Perang Bubat: Sejarah, Latar Belakang, Kronologi, dan Dampaknya

Table of Contents

Sejarah Perang Bubat
Sejarah Perang Bubat

Perang Bubat (Pasunda Bubat) adalah pertempuran antara keluarga Kerajaan Sunda dengan tentara Kerajaan Majapahit. Pertempuran ini berlangsung di alun-alun Bubat, kawasan utara Trowulan, ibu kota Majapahit, pada tahun 1279 Saka atau 1357 Masehi.

Peristiwa Perang Bubat disebutkan dalam Cerita Parahyangan, Serat Pararaton, Kidung Sunda, dan Kidung Sundayana. Menariknya, Kitab Nagarakretagama karangan Mpu Prapanca yang dianggap sebagai sumber utama sejarah Majapahit, sama sekali tidak menyebutkan peristiwa ini.

Hal ini lah yang menyebabkan sebagian sejarawan berpendapat bahwa Perang Bubat tidak pernah terjadi.

Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan maritim dengan ibu kota di Trowulan, Jawa Timur. Dikenal karena kemajuan dalam bidang seni, sastra, dan arsitektur, Majapahit meninggalkan banyak peninggalan budaya yang masih dapat dilihat hingga hari ini, seperti Candi Penataran dan berbagai prasasti.

Majapahit juga memiliki sistem pemerintahan yang terstruktur dengan baik, yang terdiri dari raja, mahapatih, dan berbagai pejabat tinggi lainnya yang mengatur berbagai aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

Kerajaan Sunda, yang berpusat di Pakuan Pajajaran (sekarang Bogor), Jawa Barat, juga merupakan kerajaan yang makmur. Sunda terkenal dengan kekayaan alamnya, termasuk hasil pertanian dan rempah-rempah.

Kerajaan Sunda memiliki budaya yang kaya dan unik, dengan bahasa Sunda sebagai bahasa utama dan adat istiadat yang khas.

Latar Belakang Perang Bubat

Perang Bubat terjadi pada masa ketika Kerajaan Majapahit berada di puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.

Pada abad ke-14, Kerajaan Majapahit, yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293, telah berkembang menjadi salah satu kerajaan terbesar di Nusantara. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar kepulauan Indonesia dan bahkan mencapai wilayah-wilayah di Semenanjung Malaya, Filipina, dan Papua.

Majapahit dikenal dengan struktur pemerintahan yang terorganisir dan kekuatan militernya yang tangguh. Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Di sisi lain, Kerajaan Sunda, yang berpusat di wilayah Jawa Barat, juga merupakan salah satu kerajaan penting di Nusantara. Sunda memiliki hubungan politik dan ekonomi dengan berbagai kerajaan lain, termasuk Majapahit.

Meskipun tidak sebesar Majapahit, Kerajaan Sunda memiliki kekuatan dan pengaruh yang signifikan di wilayahnya.

Hubungan antara Majapahit dan Sunda pada dasarnya bersifat diplomatis dan perdagangan. Kerajaan Sunda dikenal sebagai salah satu pemasok beras dan rempah-rempah yang penting bagi Majapahit. Dalam upaya untuk mempererat hubungan diplomatik, Raja Hayam Wuruk mengusulkan pernikahan dengan Dyah Pitaloka, putri dari Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda.

Namun, meskipun ada niat baik dari kedua belah pihak, terdapat perbedaan pandangan mengenai status pernikahan tersebut. Kerajaan Sunda menganggap pernikahan ini sebagai pernikahan yang setara antara dua kerajaan besar.

Sementara Majapahit, melalui Mahapatih Gajah Mada, melihat pernikahan ini sebagai bentuk penyerahan dan pengakuan kekuasaan Majapahit atas Sunda. Ketegangan inilah yang menjadi salah satu pemicu utama Perang Bubat.

Ketika rombongan Kerajaan Sunda tiba di Bubat, Gajah Mada menuntut agar Dyah Pitaloka diserahkan sebagai upeti, bukan sebagai calon permaisuri. Tuntutan ini jelas menghina Kerajaan Sunda, yang datang dengan niat baik untuk pernikahan yang setara.

Maharaja Linggabuana merasa terhina dengan tuntutan ini dan menolak menyerahkan putrinya sebagai upeti.

Kronologi Perang Bubat

Perang Bubat adalah peristiwa tragis yang berlangsung di alun-alun Bubat sekitar tahun 1357. Rombongan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Maharaja Linggabuana tiba di wilayah Bubat dengan niat baik untuk melaksanakan pernikahan antara Dyah Pitaloka, putri dari Maharaja Linggabuana, dan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit.

Rombongan ini membawa serta para bangsawan, prajurit, dan berbagai hadiah sebagai simbol kesopanan dan penghormatan terhadap Kerajaan Majapahit.

Menurut sumber-sumber sejarah seperti Kidung Sunda dan Pararaton, rombongan Sunda disambut dengan baik pada awalnya, dan mereka ditempatkan di alun-alun Bubat, yang terletak tidak jauh dari ibu kota Majapahit.

Alun-alun ini merupakan tempat yang cukup strategis dan luas, cocok untuk menampung rombongan besar dari Kerajaan Sunda.

Setelah rombongan Sunda menetap di Bubat, Mahapatih Gajah Mada, yang merupakan penasihat utama dan komandan militer Majapahit, mengajukan tuntutan yang mengejutkan.

Alih-alih memperlakukan Dyah Pitaloka sebagai calon permaisuri yang setara dengan Hayam Wuruk, Gajah Mada menuntut agar Dyah Pitaloka diserahkan sebagai tanda penyerahan dan pengakuan kekuasaan Majapahit atas Sunda.

Tuntutan ini didasarkan pada pandangan Gajah Mada tentang penyatuan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit.

Bagi Gajah Mada, pernikahan ini bukan sekadar aliansi diplomatik, melainkan simbol dominasi Majapahit terhadap Sunda. Tuntutan ini sangat menghina Kerajaan Sunda, yang datang dengan niat baik untuk menjalin hubungan setara.

Tuntutan Gajah Mada menimbulkan kemarahan dan penghinaan di pihak Sunda. Maharaja Linggabuana, yang membawa putrinya dengan niat baik untuk pernikahan yang bermartabat, merasa terhina dengan tuntutan tersebut.

Dyah Pitaloka, sebagai putri kerajaan, juga merasa terhormat dan tidak menerima diperlakukan sebagai tanda penyerahan.

Maharaja Linggabuana menolak tuntutan Gajah Mada dan menegaskan bahwa mereka datang untuk pernikahan yang setara, bukan untuk menyerahkan putrinya sebagai tanda penyerahan.

Penolakan dari Maharaja Linggabuana menyebabkan ketegangan meningkat. Gajah Mada, yang merasa bahwa penolakan ini merendahkan kekuasaan Majapahit, memutuskan untuk mengambil tindakan militer.

Pasukan Majapahit diperintahkan untuk mengepung dan menyerang rombongan Sunda yang berada di alun-alun Bubat.

Pertempuran yang terjadi sangat sengit dan brutal. Rombongan Sunda, yang tidak mempersiapkan diri untuk perang, berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Mereka bertempur dengan gagah berani namun akhirnya kewalahan oleh pasukan Majapahit yang lebih terorganisir dan bersenjata lengkap.

Dalam pertempuran ini, Maharaja Linggabuana dan banyak bangsawan serta prajurit Sunda gugur. Dyah Pitaloka, menurut beberapa sumber sejarah, memilih untuk bunuh diri sebagai bentuk penghormatan terakhir dan penolakan terhadap penghinaan yang mereka terima.

Dampak Perang Bubat

Perang Bubat, yang terjadi pada tahun 1357, meninggalkan dampak yang sangat signifikan terhadap hubungan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda, serta mempengaruhi dinamika politik, sosial, dan budaya di Nusantara pada masa itu.

Perang Bubat memiliki dampak langsung yang sangat merugikan Kerajaan Sunda. Kematian Maharaja Linggabuana dan banyak bangsawan Sunda lainnya dalam pertempuran tersebut melemahkan struktur kekuasaan kerajaan. Kehilangan ini tidak hanya berdampak pada stabilitas politik tetapi juga pada moral rakyat Sunda.

Kematian Dyah Pitaloka, yang menurut beberapa sumber memilih untuk bunuh diri sebagai bentuk protes dan menjaga kehormatan, meninggalkan luka mendalam dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda.

Tragedi ini mengubah persepsi Sunda terhadap Majapahit dari mitra diplomatik menjadi musuh yang berbahaya.

Sementara, bagi Kerajaan Majapahit, meskipun mereka memenangkan pertempuran di Bubat, dampak yang dihasilkan tidak sepenuhnya positif. Mahapatih Gajah Mada, yang memainkan peran utama dalam memicu konflik ini, mendapat kritikan dari berbagai pihak, termasuk dari dalam kerajaan sendiri.

Tindakan agresifnya dianggap merusak reputasi Majapahit sebagai kekuatan diplomatik dan mengurangi kepercayaan dari kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Meskipun Hayam Wuruk tetap sebagai raja yang kuat, insiden ini menimbulkan ketegangan internal dan mengganggu stabilitas politik di Majapahit.

Perang Bubat mengubah dinamika hubungan antar kerajaan di Nusantara. Banyak kerajaan yang sebelumnya memiliki hubungan baik dengan Majapahit mulai waspada dan meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap kekuatan besar ini.

Kerajaan-kerajaan kecil merasa terancam oleh ambisi ekspansionis Majapahit dan mulai mencari aliansi baru untuk mempertahankan kedaulatan mereka. Dampak ini memperumit politik regional dan membuat proses penyatuan Nusantara di bawah satu kekuasaan menjadi lebih sulit.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.kompas.com
https://an-nur.ac.id

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment