepang

Table of Contents

Apa itu Tragedi Minamata?

Tragedi Minamata adalah kasus pencemaran merkuri yang sangat parah, yang pernah terjadi di Teluk Minamata, Jepang. Kasus pencemaran limbah di Teluk Minamata pertama kali terdeteksi pada tahun 1956.

Pencemaran merkuri di Minamata mengakibatkan korbannya menderita keterbelakangan mental, cacat lahir, kehilangan penglihatan dan pendengaran, kelumpuhan, hingga kematian.

Minamata kemudian dijadikan sebagai nama penyakit keracunan yang menyerang sistem saraf manusia akibat dari pencemaran merkuri.

Peristiwa ini terjadi pada tahun 1953-1960 dan merupakan salah satu bencana lingkungan yang paling terkenal di dunia.

Pencemaran merkuri di Teluk Minamata terjadi karena pabrik batu baterai Chisso membuang limbah merkuri ke laut.

Penduduk sekitar Teluk Minamata, terutama nelayan, mengonsumsi ikan yang tercemar merkuri dan menderita penyakit ini.

Setelah mengetahui penyebabnya, pabrik Chisso ditutup dan harus membayar kerugian kepada penduduk Minamata.

Selain itu, untuk mengatur penggunaan merkuri secara global, dibuat Konvensi Minamata yang mulai berlaku pada 16 Agustus 2017.

Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata pada 22 September 2017.

Penyebab Tragedi Minamata

Perkembangan industri di Jepang yang mengalami kemajuan pesat tidak diimbangi dengan fasilitas pembuangan limbah yang memadai.

Akibatnya, banyak perusahaan yang menggunakan sungai-sungai yang berada di sekitar lokasi industrinya sebagai saluran pembuangan limbah dari pabriknya.

Peristiwa di Teluk Minamata disebabkan oleh polusi limbah industri berupa merkuri, terutama metilmerkuri, yang dibuang ke sungai di Minamata dan Teluk Minamata oleh pabrik kimia milik Nippon Chisso.

Produk utama Nippon Chisso Hiryo Company adalah pupuk kimia, karbida, dan vinil klorida.

Limbah pabrik yang mengandung merkuri organik inilah yang mencemari air, kemudian menimbulkan dampak pada tubuh manusia, yang kerap disebut sebagai penyakit Minamata.

Dapat disimpulkan, penyakit Minamata di Jepang disebabkan oleh logam berat yang bernama merkuri.

Kronologi Kejadian

Kasus pertama penyakit Minamata

Minamata dulunya adalah kota pelabuhan di Kumamoto yang memiliki jalur laut menuju Pulau Amakusa, pulau utama Kepulauan Amakusa.

Kasus Minamata pertama kali terdeteksi pada tahun 1956, ketika beberapa pasien di rumah sakit Minamata muncul gejala yang tidak biasa.

Mereka mengalami kejang-kejang hebat, sering kehilangan kesadaran, dan akhirnya jatuh dalam koma setelah menderita demam sangat tinggi, bahkan ada yang meninggal.

Para korban berasal dari kalangan nelayan lokal dan keluarga mereka. Kasus yang sama juga terjadi di sekitar Sungai Agano di Prefektur Niigata, pada 1965.

Sejak ditemukannya kasus tersebut, segera dibentuk tim penyelidik untuk menemukan penyebabnya. Penyelidikan menemukan bahwa seluruh pasien telah mengonsumsi ikan dan kerang yang berasal dari Teluk Minamata.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa senyawa merkuri kemungkinan menjadi penyebab utama dari penyakit yang diderita para pasien, yang kemudian kerap disebut penyakit Minamata.

Pada 1968, pemerintah Jepang mengumumkan bahwa penyakit Minamata disebabkan oleh konsumsi ikan dan kerang yang terkontaminasi senyawa metilmerkuri yang dibuang oleh pabrik kimia ke laut.

Sampel endapan dari teluk terbukti telah mengandung berbagai bahan beracun, seperti mangan, selenium, dan thalium dalam jumlah yang besar.

Korban penyakit ini menderita keracunan merkuri, yang dapat mengakibatkan keterbelakangan mental, cacat lahir, kehilangan penglihatan dan pendengaran, kelumpuhan, hingga kematian.

Penyakit Minamata diketahui merupakan gangguan pada sistem saraf pusat, yang terlihat karena menunjukkan berbagai tanda dan gejala.

Ikan dan kerang, tentunya menjadi sumber makanan utama penduduk setempat, yang mayoritas bekerja sebagai nelayan.

Merkuri organik yang sangat beracun bagi manusia dapat menumpuk di dalam tubuh melalui makanan yang dikonsumsi seperti ikan dan kerang.

Disimpulkan bahwa penyebab kegaduhan di Minamata adalah limbah beracun yang dibuang oleh perusahaan bernama Nippon Chisso ke Teluk Minamata.

Reaksi Perusahaan Nippon Chisso

Awalnya, perusahaan menyangkal tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa mereka tidak membuang limbah yang mengandung merkuri, meskipun merkuri memang digunakan sebagai bahan dasar di pabrik.

Namun, pada akhirnya, Nippon Chisso mengakui bahwa limbah produksi mereka menjadi penyebab kasus penyakit Minamata yang telah merenggut banyak korban.

Reaksi masyarakat

Setelah diketahui bahwa penyebab penyakit Minamata adalah limbah merkuri organik dari pabrik Nippon Chisso, masyarakat sangat marah dan melakukan aksi demo di depan perusahaan tersebut untuk menuntut pertanggungjawaban dan ganti rugi.

Pasalnya, tidak hanya keluarga korban yang merugi, ikan yang ditangkap para nelayan tidak bisa dijual setelah Teluk Minamata dinyatakan terkontaminasi zat kimia beracun.

Reaksi tidak bertanggung jawab dari pihak perusahaan menyulut kemarahan besar dari penduduk.

Ditambah lagi kenyataan bahwa banyak korban yang meninggal dunia, bayi terlahir cacat karena terkontaminasi dari ibu mereka sejak dalam kandungan, dan korban yang selamat mengalami cacat seumur hidup.

Penyakit ini juga menyebabkan kebutaan, kelumpuhan, kelainan fisik, dan kejang-kejang karena menyerang sistem saraf pusat manusia.

Karena tuntutan penduduk tidak direspons oleh Nippon Chisso, mereka membawa kasus ini ke pengadilan.

Penyelesaian

Lebih dari 2.000 orang yang menderita akibat penyakit ini telah menerima kompensasi.

Pada 1987, Pengadilan Distrik di Kumamoto menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah Kumamoto lalai, sehingga harus membayar 647 juta Yen kepada 110 warga yang selamat dari peristiwa tersebut.

Hingga Juni 1990, 2.234 orang telah dinyatakan sebagai korban Minamata, yang berhak menerima pengobatan gratis dan kompensasi.

Tindakan pemerintah Jepang

Untuk menyelesaikan kasus Tragedi Minamata, pemerintah Jepang mengeluarkan Undang-Undang Kompensasi Kerusakan Kesehatan Terkait Polusi.

Dengan undang-undang inilah, para penderita penyakit Minamata dapat menerima kompensasi dari perusahaan yang bertanggung jawab atas pencemaran tersebut.

Pada 1992, pemerintah melakukan pemeriksaan medis kepada penduduk daerah yang terdampak dan membantu biaya pengobatan bagi mereka yang memiliki tanda serta gejala yang menyerupai penyakit Minamata.

Pemerintah Jepang juga mendorong penelitian dan investigasi tentang Penyakit Minamata.

Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah Jepang untuk membersihkan cemaran limbah di Teluk Minamata adalah dengan mengambil tindakan perbaikan terhadap pencemaran lingkungan, membuang sedimen yang terkontaminasi di teluk dan dasar sungai, serta memantau kadar metilmerkuri dalam ikan dan air limbah.

Selain itu, Pemerintah Jepang juga mendirikan Institut Nasional untuk Penyakit Minamata.

Berkat tindakan klinis dan perlindungan yang diambil setelah Tragedi Minamata, penyakit ini tampaknya tidak lagi ditemukan di Jepang.

Teluk Minamata juga telah ditetapkan bebas merkuri sejak Juli 1997.

Tragedi ini menjadi salah satu bencana lingkungan yang paling terkenal dan menyita perhatian banyak negara di dunia.

Akhirnya, pada 2013, lahir Konvensi Minamata Mengenai Merkuri, yang mengatur penggunaan merkuri secara global dengan tujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari merkuri.

Konvensi Minamata mulai berlaku pada 2017 dan kini telah diratifikasi oleh lebih dari 120 negara di dunia, termasuk Indonesia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Penyakit Minamata tidak eksklusif untuk negara Jepang saja. Buktinya, hal yang serupa terjadi lagi di Irak pada tahun 1970. Kali ini keracunan merkuri berasal dari gandum yang diberi obat anti jamur berbahan dasar merkuri.

Sebanyak 35 orang meninggal dan 321 lainnya menderita cacat seumur hidup. Negara lain yang tercatat pernah mengalami kasus penyakit Minamata di antaranya adalah Pakistan dan Guatemala.

Di Indonesia, beberapa ancaman pencemaran merkuri datang dari emisi PLTU batubara, sampah elektronik, dan  maraknya penambangan emas ilegal yang masih menggunakan merkuri sebagai bahan bakunya.

Endcoal.org mencatat bahwa sejak tahun 2006 sampai 2020, telah ada 171 PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia.

Angka tersebut akan terus meningkat seiring berjalannya ekspansi unit PLTU baru di berbagai wilayah di Indonesia, mengingat batubara masih dinilai sebagai sumber energi yang paling terjangkau.

Dari hasil pemodelan oleh Lauri Myllivirta, ahli polusi udara dari Greenpeace tahun 2018, terungkap bahwa PLTU Celukan Bawang II di Bali bisa menghasilkan 15 kilogram merkuri per tahun yang akan mengendap di lahan hutan dan pertanian sekitar.

Hal tersebut adalah pertanda buruk bagi penduduk yang bergantung pada hasil bumi dan sumber air di sekitarnya.

Dampak dari pencemaran merkuri juga mulai terlihat di beberapa lokasi sekitar Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK). Sejak tahun 2017, KLHK mencatat sebanyak 850 titik penambangan emas skala kecil yang tersebar di 197 Kabupaten/Kota di Indonesia.

Lebih lanjut, hasil pemeriksaan darah yang dilakukan oleh Tim Kesehatan Kodam Pattimura pada penduduk Desa Debowae, Maluku mencatat kandungan merkuri pada air seni berkisar antara 10,5 sampai 127 mikrogram/liter.

Nilai ini sangat mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan batas normalnya, yang hanya sebesar 9 mikrogram/liter.

Gejala Penyakit Minamata dan Pencegahannya

Sayangnya, penyakit Minamata tidak bisa langsung terdeteksi setelah tubuh terpapar merkuri. Butuh 6 sampai 10 tahun untuk penyakit ini mulai menampakkan keganasannya.

Bila hal ini telah terjadi, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyembuhkannya. Ada beberapa gejala umum yang harus diwaspadai, di antaranya:
1. Kejang otot
2. Mati rasa pada tangan dan kaki
3. Otot melemah
4. Penglihatan menyempit
5. Gangguan bicara dan pendengaran

Walau tidak bisa diobati, penyakit Minamata bisa dicegah. World Health Organization (WHO) menganjurkan pembatasan konsumsi ikan besar dengan kadar merkuri tinggi seperti hiu, kerapu, makarel, dan tuna.

Sebagai gantinya, pilihlah jenis ikan atau makanan laut yang rendah merkuri seperti mujair, lele, salmon, teri, dan udang.

Dianjurkan pula untuk lebih berhati-hati saat mengonsumsi ikan laut yang berukuran lebih besar dari telapak tangan, karena Semakin besar ukurannya, semakin besar pula kadar merkurinya.

Sumber:
Google AI
https://goldismia.org
https://www.kompas.com/
dan sumber lain yang relevan

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment