Insiden Hotel Yamato: Sejarah, Latar Belakang, Kronologi, dan Dampaknya

Table of Contents

Apa itu Insiden Hotel Yamato?

Insiden Hotel Yamato adalah peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) pada tanggal 19 September 1945 yang didahului oleh gagalnya perundingan antara Soedirman (residen Surabaya) dan Victor Willem Charles Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda.
 
Peristiwa tersebut terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan atau setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan di tahun 1945. Saat itu, Sekutu dan Belanda kembali datang ke Indonesia dan mendarat di Surabaya.

Insiden Hotel Yamato juga terkait dengan perang yang meletus di Surabaya pada 10 November 1945 yang dikenal sebagai Pertempuran Surabaya. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dikenal sebagai pertempuran paling menegangkan yang menunjukkan semangat patriotisme yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
 
Baca Juga: Pertempuran Surabaya: Sejarah, Penyebab, dan Kronologinya

Sekilas tentang Hotel Yamato

Hotel Yamato Surabaya atau Yamato Hoteru atau Oranje Hotel yang sekarang bernama Hotel Majapahit Surabaya terletak di jalan Tunjungan no. 65 Surabaya. Hotel Yamato telah berdiri sejak masa Hindia Belanda, tahun 1910 oleh Sarkies bersaudara yang berasal dari Armenia.

Pada masa itu mereka sudah terkenal sebagai perintis jaringan hotel di Asia Tenggara dan telah membangun sejumlah hotel di Malaysia, Singapura dan Myanmar. Hotel pertama kali beroperasi pada 1911 dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya orang – orang kaya.

Hotel ini pada masa penjajahan Belanda di Indonesia dikenal dengan nama Hotel Oranje. Nama Yamato digunakan sejak tentara Jepang mengusir Belanda dan menguasai Indonesia pada masa penjajahan Jepang di Indonesia.

Yamato mengacu kepada pemimpin pasukan Jepang yang tinggal di sana pada tahun 1942 – 1945 bersama sekitar 200 orang yang menjaga keamanannya termasuk polisi Kempetai Jepang.

Saat perang dunia II, hotel difungsikan juga sebagai markas komando Jepang di Jawa Timur. Setelah peristiwa Hotel Yamato , nama hotel diganti menjadi Hotel Merdeka. Setahun kemudian, pengelolaan hotel diambil alih kembali oleh Sarkies bersaudara dan namanya kembali diganti menjadi L.M.S Hotel (Lucas Martin Sarkies).

Pada tahun 1969, pemilik hotel berganti kepada Mantrust Holding Co dan namanya diganti menjadi Hotel Majapahit. Setelah diakuisisi oleh kelompok usaha perhotelan Mandarin Oriental pada 1996, nama hotel kembali berubah menjadi Mandarin Oriental Hotel Majapahit dan pemerintah menetapkan hotel sebagai cagar budaya pada tahun yang sama.

Kepemilikan hotel kembali beralih kepada grup CCM pada tahun 2006 dan hingga sekarang ini hotel masih berdiri dikenal dengan nama Hotel Majapahit.

Latar Belakang Insiden Hotel Yamato

Insiden Hotel Yamato terjadi akibat Belanda melakukan tindakan yang dinilai provokatif, yaitu mengibarkan bendera merah putih biru. Terjadinya peristiwa tersebut dipengaruhi karena gagalnya perundingan antara Soedirman sebagai residen Surabaya dan WVC Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda.

Massa yang berada di luar hotel mengetahui bahwa perundingan tidak berjalan baik sehingga mendobrak masuk ke dalam Hotel Yamato. Bahkan, sebagian pemuda naik ke atas hotel dan berusaha menurunkan bendera Belanda.

Mulanya, Hariyono yang bersama Soedirman kembali masuk ke hotel dan memanjat tiang bendera bersama Kusno Wibowo. Alhasil, bendera berhasil diturunkan. Mereka kemudian merobek bagian bendera yang berwarna biru dan kembali menaikkannya ke puncak tiang.

Kronologi Insiden Hotel Yamato

Setelah proklamasi kemerdekaan, informasi mengenai makna kemerdekaan gencar diinformasikan oleh pemerintah Indonesia. Bendera Merah Putih yang ditetapkan sebagai bendera nasional disosialisasikan ke seluruh wilayah.

Tangga 18 September 1945, Belanda dan Sekutu dari Allief Forces Netherlands East Indies (AFNEI) mendatangi Surabaya. Mereka ditempatkan di Hotel Yamato yang terletak di Jalan Tunjungan 65, Surabaya.

Sejak itulah Hotel Yamato menjadi markas Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Interness atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran.

Pada 19 September 1945 pukul 9 malam, beberapa orang Belanda di bawah kepemimpinan WVCh Ploegman mengibarkan bendera merah, putih, biru, yang merupakan bendera Belanda di bagian atas hotel.

Esok harinya, penduduk Surabaya melihat bendera tersebut sehingga murka. Mereka menganggap Belanda tidak menghargai usaha rakyat yang memproklamasikan kemerdekaan.

Dampak Insiden Hotel Yamato

Situasi di luar hotel semakin riuh. Massa yang datang semakin banyak hingga ratusan orang. Melihat Soedirman dan Hariyono berlari ke luar yang mengindikasikan bahwa perundingan tidak berjalan mulus, maka beberapa orang pemuda memutuskan naik ke atap hotel untuk menurunkan bendera Belanda.

Setelah lembaran kain triwarna dilepas dari tiangnya, para pemuda Surabaya itu ternyata lupa membawa bendera Indonesia sebagai penggantinya. Akhirnya, seorang pemuda merobek bagian bawah bendera Belanda yang berwarna biru sehingga kain itu tinggal menyisakan warna merah dan putih.

Kain itulah yang kemudian dinaikkan kembali di tiang yang sama. Meskipun compang-camping karena bekas sobekan, sang Merah-Putih akhirnya bisa berkibar di puncak Hotel Yamato. Pekik “merdeka” dari massa-pemuda yang mencermati dari bawah terdengar berulang kali mengiringi naiknya bendera berwarna merah dan putih hasil sobekan bendera Belanda.

Peristiwa penyobekan bendera di Hotel Yamato itu membuat Belanda marah. Dampaknya, rangkaian konflik pun terjadi sejak awal Oktober 1945 dan mencapai puncaknya tanggal 10 November 1945 atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Pertempuran Surabaya.

Pertempuran Surabaya menewaskan puluhan ribu orang dari kedua belah pihak. Peristiwa ini juga menjadi salah satu pertempuran terbesar setelah Indonesia merdeka. Oleh pemerintah Republik Indonesia, tanggal 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.

Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://kumparan.com/
https://tirto.id

Download
Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment