Konflik Sampit: Sejarah, Penyebab, Kronologi, Dampak, dan Upaya Penyelesaiannya

Table of Contents

Sejarah Konflik Sampit
Sejarah Konflik Sampit

Konflik Sampit atau Perang Sampit atau Tragedi Sampit adalah sebuah peristiwa Kerusuhan antar-etnis yang terjadi di pulau Kalimantan pada tahun 2001. Bermula sejak 18 Februari 2001, Konflik ini berlangsung sepanjang tahun tersebut. Konflik ini pecah di kota Sampit, Kalimantan Tengah sebelum pada akhirnya meluas ke seluruh provinsi di Kalimantan, termasuk ibu kota Palangka Raya.
 
Konflik melibatkan dua etnis antara suku Dayak asli dan warga Imigran Madura. Ketika itu, para transmigran asal Madura telah membentuk 21 persen populasi Kalimantan Tengah. Akibatnya, Kalimantan Tengah merasa tidak puas karena terus merasa disaingi oleh Madura. Karena adanya permasalahan ekonomi ini, terjadi kerusuhan antara orang Madura dengan suku Dayak.

Peristiwa bermula dari wilayah Sampit yang kemudian berkembang ke daerah lain. Berdasarkan data Yayasan Denny JA dan LSI Community dalam buku Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi: Data, Teori, dan Solusi, jumlah korban tewas Konflik mencapai 469 orang, dan 108.000 orang diungsikan.

Faktor Penyebab Konflik Sampit

Adapun faktor penyebab Konflik Sampit dapat dibagi menjadi empat, yaitu faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
1. Faktor Sosial
Dalam kehidupan sosial, warga asli Dayak memiliki pandangan negatif terhadap orang Madura pendatang. Di antaranya banyak orang Madura menjadi preman di tempat umum, ada yang menjadi pencuri, jambret, dan pelaku kriminal lainnya. Selain itu, orang Madura pendatang dianggap suka menyerobot tanah milik warga lokal.

2. Faktor Budaya
Suku Madura datang dari Sampang yang tandus, miskin, dan desa nelayan. Mereka cenderung memiliki sikap keras dan menantang. Sementara orang Dayak tinggal di hutan sehingga menjadikannya harmoni dengan alam. Ini membuat sifat mereka suka mengalah. Dua latar belakang budaya berbeda ini membuat konflik lebih mudah terjadi.

3. Faktor Ekonomi
Meski warga pendatang, orang Madura mampu menguasai perekonomian Kota Sampit dan Kotawaringin Timur. Beberapa orang Madura sukses menjadi pengusaha besar, selain itu mereka menjadi pedagang besar, pedagang kecil, menguasai hotel/losmen, pangkalan ojek, menjadi buruh, preman, hingga tuan tanah.

Sementara penduduk lokal seperti Dayak, Melayu dan Banjar tidak bisa bersaing dengan warga pendatang Madura karena lebih suka bekerja keras, bekerja kelompok, dan tidak takut bersaing secara kasar.

4. Faktor Politik
Faktor politik mencakup banyak hal, termasuk agama hingga pemerintahan. Orang Madura yang sukses kemudian banyak membangun masjid dan pesantren. Setiap tahun, semakin banyak orang Madura yang pindah ke Sampit.

Penguasaan ekonomi juga memudahkan orang Madura menguasai pemerintahan. Profesi seperti guru, PNS, polisi, tentara, hingga anggota DPRD pun banyak diisi warga pendatang.

Kronologi Konflik Sampit

Bibit-bibit konflik sebenarnya sudah mulai tumbuh sejak lama, berawal ketika warga Madura banyak yang bermigrasi ke Kalimantan Tengah. Suku Madura berhasil menguasai berbagai bidang perekonomian. Di sisi lain suku Madura dianggap tidak menghormati masyarakat lokal, sehingga membuat bibit konflik.

Dalam Jurnal Sosiologi Volume IV, Edisi 1 Maret 2021, Kumpiady Widen dari Universitas Palangka Raya memaparkan ada sedikitnya 20 kasus kecil antara warga Dayak dan Madura sejak kepindahan Madura ke Kalimantan Tengah pada 1960-an.

Salah satunya adalah konflik di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat tahun 2009. Dalam sebuah pertunjukan orkes Melayu di Sanggau Ledo, terdapat dua pemuda dari Dayak dan Madura yang saling bersenggolan. Mereka berkelahi hingga pemuda Dayak tewas.

Kelompok Dayak pun berusaha membalas hingga memicu kerusuhan yang membuat kelompok Madura harus mundur. TNI-Polri bahkan harus mengungsikan masyarakat Madura.

Adapun puncak konflik yang terjadi pada Februari 2001 diawali dengan konflik bernuansa etnis pada Desember 2000. Saat itu terdapat tiga orang Madura dan satu orang Dayak bermain judi bersama di sebuah penambangan emas tradisional di Kereng Pangi.

Dari situ terjadi perkelahian yang berakhir dengan kematian orang Dayak. Selama sekitar satu bulan, isu yang berembus terus mengarah pada konflik etnis. Kerusuhan pun pecah di Jalan Padat Karya Sampit pada 18 Februari 2001.

Selama tiga hari, orang Madura dapat menguasai Sampit dan seakan berpesta atas kemenangan mereka. Bahkan mereka mengumumkan Sampit akan menjadi Sampang ke-2.

Puncak konflik berlangsung setelah Madura menobatkan Sampit menjadi Sampang ke-2. Hingga pada 20 Februari 2001, masyarakat Dayak dari berbagai daerah datang ke Sampit untuk membalas kekalahan mereka.

Warga Dayak membawa berbagai senjata tradisional seperti mandau, tombak, sumpit, hingga senjata api. Mereka pun berhasil merebut Sampit kembali.

Tak hanya senjata fisik, kerusuhan tersebut diyakini melibatkan ilmu gaib. Orang Madura yang konon kebal dari benda tajam atau peluru, tetap mati di tangan orang Dayak. Disebutkan suku Dayak mempraktikan ritual berburu kepala yang bernama Ngayau atau Kayau. Makanya saat itu ditemukan banyak mayat tanpa kepala.

Dampak Konflik Sampit

Dampak Konflik Sampit berimbas ke segala sektor. Dari sisi ekonomi, banyak toko, kantor, dan pasar yang terpaksa tutup karena peristiwa kerusuhan. Penjarahan juga terjadi sehingga merugikan para pengusaha.

Dari sisi materi, kerugian dirasakan masyarakat karena lebih dari seribu rumah dibakar, ratusan kendaraan rusak, hingga 469 orang tewas, dan ribuan orang luka-luka. 100 ribu lebih orang harus diungsikan.

Dari segi sosial, hubungan antaretnis, baik secara individu maupun kelompok tentu menjadi rusak. Kedua pihak pun perlu merehabilitasi mental atas peristiwa berdarah tersebut.

Namun seiring waktu, toleransi pun dapat terbina. Orang Madura semakin menghargai orang Dayak. Orang Dayak pun terbuka dan bisa bersaing dalam hal ekonomi dengan orang Madura.

Upaya Penyelesaian Konflik

Untuk mengatasi konflik Sampit, ada beberapa upaya yang telah dilakukan. Berikut penjelasannya.
1. Pemulihan Keamanan
Penguatan keamanan dapat menciptakan lingkungan yang lebih stabil dan aman, memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa pemerintah bertindak untuk melindungi mereka.

2. Evakuasi Warga
Evakuasi warga yang berada dalam kondisi risiko dapat membantu mengurangi potensi korban dan memberikan rasa perlindungan kepada masyarakat yang terdampak konflik.

3. Penangkapan Provokator
Menangkap para provokator yang terlibat dalam memicu atau memperburuk konflik dapat memotong mata rantai aksi kekerasan dan membantu dalam penegakan hukum.

4. Penyelidikan dan Keadilan
Penangkapan provokator dapat memungkinkan pemerintah untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut dan memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan diadili sesuai dengan hukum.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.detik.com
https://kumparan.com

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment