Psikologi Eksistensial: Pengertian, Konsep Dasar, Prinsip, dan Konsep Kepribadiannya

Table of Contents
Pengertian Psikologi Eksistensial
Psikologi Eksistensial

Pengertian Psikologi Eksistensial

Psikologi eksistensial yaitu kajian ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai usaha perilaku manusia untuk memahami manusia dengan mengatasi jurang pemisah antara subjek dan objek. Kajian ini menekankan posisi individu sebagai sesuatu yang ada di dunia ini sebagai diri atau sebagai subjek yang berhubungan dengan dunia luar, bukan merupakan benda atau objek yang berinteraksi dengan benda lain untuk membentuk dunia.

Psikologi eksistensial menekankan pada berbagai implikasi falsafah hidup dalam menghayati kehidupan di dunia ini dan berfokus pada situasi kehidupan manusia di alam semesta yakni mengenai kesadaran diri, mengenai kebebasan untuk menentukan hidup dan nasibnya sendiri, tanggung jawab pribadi pada orang di sekitarnya, kecemasan yang ada dalam batin, usaha menemukan makna kehidupan, komunikasi dengan manusia lain, kematian yang pasti terjadi, serta kecenderungan untuk berkembang sebaik mungkin.

Tokoh dari psikologi eksistensial ini seorang filsuf Denmark Soren Kierkegaard. Di antara tokoh modern, seperti Berdyaev, Buber, Heidegger, Jaspers, Kafka, Marcel, Merleau-Ponty, dan Tillich telah pula dimasukkan ke dalam barisan gerakan eksistensialis.

Ide pokok dalam ontologi Heidegger (ontologi adalah cabang filsafat yang berbicara tentang ada atau eksistensi), ialah bahwa individu adalah sesuatu yang ada di dunia. Ia tidak ada sebagai diri atau sebagai subjek yang berhubungan dengan dunia luar, seorang pribadi juga bukan merupakan, benda, atau objek atau badan yang berinteraksi dengan benda lain yang membentuk dunia.

Heidegger merupakan seorang fenomenolog yang memainkan peranan sangat penting dalam sejarah psikologi. Fenomenologi sebagaimana terdapat dalam karya para psikolog, Gestalt dan Erwin Straus, pertama telah dipakai untuk meneliti gejala dari proses psikologis seperti persepsi, belajar, ingatan, pikiran, dan perasaan, tetapi tidak digunakan untuk meneliti kepribadian.

Sebaliknya, psikologi eksistensial telah menggunakan fenomenologi untuk menjelaskan gejala yang kerap kali dipandang sebagai wilayah bidang kepribadian. Psikologi eksistensial dapat dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan empiris tentang eksistensi manusia yang menggunakan metode analisis fenomenologis.

Rollow May adalah salah seorang tokoh eksistensialisme Amerika yang paling bersemangat yang bab pengantarnya dalam Existence, disamping bukunya sendiri, Existential psychology, merupakan sumber informasi utama tentang eksistensialisme bagi para psikolog Amerika. Adrian Van Kaam, profesor psikologi Univ Duquesne adalah seorang penulis yang sangat produktif dalam bidang fenomenologi dan eksistensialisme.

Konsep Dasar Psikologi Eksistensial

Konsep-konsep dasar dalam suatu eksistensialisme di antaranya,
1. Mengda-dalam-Dunia (Being in the-World)
Kesatuan dasar pribadi dan lingkungan ini di  ungkapkan dengan istilah bahasa Jerman Dasein, yang dapat arti harfiahnya hadir di sana. Kalau begitu Dasein dapat diartikan eksis di dunia dan umumnya ditulis dalam frasa mengada dalam-dunia (being in the world).Tanda garis hubung dalam istilah ini menunjukkan kemenyatuan subjek dan objek, pribadi dan dunia.

Perasaan terisolasi dan keterasingan-diri dari dunia diderita tidak hanya oleh individu yang terganggu secara patologis, tetapi juga oleh banyak individu di masyarakat wilayah  modern. Alienasi adalah penyakit zaman yang termanifestasikan dalam tiga aspek yaitu, (1) keterpisahan dari alam, (2) kekurangan hubungan antarpribadi yang bermakna, dan (3) ketersaingan dari diri yang autentik.

Kalau begitu, manusia sebenarnya mengalami tiga mode mengada-dalam-dunia sekaligus, yaitu: Umwelt atau lingkungan di sekitar kita, Minwelt atau hubungan kita dengan orang lain, dan Eigenwelt atau hubungan kita dengan diri sendiri.

Oleh karena itu pribadi yang sehat hidup dalam Umwelt, Mitwelt, dan Eigenwelt sekaligus. Mereka beradaptasi dengan dunia alamiah, berhubungan dengan orang lain sebagai manusia dan memiliki kesadaran mendalam tentang apakah makna semua pengalaman ini bagi dirinya. (May, 1958a).

2. Ketidak mengadaan (Nonbeing)
Mengada-dalam-dunia mensyaratkan kesadaran diri sebagai makhluk yang hidup dan eksis. Namun kesadaran ini pada gilirannya juga  dapat  membawa  manusia pada kesadaran akan sesuatu yang menakutkan: yaitu ketidakmengadaan (non-beig) atau ketiadaan (nothingness). May (1958,hlm.47-48).

Kematian bukan  hanya jalan bagi ketidak mengadaan namun  juga jalan yang paling jelas. Hidup Menjadi lebih vital,  lebih bermakna saat kita mengonfrontasikan kemungkinan dari kematian kita. Rasa takut pada kematian atau  ketidak mengadaan sering kali mendorong kita untuk hidup secara defensif dan menerima sedikit dari kehidupan ketimbang jika kita mengonfrontasikan diri dengan masalah ketidak mengadaan kita.

Kita mungkin berusaha menghindari ketidak mengadaan yang sangat menakutkan dengan memadamkan kesadaran diri dan dengan menyangkali individualitas kita namun, pilihan-pilihan seperti itu hanya akan menyisakan rasa putus asa dan kehampaan. Kalau begitu, kita sering  melarikan diri dan ketakutan akan ketidakmengadaan dengan mengorbankan ekstensi kita yang terbatas.

Altematif  yang lebih sehat adalah menghadapi ketakterelakkannya kematian dan yang menyadari bahwa ketidakmengadaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kemengadaan.

Prinsip Eksistensi dalam Psikologi

Psikologi eksistensial tidak mengonsepsikan perilaku sebagai akibat dari perangsangan dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Seorang individu bukanlah mangsa lingkungan dan juga bukanlah makhluk yang terdiri dari insting-insting, kebutuhan-kebutuhan, dan dorongan-dorongan.

Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, dan hanya ia sendiri yang bertanggungjawab terhadap eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan fisiknya apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukannya adalah pilihannya sendiri. Orang sendirilah yang menentukan akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya.

Psikologi eksistensial ini menjabarkan psikologi yang dilandaskan pada fakta primordial dari dunia pribadi yang bermakna yang menjadi sasaran dari segenap aktivitas. Salah satu dalil dasar yang mendasari psikologi eksistensial adalah setiap manusia unik dalam kehidupan batinnya, dalam memersepsi dan mengevaluasi dunia, dan dalam bereaksi terhadap dunia.

Perhatiannya adalah pada kesadaran, perasaan-perasaan, suasana-suasana perasaan, dan pengalaman-pengalaman pribadi individual yang berkaitan dengan keberadaan individualnya dalam dunia dan di antara sesamanya. Intinya dari perspektif ini adalah melihat manusia secara keseluruhan sebagai subjek.

Sebagaimana tercermin dalam tulisan Binswanger dan Boss, psikologi eksistensial bertentangan dengan pemakaian konsep kausalitas yang berasal dari ilmu-ilmu pengetahuan alam dalam psikologi. Tidak ada hubungan sebab akibat dalam eksistensial manusia, hanya ada rangkaian urutan tingkah laku tetapi tidak bisa menurunkan kausalitas dari rangkaian tersebut.

Sesuatu yang terjadi pada seorang anak-anak bukan penyebab dari tingkah lakunya kemudian sebagai seorang dewasa. Peristiwa yang terjadi mungkin memiliki makna eksistensi yang sama akan tetapi tidak berarti peristiwa A menyebabkan peristiwa B. Psikologi eksistensial mengganti konsep kausalitas dengan konsep motivasi.

Untuk menjelaskan perbedaan antara sebab dan motif, Boss mencontohkan dengan jendela yang tertutup oleh angin dan manusia. Angin menyebabkan jendela tertutup, tetapi manusia termotif untuk menutup jendela karena ia tahu bahwa jika jendela terbuka maka air hujan akan masuk.

Karena prinsip kausalitas kurang relevan dengan tingkah laku manusia dan sebaliknya motivasi dan pemahaman merupakan prinsip-prinsip operatif dalam analisis eksistensial tingkah laku. (Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner, 1993)

Konsep Kepribadian Psikologi Eksistensial

Konsep Kepribadian Psikologi Eksistensial Rollow May terdiri dari tiga bagian di antaranya,
1. Umwelt (Lingkungan sekitar)
Adalah dunia objek dan benda, dan akan tetap eksis sekalipun manusia tidak menyadarinya. Maksudnya adalah dunia alamiah dengan hukum-hukum alamiahnya, mencakup di dalamnya dorongan-dorongan biologis seperti rasa lapar dan mengantuk dan fenomena alamiah seperti lahir dan mati.

2. Minwelt (Hubungan dengan orang lain)
Kita hidup di dunia bersama manusia yaitu Mitwelt. Maksudnya kita sebagai manusia yang bersosial hendaknya  harus berhubungan dengan orang lain sebagai manusia, bukan sebagai benda. Jika kita memperlakukan orang lain sebagai objek, maka kita akan hidup hanya dalam Umwelt. Namun demikian, tidak setiap hubungan Mitwelt mensyaratkan cinta.

3. Eigenwelt (Hubungan dengan diri sendiri)
Ini adalah sebuah dunia yang jarang di eksplorasi para teoretisi kepribadian. Hidup dalam Eigenwelt berarti menjadi sadar akan dirinya sebagai makhluk manusia dan memeluk siapa diri kita saat berhubungan dengan dunia benda dan dunia manusia.

Selain konsep dasar mengada dalam dunia dan ketidakmengadaan. May juga menambahkan bahwa;
1. Untuk memahami manusia kita harus dapat memahami dan mengamati, menempatkan manusia bagian dari alam itu sendiri, dan tidak mereduksi individu tersebut.
2. Untuk memahami manusia tersebut kita harus dapat memahami dan mengamati, maksud dari pernyataan tersebut yaitu sebagai manusia yang bersosial, apabila ingin memahami orang lain maka kita harus dapat memahami perasaan hatinya secara personal serta mengamati tingkah laku dan kehidupan sekitarnya.
3. Menempatkan manusia bagian dari alam itu sendiri, maksudnya kita sebagai calon koselor harus dapat meyakinkan orang lain agar dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitar supaya dapat saling berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya, serta meyakinkan bahwa manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan.
4. Tidak mereduksi individu atau tidak merendahkan, maksudnya kita meyakinkan kepada orang lain agar tidak merendahkan kemampuan dirinya sendiri supaya orang tersebut tidak terjerumus dengan perasaan minder.

Menurut Rollo May, ada tiga ciri masalah utama manusia modern di antaranya,
1. Kekosongan
Kekosongan adalah kondisi individu yang tidak lagi mengetahui apa yang diinginkannya, dan tidak lagi memiliki kekuasaan terhadap apa yang terjadi dan dialaminya. Kekosongan telah mengarahkan individu-individu menjadi outer directed yakni mengarahkan diri pada orang lain dalam rangka mencari pegangan dan petunjuk untuk menentukan hidup.

Ciri pertama kekosongan adalah bisa merespons tapi tidak bisa memilih sendiri respons apa yang paling baik bagi masalah-masalahnya. Ciri kedua adalah pasivitas terhadap lingkungan sosial. Ciri ketiga adalah apatis terhadap dunia sekitar, atau tidak peduli.

2. Kesepian
Kesepian dialami individu-individu dalam masyarakat sebagai akibat langsung dari kekosongan, keterasingan dari diri sendiri dan sesama. Individu dalam masyarakat modern mengalami ketakutan akan kesepian.

Mereka memiliki hasrat yang kuat untuk diterima orang lain, dan memiliki ketakutan yang dalam akan ditolak. Kegiatan menciptakan kebersamaan dengan orang-orang dilandasi oleh ketakutan diisolasi oleh orang lain bukan untuk menciptakan hubungan yang akrab dan hangat.

3. Kecemasan
Ketidakmenentuan yang semakin besar dari hari ke hari, tidak bisa tidak telah meningkatkan kecemasan individu dalam masyarakat modern. Kecemasan timbul karena perubahan traumatik yang dialami sebelumnya, yakni hilangnya nilai-nilai persaingan individu yang ditujukan kepada kesejahteraan bersama yang digantikan oleh persaingan antar individu yang eksploitatif.

Hilangnya penghargaan atas keutuhan pribadi yang digantikan oleh pembagian pribadi menjadi rasionalitas dan emosionalitas (berpikir dianggap baik, mengalami emosi dianggap buruk), hilangnya rasa berharga, rasa bermartabat, dan rasa diri dari individu-individu. Individu yang cemas bingung siapa dirinya dan apa yang harus diperbuatnya.

Perjuangan individu untuk bekerja lewat pengalaman-pengalaman hidup untuk tumbuh menuju manusia yang lebih seutuhnya berkaitan tentang konsep May di antara,
1. Kecemasan
Manusia mengalami kecemasan ketika mereka sadar bahwa eksistensi mereka atau beberapa nilai yang diidentifikasikan oleh dirinya bisa saja hancur. May mengidentifikasikan kecemasan sebagai kondisi subjektif individu yang semakin menyadari bahwa eksistensinya tidak bisa dihancurkan tetapi juga bahwa dia bisa saja jadi tidak-mengada. Kecemasan juga bisa bersifat normal maupun neurotik.

Kecemasan normal diidentifikasikan sebagai sesuatu yang proporsional bagi ancaman, tidak melibatkan represi, dan bisa ditentang secara konstruktif di tingkatan sadar. Kecemasan neurotik diidentifikasikan sebagai reaksi tidak proporsional terhadap ancaman, melibatkan represi, dan bentuk-bentuk konflik intrapsikis lainnya, dan diatur oleh beragam jenis pemblokiran aktivitas dan kesadaran.

2. Rasa Bersalah
Rasa bersalah muncul ketika manusia menyangkal potensinya gagal memahami secara akurat kebutuhan sesamanya atau masih tetap bersikukuh dengan ketergantungan mereka kepada dunia alamiah. Di titik ini rasa bersalah lebih bersifat ontologis artinya mengacu kepada hakikat kemengadaan jadi bukan sekedar perasaan-perasaan yang muncul dari situasi pelanggaran tertentu.

Rasa bersalah ontologis memiliki efek positif maupun negatif terhadap kepribadian. Rasa bersalah bisa untuk mengembangkan kerendahan hati yang sehat, membenahi dengan orang lain, menggunakan secara kreatif potensi-potensi kita. Namun bila kita menolak untuk menerima rasa bersalah ontologis maka penolakan tersebut akan segera menjadi kecemasan atau kesedihan.

3. Intensionalitas
Struktur yang memberikan makna bagi pengalaman dan mengizinkan manusia untuk melakukan pilihan terhadap masa depan disebut intensionalitas. Tanpa intensionalitas manusia tidak bisa memilih atau bertindak berdasarkan pilihan tersebut.

Tindakan mensyaratkan intensionalitas sama seperti intensionalitas mensyaratkan tindakan, keduanya tidak terpisahkan. May menggunakan istilah intensonalitas sebagai struktur makna yang memungkinkan kita sebagai subjek melihat dan memahami dunia luar sebagai sesuatu yang objektif.

Untuk mengilustrasikannya dengan menggunakan contoh yang sederhana yaitu seorang laki-laki yang duduk di depan mejanya mengamati secarik kertas. Sehingga laki-laki itu bisa menulis di atas kertas tersebut, melipat-lipat kertas tersebut, juga bisa menggambar sesuatu di atas kertas tersebut. Dari ketiga contoh tersebut si laki-laki bergantung kepada intensi-intensinya dan kepada makna yang diberikan terhadap pengalamannya itu.

4. Perhatian, Cinta, dan Kehendak
Perhatian kepada seseorang berarti menyadari orang itu sebagai sesama manusia, mengidentifikasikan diri dengan rasa sakit atau gembira kepada orang tersebut, rasa bersalah atau rasa penyesalan. Perhatian adalah kondisi di mana sesuatu menjadi sangat penting.

May mendefinisikan cinta sebagai kesenangan terhadap kehadiran orang lain dan penegasan terhadap nilai dan perkembangan mereka sama seperti dirinya sendiri. Tanpa perhatian cinta pun tidak akan ada selain hanya perasaan sentimentil kosong atau nafsu seksual tak terkendali. May mengidentifikasi terdapat empat jenis cinta yaitu seks , eros, filia, agape.

5. Kebebasan dan Takdir
Kebebasan adalah kemungkinan bagi pengubahan, meskipun kita tidak bisa mengetahui kemana perubahan itu berjalan. Kebebasan mensyaratkan “kemampuan melabuhkan semua kemungkinan yang berbeda dalam jiwa manusia meskipun tidak begitu jelas di momentum seseorang harus bertindak”. May mengakui dua bentuk kebebasan yang pertama kebebasan eksistensial, yang kedua kebebasan esensial.

Takdir bukan berarti sesuatu yang sudah diatur atau ditetapkan. Takdir adalah destinasi manusia, terminus, dan tujuan. Dalam batasan-batasan takdir kita memiliki kekuatan untuk memilih, dan kekuatan ini mengizinkan kita untuk mengonfrontasikan dan menentang takdir tersebut. Kita tidak bisa menghapus takdir, “namun kita dapat memilih bagaimana cara kita merespons bagaimana kita akan hidup dari talenta-talenta dalam diri sendiri yang tidak menentang kita”.

Jadi, kebebasan dan takdir itu saling melahirkan satu sama lain. Saat menentang takdir, kita memperoleh kebebasan, dan saat memperoleh kebebasan, kita dapat mendorong batasan-batasan dalam takdir.

6. Psikopatologi
May melihat psikopatologi sebagai kurangnya komunikasi-ketidakmampuan untuk mengetahui orang lain dan berbagi diri dengan mereka. Individu-individu yang terganggu secara psikologis menyangkali takdir mereka, karena itu kehilangan kebebasannya. Mereka menghasilkan beragam simton neurotik, tidak meraih kembali kebebasan mereka, malah semakin menenggelamkannya.

Simton-simton semakin menyempitkan dunia fenomenologis pribadi sampai ukuran yang bisa diatasi dengan mudah. Pribadi yang kompulsif mengadopsi sebuah rutinitas yang rigid, karenanya menjadikan pilihan baru tidak lagi diperlukan.

Sintom-simtom bisa saja temporer seperti ketika stres mengakibatkan sakit kepala atau mereka bisa relatif permanen seperti ketika pengalaman masih kanak-kanak awal menghasilkan apati dan kekosongan.

7. Psikoterapi
May yakin bahwa tujuan psikoterapi adalah membuat manusia bebas. Dia berpendapat bahwa terapis yang berkonsentrasi kepada simtom-simtom pasien akan kehilangan gambar yang lebih penting. Simtom-simtom neurosis hanyalah cara melarikan diri dari kebebasan dan indikasi bahwa potensi batiniah pasien tidak digunakan.

Ketika pasien menjadi lebih bebas dan lebih manusiawi, simtom-simtom neurosis mereka biasanya akan hilang dengan sendirinya, kecemasan mereka yang neurotik akan menjadi kecemasan yang normal, dan rasa bersalah neurotik akan diganti dengan rasa bersalah yang normal.

Namun keberhasilan seperti ini hanya sekunder saja dan tidak menjadi tujuan utama terapi. May mengatakan bahwa psikoterapi mestinya lebih difokuskan  membantu manusia untuk eksis (mengada), sedangkan simtom-simtom yang menghilang itu hanyalah efek samping dari pengalaman tersebut.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment