Max Wertheimer: Biografi, Psikologi Gestalt, dan Teori Belajarnya

Biografi Max Wertheimer
Max Wertheimer
Biografi Max Wertheimer
Max Wertheimer (1880-1943) adalah seorang psikolog Austria-Hungaria dan termasuk salah satu pendiri mazhab psikologi Gestalt (bersama Kurt Koffka dan Wolfgang Kohler). Selain itu, Wertheimer juga dikenal karena idenya tentang berpikir produktif dan fenomena phi. Dua gagasan pokok tersebut menjadi fondasi bagi psikologi Gestalt.

Wertheimer lahir pada 15 April 1880 di Praha, Bohemia, Australia-Hungaria (sekarang berada di Republik Cheska). Ayahnya, Wilhelm Wertheimer, adalah seorang guru. Adapun ibunya yang bernama Rosa Zwicker memiliki latar belakang pendidikan klasik.

Keluarga Wertheimer dikenal sangat intelek. Mereka juga aktif dalam sebuah komunitas Yahudi di daerahnya. Sejak kecil, Wertheimer sudah sering diajak mendiskusikan masalah politik dan pendidikan oleh kedua orang tuanya.

Awalnya, Wertheimer menyukai musik sehingga ia mengambil les piano dan biola. Akan tetapi, setelah dihadiahi buku Baruch Spinoza oleh orang tuanya, ia tertarik dalam filsafat.

Wretheimer memulai pendidikan formal pada usia 5 tahun, di Piarist Grammer School, yakni sebuah sekolah dasar swasta milik Gereja Katolik Roma. Wertheimer lulus dari sekolah tersebut pada umur 10 tahun. Selanjutnya, ia melanjutkan studi di Royal Imperial New City German State High School.

Usai menyelesaikan pendidikan menengah, Wertheimer mengambil jurusan hukum di Universitas Charles. Meskipun begitu, ia juga tertarik pada bidang filsafat, musik, fisiologi, serta psikologi. Karena tidak puas hanya mengambil kuliah di jurusan hukum, setahun kemudian Wertheimer pindah ke jurusan filsafat Universitas Berlin.

Di tempat itu, Wertheimer bertemu dengan tokoh-tokoh terkemuka, seperti Carl Stumpf, Friedrich Schumann, Georg Elias Muller, serta Erich von Hornbostel. Setelah lulus dari Universitas Wurzburg. Pada tahun 1903, ia berhasil mendapatkan gelar Ph.D. dengan penelitian tentang detektor kebohongan.

Setelah lulus, Wertheimer mengajar di Universitas Frankfurt. Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam bukunya yang berjudul Investigation of Gestalt Theory. Hukum-hukum itu mencakup hukum kedekatan (law of proximity), hukum ketertutupan (law of closure), serta hukum kesamaan (law of equivalence).

Max meninggalkan Frankfurt pada tahun 1916 untuk bekerja di Berlin Psychological Institute. Namun, pada tahun 1929 ia kembali ke Frankfurt dan diangkat sebagai profesor penuh hingga tahun 1933.

Pada tahun 1923, ketika mengajar di Universitas Berlin ia menikah dengan Anna Caro, putri seorang dokter. Pasangan ini dikaruniai empat anak, yaitu Rudolf (Meninggal saat masih bayi), Valentin, Michael, Lise. Namun, Wertheimer harus bercerai dengan Anna pada tahun 1942.

Ketika Perang Dunia I meletus, Wertheimer menjadi tentara Jerman dengan jabatan kapten. Sekembalinya dari peperangan, ia mengajar dan menekuni penelitian tentang persepsi dan psikologi Gestalt di Universitas Berlin bersama Koffka dan Kohler hingga tahun 1933.

Namun, pada tahun 1933, posisi politik Adolf Hitler menguat di Jerman dan Wertheimer mengetahui kebencian Hitler terhadap orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, sebelum Hitler naik ke tampuk kekuasaan, keluarga Wertheimer bergabung dengan emigran Jerman lainnya untuk hijrah ke Amerika Serikat.

Emigrasi keluarga Wertheimer diatur oleh konsulat Amerika Serikat di Praha. Ia beserta istri dan anak-anaknya tiba di New York pada 13 September 1933. Wertheimer kemudian dinaturalisasi menjadi warga negara Amerika Serikat. Karena latar belakang itulah Wertheimer disebut sebagai psikolog Jerman-Amerika.

Karena perang dan eksodus besar-besaran para intelektual Jerman, karya kolaboratif dari tiga psikolog Gestalt terputus. Wertheimer dan Koffka ditugaskan untuk meneliti tema-tema yang berhubungan dengan perang, sementara Kohler ditunjuk sebagai direktur penelitian antropoid di Tenerife, Kepulauan Canary, Spanyol.

Ketiga orang tersebut bersatu kembali setelah Perang Dunia II berakhir. Mereka kemudian melanjutkan penelitian tentang eksperimen Gestalt.

Seiring dengan kepindahannya ke Amerika Serikat, Wertheimer yang ketika itu sudah berumur 53 tahun menerima posisi profesional di The New School for Social Research di New York. Ia menempati posisi tersebut hingga sepuluh tahun terakhir masa hidupnya.

Selama berada di New York, ia tetap berhubungan dengan rekan-rekannya di Eropa. Sebagian dari mereka juga memutuskan hijrah ke Amerika Serikat, di antaranya Koffka mengajar di Smith College, Kohler di Swarthmore College, serta Lewin di Cornell University dan University of Iowa.

Wertheimer terus bekerja hingga usia senja dan kesehatannya mulai menurun. Di masa-masa akhir hidupnya, ia masih sempat mengerjakan penelitian dengan tema berpikir produktif.

Wertheimer meninggal dunia akibat kelainan hati pada 12 Oktober 1943 di rumahnya di New Rochelle, New York. Jenazah Wertheimer dikebumikan di Pemakaman Beechwoods, New Rochelle.

Psikologi Gestalt
Istilah Gestalt dari bahasa Jerman yang dalam bahasa Inggris berarti form, shape, configuration, and whole. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti keseluruhan, esensi, totalitas, serta hakikat.

Aliran ini memandang hal yang utama bukanlah elemen, melainkan keseluruhan. Metode kerjanya ialah menganalisis unsur-unsur kejiwaan.

Kesadaran dan jiwa manusia tidak hanya perlu dianalisis elemen-elemennya, tetapi juga fungsi-fungsinya. Pada dasarnya, Gestalt menggabungkan strukturalisme dan fungsionalisme psikologi.

Gejala kejiwaan harus dipelajari sebagai suatu keseluruhan atau totalitas. Keseluruhan dalam hal ini lebih dari sekedar penjumlahan unsur-unsurnya. Keseluruhan itu lebih dahulu ditanggapi dari bagian-bagiannya yang terlebih dahulu harus memperoleh makna keseluruhan.

Artinya, makna Gestalt bergantung pada unsur-unsurnya. Sebaliknya, artinya unsur-unsur itu bergantung pula pada Gestalt.

Psikologi Gestalt memercayai apa pun yang terjadi pada seseorang akan memengaruhi segala sesuatu yang ada pada dirinya.

Sebagai contoh, seseorang yang lidahnya tergigit tanpa sengaja akan mengalami perubahan dalam menjalani kesehariannya. Sebagai contoh, ia tidak bisa menikmati makanan pedas karena terasa perih jika terkena lidahnya.

Psikologi Gestalt memandang keberadaan totalitas batiniah yang mengorganisasi dan memosisikan totalitas sebagai sesuatu yang utama. Adapun elemen-elemen kejiwaan merupakan sesuatu yang bersifat sekunder.

Lebih lanjut, gejala-gejala psikis khusus menurut Gestalt merupakan totalitas dari seluruh keadaan psikis yang menentukan bangkitnya tenaga batiniah di dalam psikis manusia.

Phi Phenomena
Pandangan pokok psikologi Gestalt berpusat pada hal-hal yang dipersepsi oleh indra. Hal-hal yang dipersepsi tersebut merupakan suatu kebulatan, kesatuan, serta totalitas.

Psikologi Gestalt semula memang muncul berkaitan dengan masalah persepsi, yaitu pengalaman Wertheimer di stasiun kereta api yang disebutnya phi phenomena. Dalam pengalaman tersebut, sinar stasiun yang tidak bergerak dipersepsi sebagai sinar bergerak.

Wertheimer menjelaskan bahwa yang sedang dilihat oleh seseorang merupakan efek dari keseluruhan peristiwa yang tidak terkandung di dalam total bagian-bagian itu. itulah inti dari sesuatu yang disebutnya phi phenomena.

Seseorang yang sedang melihat untaian pohon berjejer dari dalam bus akan tampak seperti mengalir. Hal itu berlaku sekalipun hanya melihat satu pohon saja pada satu waktu. Sebab, keseluruhan peristiwa mengandung hubungan-hubungan di antara masing-masing lampu yang dialami juga.

Wertheimer menarik kesimpulan bahwa dalam setiap proses persepsi, ada peran aktif preseptor. Hal ini berarti bahwa individu mempersepsi sesuatu tidak hanya bergantung pada stimulus objektif saja. Sebab, ada aktivitas individu yang menentukan hasil persepsinya.

Dalam bahasa teknis, hal tersebut dikenal dengan sebutan phi phenomena yaitu bergeraknya objek statis menjadi rangkaian gerak dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan memungkinkan manusia melakukan interpretasi.

Proses interpretasi dari sensasi objektif ini terjadi di otak. Oleh karena itu, interpretasi bukanlah suatu proses fisik, melainkan mental. Melalui kesimpulan tersebut, Wertheimer menentang pendapat Wilhelm Wundt.

Berawal dari masalah phi phenomena, data-data persepsi dalam psikologi Gestalt disebut fenomena (gejala). Dalam suatu fenomena terdapat dua unsur, yaitu objek dan arti. Objek merupakan sesuatu yang dipersepsi serta dapat dideskripsikan.

Setelah tertangkap oleh indra, objek tersebut menjadi suatu informasi. Pada saat itulah seseorang dapat memberikan arti pada objek tersebut. Menurut para ahli psikologi Gestalt, masalah persepsi ini dapat diterapkan dalam hal belajar.

Mereka mengatakan bahwa untuk memahami proses belajar, manusia perlu memahami hukum-hukum yang menguasai proses persepsi tersebut.

Prinsip Dasar
Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field. Setiap perceptual field memiliki organisasi yang cenderung dipersepsikan oleh manusia sebagai bentuk (figure) dan latar belakang (ground) realitas.

Kemampuan persepsi merupakan fungsi bawaan manusia, bukan skill yang dipelajari. Pengorganisasian ini memengaruhi makna yang dibentuk oleh pikiran terhadap realitas.

Adapun prinsip-prinsip pengorganisasian yang sekaligus menjadi konsep dasar psikologi Gestalt dijelaskan sebagai berikut.
1. Prinsip kedekatan (principle of proximity)
Unsur-unsur yang saling berdekatan—baik waktu maupun ruang—dalam bidang persepsi akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.

Contohnya, seseorang masuk ruangan kelas di mana meja-mejanya diatur menjadi tiga baris. Ia akan menemukan banyak meja, tetapi lebih mudah melihatnya dengan pengelompokan tersebut.

2. Prinsip kesamaan (principle of similarity)
Individu akan cenderung mempresepsikan stimulus yang sama sebagai suatu kesatuan. Kesamaan stimulus itu dapat berhubungan dengan bentuk, warna, ukuran, serta kecerahan.

Sebagai contoh, seseorang biasanya akan cenderung melihat lampu kota daripada pohon-pohon di pinggir jalan saat menaiki bus. Sebab, ia melihat adanya kemiripan atau kesamaan bentuk lampu dan ukuran jarak antara lampu satu dengan yang lainnya.

3. Prinsip sasaran penetapan (principle of objective set)
Prinsip ini didasarkan pada aturan mental yang sudah terbentuk sebelumnya. Contohnya, seseorang melihat awan di langit yang berbentuk mirip wajah Petruk. Ia akan mengasosiasikan bentuk awan tersebut dengan wajah Petruk yang pernah dilihatnya.

4. Prinsip kontinuitas (principle of continuity)
Kerja otak manusia secara alamiah adalah melakukan proses untuk melengkapi atau melanjutkan informasi, meskipun stimulus yang didapat tidak lengkap.

Misalnya, seseorang sedang membaca buku yang hurufnya terpotong-potong karena cetakan yang kurang jelas. Ia akan dapat membaca tulisan tersebut dengan memperkirakan huruf apa saja yang tercetak selanjutnya.

5. Prinsip ketertutupan (principle of closure)
Manusia akan cenderung melihat suatu objek dengan bentuk yang sempurna dan sederhana agar mudah diingat.

Contohnya, seseorang yang baru mempelajari teori materialisme, dialektika, dan logika. Agar lebih mudah diingat, ia menyingkatnya menjadi Madilog (materialisme-dialektika-logika).

6. Prinsip dan bentuk latar (principle of figure and ground)
Manusia menganggap bahwa setiap bidang persepsi dapat dibagi dua yaitu, figure (bentuk) serta ground (latar). Prinsip ini menggambarkan bahwa manusia—entah sengaja ataupun tidak—memilih dari serangkaian stimulus yang dianggapnya sebagai figure dan ground.

Bilamana figure dan ground ternyata sama maka akan terjadi kekaburan penafsiran. Contohnya, jika seseorang melihat kipas putih besar berlatar hitam maka yang menjadi figure adalah kipas tersebut sedangkan ground adalah latarnya berwarna hitam.

7. Prinsip isomorfisme (principle of isomorphism)
Prinsip ini menekankan adanya hubungan antara aktivitas otak dengan kesadaran. Prinsip ini juga bisa menunjukkan adanya hubungan struktural antara daerah-daerah otak yang teraktivasi dengan isi alam sadarnya.

Sebagai contoh, jika seseorang sadar bahwa dirinya sedang bersalah maka daerah-daerah otaknya berisi kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.

Hukum Dasar
Psikologi Gestalt memiliki satu kaidah pokok, yaitu hukum Pragnanz. Selain itu, terdapat pula empat kaidah tambahan (subsider) yang tunduk pada hukum Pragnanz, yaitu hukum keterdekatan, ketertutupan, kesamaan, serta kontinuitas.

Untuk lebih jelasnya perhatikan uraian berikut ini.
1. Hukum pragnanz (law of pragnanz)
Hukum ini menyatakan bahwa suatu keadaan yang seimbang (pragnanz) cenderung membentuk Gestalt (keseluruhan). Setiap hal yang dihadapi oleh individu mempunyai sifat dinamis, yaitu cenderung menuju keadaan seimbang tersebut.

Keadaan problematik adalah kondisi berlawanan dari hal-hal seperti teratur, sederhana, stabil, serta seimbang. Faktor inilah yang menyebabkan seseorang kerap merasakan keteraturan dari pola-pola yang sebenarnya acak.

Misalnya, saat seseorang melihat awan, ia dapat dengan mudah menemukan bentuk wajah seseorang. Hal inilah yang disebut pragnanz.

2. Hukum keterdekatan (law of proximity)
Hukum ini mengatakan bahwa hal-hal yang berdekatan cenderung membentuk Gestalt. Hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung dianggap sebagai totalitas.

Sebagai contoh, seseorang lebih melihat bentuk barisan meja daripada satu meja secara terpisah. Hal ini seperti pada contoh prinsip kedekatan.

3. Prinsip ketertutupan (law of closure)
Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung membentuk Gestalt. Hal-hal yang cenderung tertutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri.

Contohnya, deretan meja ke arah samping terdiri dari tiga baris dan ke belakang dua baris. Namun seseorang biasanya lebih senang mempersepsikan sebagai bentuk persegi panjang.

4. Hukum kesamaan (law of similarity)
Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal yang sama cenderung membentuk Gestalt. Hal-hal yang mirip satu sama lain cenderung dipersepsikan sebagai suatu kelompok atau totalitas.

Perhatikan contoh berikut.
o o o o o o o o o o o o
x x x x x x x x x x x x
o o o o o o o o o o o o

Deretan bentuk tersebut akan cenderung dilihat secara mendatar dengan bentuk o dan x berselang-seling, bukan sebagai deretan-deretan tegak.

5. Hukum kontinuitas (law of continuity)
Seseorang akan cenderung mengasumsikan pola kontinuitas pada objek-objek yang ada. Contohnya adalah bentuk ›‹. Pada bentuk tersebut, seseorang akan cenderung mempersepsikan gambar sebagai dua garis lurus berpotongan, bukan dua garis menyudut yang saling membelakangi.

Teori Belajar
Kelima hukum Gestalt yang telah dibahas dapat diterapkan ke dalam proses pembelajaran. Selain hukum-hukum tersebut, seseorang dikatakan belajar jika mendapatkan beberapa hal berikut. Pertama, insight (wawasan), yaitu pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan.

Insight diperoleh bilamana seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi khusus. Dengan adanya insight akan diperoleh pemecahan masalah yang dapat dimengerti. Inilah inti belajar menurut aliran Gestalt.

Jadi, hal yang penting bukanlah mengulang-ulang sesuatu yang harus dipelajari, melainkan memahaminya hingga mendapatkan insight. Adapun timbulnya insight sangat ditentukan (dipengaruhi) oleh beberapa hal berikut ini.
1. Kesanggupan. Maksud kesanggupan ialah kemampuan inteligensi individu.
2. Pengalaman. Dengan belajar, seseorang pasti akan mendapatkan pengalaman. Dalam hal ini pengalaman akan mempermudah munculnya insight.
3. Taraf kompleksitas dari suatu situasi. Semakin kompleks situasi berarti masalah yang dihadapi kian pelik (sulit dipecahkan)
4. Latihan. Banyaknya latihan akan dapat meningkatkan kesanggupan untuk memperoleh insight dalam situasi-situasi bersamaan yang telah dilatih.
5. Trial and error. Seseorang mungkin sering tidak mampu memecahkan suatu masalah. Namun, setelah mengadakan percobaan-percobaan, ia dapat menemukan hubungan berbagai unsur dalam problem tersebut sehingga pada akhirnya menemukan insight.

Kedua, pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan insight di dalam proses pembelajaran. Semakin jelas makna hubungan suatu unsur, maka sesuatu yang dipelajari akan kian efektif.

Ketiga, perilaku orang yang belajar harus memiliki tujuan (purposive behavior). Perilaku seorang pembelajar harus senantiasa mengarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai.

Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran serta membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.

Keempat, ruang hidup (life space). Perilaku individu harus memiliki keterkaitan dengan lingkungan tepat ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan hidup peserta didik.

Kelima, transfer. Proses pembelajaran harus dapat memindahkan (mentransfer) pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke kondisi lain.

Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian objek dari suatu konfigurasi situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam konfigurasi lain dalam tata susunan yang tepat.

Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah pada situasi lain.

Teori Gestalt menekankan pada proses-proses intelektual kompleks seperti bahasa, pikiran, pemahaman, serta pemecahan masalah sebagai aspek utama dalam proses belajar.

Dalam hal ini, belajar terjadi karena kemampuan menangkap makna dan keterhubungan antarkomponen yang ada di lingkungannya. Teori belajar Gestalt ini berlaku untuk semua aspek pembelajar manusia, meskipun paling kuat memengaruhi persepsi dan pemecahan masalah.

Berpikir Produktif
Berpikir produktif adalah pemahaman tentang hakikat dari suatu maslah. Pikiran ini harus berasal dari dalam individu dan tidak boleh dipaksakan oleh orang lain. Berpikir produktif mudah digeneralisasikan dan diingat dalam jangka waktu yang lama.

Ada dua pendekatan dalam berpikir produktif menurut Wertheimer.
Pertama, menekankan pada pentingnya logika—baik induktif maupun deduktif—dalam menetapkan kaidah yang harus diikuti untuk mencapai suatu kesimpulan. Upaya mendapatkan pemahaman ini akan melibatkan banyak aspek dari diri si pembelajar, seperti emosi, sikap, depresi, serta kecerdasan.

Kedua, menekankan pada cara yang didasarkan atas doktrin asosiasionisme. Contohnya, seorang murid pada awalnya diperkenalkan persegi panjang. Ia lalu diajari menghitung luas persegi panjang. Setelah itu, ia dihadapkan pada jajaran genjang dan diminta menghitung luas bangun tersebut.

Murid yang tadinya diajari menghitung persegi panjang menarik garis lurus sehingga membentuk segitiga. Kemudian segitiga itu dipotong dan digabungkan ke sisi sebelahnya sehingga menjadi persegi. Ia pun mulai menghitung luasnya.

Murid yang melakukan hal ini akan mampu memecahkan berbagai problem dibandingkan siswa lain yang tidak memiliki wawasan semacam itu.

Wertheimer menekankan poin yang sama yakni, belajar berdasarkan pemahaman akan lebih dalam dan dapat digeneralisasikan daripada aktivitas serupa yang hanya didasari ingatan tanpa pemahaman.

Agar benar-benar belajar, seseorang harus melihat hakikat atau struktur dari problem serta melakukannya sendiri.

Perhatikan contoh berikut. seorang anak baru saja belajar tentang tokoh bernama Scheuneun. Anak yang mengetahui bahwa konsonan sch dan vokal eu yang dibaca oi itu identik dengan bahasa Jerman.

Maka, anak itu akan mengetahui atau mengingat dengan baik tokoh tersebut serta dari mana ia berasal. Inilah yang disebut dengan berpikir produktif.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Max Wertheimer: Biografi, Psikologi Gestalt, dan Teori Belajarnya"