Teori Peran (Role Theory): Pengertian dan Beberapa Konsep Pentingnya

Pengertian Teori Peran atau Role Theory
Teori Peran (Role Theory)
Pengertian Teori Peran (Role Theory)
Teori peran (role theory) adalah perspektif sosiologi dan psikologi sosial yang beranggapan bahwa sebagian besar aktivitas sehari-hari melibatkan peranan dalam kategori-kategori sosial (misalnya ibu, manajer, guru). Teori ini berasumsi bahwa dalam pergaulan sosial terdapat skenario yang disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya.

Dalam setiap peran terdapat seperangkat hak, kewajiban, harapan, norma dan perilaku seseorang untuk menghadapi dan memenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang berperilaku dengan cara yang dapat diprediksi, dan bahwa perilaku individu sesuai konteks tertentu, berdasarkan posisi sosial dan faktor lainnya. Teater merupakan metafora sering digunakan untuk menggambarkan teori peran.

Konsep Teori Peran
Dalam skenario besar itu sudah “tertulis” seorang presiden harus bagaimana, seorang gubernur harus bagaimana, seorang guru harus bagaimana, murid harus bagaimana. Demikian juga sudah tertulis peran apa yang harus dilakukan oleh suami, istri, ayah, ibu, anak, mantu, mertua dan seterusnya.

Menurut teori ini, jika seseorang mematuhi skenario, maka hidupnya akan harmoni, tetapi jika menyalahi skenario, maka ia akan dicemooh oleh penonton dan ditegur sutradara. Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan Teori Peran.

Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Glen Elder (1975) seorang sosiolog, membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Misalnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun.

Di Indonesia berbeda, usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

Harapan Peran (Role Expectation)
Suatu rumah tangga, organisasi, bahkan masyarakat menjadi tidak harmonis atau kacau, menurut teori peran karena masing-masing pemilik suatu posisi tidak berperan sesuai dengan peran yang diharapkan (role expectation).

Selain harapan peran yang bersifat umum dari masyarakat atas, suatu posisi, bisa juga harapan datang dari sekelompok orang atau individu.

Selanjutnya, meskipun pada suatu posisi tertentu melekat harapan peran yang berlaku umum dan telah berlaku sejak lama, namun perwujudannya dalam perilaku nyata bisa berbeda bahkan bertentangan di antara para pemegang peran.

Misalnya, adalah kewajiban setiap ayah untuk mendidik atau membesarkan anak dengan baik, bisa jadi ayah tertentu mendidiknya dengan disiplin keras, ayah yang lain menerapkan cara yang lemah lembut, sedangkan ayah yang lain lagi memerankan posisinya dengan cara tidak memberi makan atau memukuli anaknya yang tidak disiplin.

Peran Ganda
Pada seseorang bisa melekat berbagai posisi misalnya peran ayah, suami, dosen, dokter. Masing-masing posisi ini menuntut peran yang berbeda-beda yang harus dipenuhi.

Berbagai peran yang melekat pada masing-masing posisi ini merupakan peran ganda (multiple roles) yang mengandung berbagai konsekuensi. Keuntungan individu dengan berbagai peran, terutama bila ia dengan mudah berganti peran, adalah mudah menyesuaikan diri di masyarakat.

Namun, apabila ia tidak mampu memenuhi tuntutan berbagai peran maka dua kemungkinan yang bisa terjadi, yakni ketegangan peran (role strain) atau konflik peran (role conflict).

Mengatasi ketegangan peran dapat dilakukan dengan cara menanggalkan satu atau dua posisi yang dianggap oleh individu yang bersangkutan tidak penting atau tidak mendatangkan manfaat, misalnya, melepaskan jabatan sekretaris perkumpulan olah raga tertentu.

Konflik peran terjadi manakala satu posisi menuntut dua peran pada waktu yang bersamaan (intrarole conflict). Misalnya, seorang mandor yang harus menyuarakan kebijakan manajemen di satu pihak dan membela kepentingan buruh yang bertentangan dengan kebijakan manajemen.

Selain konflik intraperan, bentuk konflik peran yang lain adalah konflik antarperan (interrole conflict). Seorang dosen yang mempunyai keponakan yang berstatus mahasiswa dan nilai ujiannya buruk pada mata kuliah yang diasuhnya, kemungkinan besar akan mengalami konflik antarperan.

Sebagai dosen, dirinya dituntut objektif dalam menilai ujian mahasiswa; namun sebagai paman yang sangat menyayangi keponakannya, ia tidak sampai hati untuk memberikan nilai rendah atas hasil ujian keponakannya.

Tokoh teori peran, Ralph Linton, mengemukakan pembagian peran atas dua jenis, yakni peran perolehan (ascribed roles) dan peran raihan (achieved roles).
1. Peran perolehan adalah peran bawaan yang melekat pada status individu tanpa suatu usaha tertentu, misalnya, laki-laki, wanita, pangeran atau putra mahkota dalam sistem kerajaan, dan suku bangsa tertentu.
2. Peran raihan adalah peran yang terkait dengan status yang diperoleh melalui usaha, misalnya, mahasiswa diperoleh seseorang melalui kelulusan ujian SMA dan ujian masuk ke perguruan tinggi. Demikian pula status dosen, manajer, menteri, dan presiden suatu negara.

Mengenai peran, perolehan dan raihan, yang bertentangan dalam cara mendapatkannya ini dalam kehidupan nyata kadang-kadang bisa kabur. Misalnya, apakah peran seorang anak miliarder kaya itu merupakan peran perolehan atau raihan.

Stres Peran
Posisi dimasyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, atau tuntutan posisi yang tidak mungkin dilaksanakan. Stres peran di antaranya terdiri dari:
1. Konflik peran, dialami jika peran yang diminta konflik dengan sistem individu atau dua peran yang konflik satu sama yang lain.
2. Peran yang tidak jelas, terjadi jika individu yang diberi peran yang tidak jelas dalam hal perilaku dan penampilan yang diharapkan.
3. Peran yang tidak sesuai, terjadi jika individu dalam proses transisi merubah nilai dan sikap. Misalnya, seseorang yang masuk dalam satu profesi, di mana terdapat konflik antara nilai individu dan profesi.
4. Peran berlebih, terjadi jika individu menerima banyak peran misalnya, sebagai istri, mahasiswa, perawat, ibu. Individu dituntut melakukan banyak hal tetapi tidak tersedia waktu untuk menyelesaikannya. (Keliat, 1992)

Kegagalan Peran
Dalam kaitannya dengan peran yang harus dilakukan, tidak semuanya mampu untuk menjalankan peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kegagalan dalam menjalankan perannya.
1. Role Conflict
Setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang bertentangan.

Menurut Hendropuspito [1989], konflik peran (role conflict) sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama.

Dengan kata lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus melanggar pola lain. Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal.

Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik inheren.

2. Role Strain
Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role strain. Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain adalah karena peran apa pun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda.

Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran.

Misalnya, status sebagai karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).

Penyesuaian Peran
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang harus dilakukan di antaranya,
1. Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran
2. Konsistensi respons orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan
3. Kesesuaian dan keseimbangan antar peran yang diemban
4. Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran
5. Pemisahan perilaku yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran

Proses Penyesuaian Peran
Menurut Horton dan Hunt (1993), seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut.

Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.

Ada beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan melindungi diri dari rasa bersalah di antaranya,
1. Rasionalisasi
Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima.

Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa “semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah “manusia” tetapi “benda milik.”

2. Pengkotakan (Compartmentalization)
Pengkotakan (Compartmentalization) yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu.

Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.

3. Ajudikasi (Adjudication)
Ajudikasi yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.

4. Kedirian (Self)
Kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat.

Sehingga secara tak langsung mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu. Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman.

Jarak peran diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya.

Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi. Penampilan “jarak peran” menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan.

Pada sisi lain, “penyatuan diri” dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari “jarak peran.” Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut. 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Teori Peran (Role Theory): Pengertian dan Beberapa Konsep Pentingnya"