Protokol Kyoto: Pengertian, Sejarah, Tujuan, Hasil, Penolakan, dan Protokol Kyoto di Indonesia

Pengertian Protokol Kyoto
Protokol Kyoto
Pengertian Protokol Kyoto
Protokol Kyoto (Kyoto Protocol to the UNFCCC), adalah sebuah traktat internasional yang memperpanjang Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) untuk mengurangkan emisi gas rumah kaca. Protokol Kyoto berdasarkan konsensus ilmiah yang menyatakan bahwa pemanasan global disebabkan oleh emisi CO2 pada atmosfer Bumi.

Kesepakatan ini diadopsi pada 1997 di Kyoto, Jepang, ketika gas rumah kaca mengancam iklim, keberadaan planet, serta kehidupan di Bumi. Dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998, dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.

Persetujuan Paris, yang dibuat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015, adalah penerus Protokol Kyoto karena ia telah melewati tanggal kedaluwarsanya pada tahun 2020.

Protokol Kyoto dari Beberapa Sumber
1. Pusat Data dan Analisa Tempo dalam buku Protokol Kyoto, Panduan Dunia Menghindari Pencemaran Udara (2020), Protokol Kyoto merupakan penjabaran lebih lanjut dari berbagai pertemuan tingkat dunia yang membahas perubahan iklim.
2. Investopedia, Protokol Kyoto merupakan kesepakatan internasional di antara berbagai negara untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) serta keberadaan gas rumah kaca di atmosfer.

Sejarah Protokol Kyoto
Terdapat sejarah panjang sebelum Protokol Kyoto akhirnya diresmikan dan berkekuatan hukum. Ia melewati begitu banyak debat dan negosiasi alot, hingga akhirnya sampai pada perumusan protokol tersebut pada tahun 1997 dan mulai berlaku tahun 2005.

Semua berawal dari laporan pertama IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) pada tahun 1990 tentang ancaman nyata perubahan iklim terhadap umat manusia. PBB di tahun yang sama, membentuk sebuah badan untuk mengatasi masalah tersebut, yakni INC (Intergovernmental Negotiating Committee (INC).

Tugasnya adalah melakukan negosiasi terkait konvensi perubahan iklim. Melalui lima sesi pertemuan di rentang waktu antara Februari 1991-Mei 1992, INC menyelesaikan teks konvensi tentang penanganan perubahan iklim. Saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, UNFCCC mulai dibuka untuk penandatanganan.

Meski sudah ditandatangani sejak 1992, tetapi UNFCCC baru memiliki kekuatan hukum pada 21 Maret 1994 setelah 50 negara meratifikasi konvensi tersebut. Untuk menjalankan tugas utamanya dalam menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK), UNFCCC membentuk suatu badan otoritas tertinggi, yaitu COP (Conference of the Parties).

COP rutin mengadakan pertemuan setahun sekali, di mana dalam pertemuan tersebut para pihak bertugas memantau pelaksanaan konvensi, mengkaji pelaksanaan konvensi, memfasilitasi serta mempromosikan pertukaran informasi, membuat rekomendasi kepada para pihak, serta membentuk badan pendukung. Konferensi pertamanya diadakan di Berlin pada tahun 1995.

Dua tahun kemudian, pada konferensi COP 3 yang diadakan di Kyoto, Jepang, sebuah instrumen hukum akhirnya dirancang untuk memudahkan pengimplementasian Konvensi Perubahan Iklim dalam mengurangi emisi GRK. Rancangan itu kemudian disebut dengan Protokol Kyoto.

Sementara itu, Protokol Kyoto resmi berkekuatan hukum apabila diratifikasi oleh negara-negara industri dengan total emisi 55%. Masalahnya, Amerika Serikat yang menyumbang emisi terbesar hingga 36.1%, menolak untuk meratifikasi protokol Kyoto. Namun kemudian, tanpa AS pun, berkat ratifikasi dari Jepang Protokol Kyoto dapat bertahan. Barulah, pada 18 November 2004, Protokol Kyoto diresmikan oleh Rusia dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005.

Tujuan Protokol Kyoto
Tujuan dari Protokol Kyoto adalah mengurangi emisi gas rumah kaca, yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global. Dikutip dari situs Encyclopaedia Britannica, protokol ini menyerukan pengurangan emisi gas rumah kaca di 41 negara di dunia ditambah Uni Eropa, secara keseluruhan sebesar 5,2 persen dari tingkatnya pada 1990.

Menurut Ganewati Wuryandari, dkk dalam buku Politik Luar Neger Indonesia dan Isu Lingkungan Hidup (2015), pengurangan emisi GRK ini harus dicapai pada rentang waktu 2008 sampai 2012 atau yang disebut periode komitmen pertama. Jadi, tujuan Protokol Kyoto yang paling utama adalah mengurangi emisi gas karbon dioksida (CO2) serta gas rumah kaca.

Adapun pelaksanaan pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) dapat diterapkan melalui di antaranya,
1. Joint Implementation (JI)
Mekanisme ini memungkinkan negara-negara maju untuk melakukan proyek bersama yang dapat menghasilkan penyerapan emisi gas rumah kaca atau kredit penurunan.

2. Emission Trading (ET)
Mekanisme yang memungkinkan satu negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca mereka kepada negara maju lainnya. Hal ini dapat dilakukan ketika negara maju yang menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca memiliki kredit penurunan emisi yang melebihi target negaranya.

3. Clean Development Mechanism (CDM).
Sebuah mekanisme yang memungkinkan negara non-ANNEX I atau negara-negara berkembang untuk aktif dalam membantu penurunan emisi gas rumah kaca. Keaktifan tersebut dapat dilakuakn melalui proyek yang diimplementasikan oleh salah satu negara maju. Kredit penurunan emisi yang dihasilkan dari proyek ini dapat dimiliki oleh negara maju tersebut.

Mekanisme CDM ini bertujuan agar negara berkembang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan satu-satunya mekanisme yang memberikan jalan kepada negara berkembang untuk berpartisipasi dalam Protokol Kyoto.

Agar memiliki kekuatan hukum, Protokol Kyoto harus diratifikasi oleh sekurang-kurangnya 55 negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim. Kedua, jumlah emisi total dari negara-negara ANNEX I peratifikasi protokol minimal 55% dari total emisi mereka di tahun 1990.

Syarat pertama terpenuhi setelah pada tanggal 23 Mei 2002, Islandia menandatangani protokol tersebut. Kemudian disusul oleh Rusia yang meratifikasi Protokol Kyoto pada 18 November 2004. Bergabungnya Rusia menggenapi jumlah emisi total dari negara ANNEX I menjadi sebesar 61.79%, yang artinya semua syarat telah dipenuhi.

Pada 16 Februari 2005, atau 8 tahun setelah Protokol Kyoto lahir dan 90 hari setelah ratifikasi Rusia, Protokol Kyoto resmi memiliki kekuatan hukum yang mengikat para negara pesertanya.

Hasil Protokol Kyoto
Protokol Kyoto bisa disebut perangkat peraturan yang diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kepentingannya jelas untuk mengatur pengurangan emisi gas rumah kaca dari negara-negara yang meratifikasi.

Semua negara peserta Protokol Kyoto terikat secara hukum untuk mengurangi emisi karbondioksida, metana, nitrogen oksida, sulfur hexaflourida, senyawa hidro fluoro (HFC), dan perfluorokarbon (PFC). Ketentuannya, semua negara peserta harus mengurangi emisi tersebut mulai dari tahun 2008 sampai 2012 dengan berbagai metode.

Acuan dasar dari Protokol Kyoto ini adalah tahun 1990. Sehingga semua kesepakatan yang diambil pasti diperhitungkan dari masa tersebut. Termasuk kesepakatan bahwa seluruh negara ANNEX I wajib menurunkan emisi gas rumah kaca mereka rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi di tahun 1990.

Negara ANNEX I adalah negara-negara (baik negara maju maupun negara industri) yang telah mengonstribusikan emisi gas rumah kaca sejak tahun 1850-an, atau sejak masa revolusi industri. Negara ANNEX I berjumlah 40 negara di Amerika, Eropa, dan Australia.

Sedangkan untuk negara NON ANNEX I tidak diwajibkan melakukan penurunan emisi gas rumah kaca, tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisi tetap terdapat di dalamnya, atau disebut dengan tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda (common but differentiated responsbility).

Penolakan Terhadap Protokol Kyoto
Jika dilihat dari tujuannya, kesepakatan Kyoto memiliki tujuan yang luhur, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang diharapkan. Amerika Serikat, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang lain sempat bersatu untuk melawan kemungkinan adanya Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang.

Tetapi, awal Desember 2007, Australia bersedia meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pemimpin di negaranya. Protokol Kyoto menghadapi penolakan ratifikasi dari Amerika Serikat dan Kazakstan pada tahun 2007. Point penolakan Amerika Serikat adalah mengenai tingkat emisi yang ditoleransi untuk negara-negara berkembang.

Mereka khawatir Protokol Kyoto yang bersifat sangat mengikat ini akan berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui, pembangunan di negara-negara maju tidak dapat lepas dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.

Meski menolak ratifikasi, kedua negara tersebut pada akhirnya bersedia menandatangani Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang ikut meratifikasi Protokol Kyoto. Oleh sebab itu, aturan dalam Protokol Kyoto turut menjadi hukum positif di negara kita. Implikasi dari Protokol Kyoto di Indonesia tersebut mengakibatkan pelaksanaan pembangunan secara berkelanjutan dengan landasan wawasan lingkungan di seluruh daerah di Indonesia.

Akan tetapi ada pendapat lain, meski ikut meratifikasi namun Indonesia dinilai masih abai terhadap kesepakatan global tersebut. Fakta di lapangan membuktikan jika tingkat emisi di Indonesia sebagai negara berkembang cenderung tinggi. Selain itu, adanya berbagai konflik kepentingan sehingga menjadi penghambat kebijakan.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Protokol Kyoto: Pengertian, Sejarah, Tujuan, Hasil, Penolakan, dan Protokol Kyoto di Indonesia"