Hustle Culture: Pengertian, Penyebab, Dampak, dan Cara Keluarnya

Table of Contents
Pengertian Hustle Culture
Hustle Culture

Pengertian Hustle Culture

Hustle culture adalah tuntutan untuk bekerja lebih banyak dan lebih sibuk dari yang lain. Seseorang  merasa perlu untuk terus bekerja keras dan beristirahat hanya sebentar sehingga mereka dapat menganggap dirinya sukses. Berapa orang menurut gaya hidup ini sebagai workaholic.

Kebutuhan hidup yang tinggi, budaya kerja yang mulai bergeser dari kebutuhan hingga jadi kebiasaan membawa hal baru yang kemudian dikenal dengan istilah hustle culture. Pola pikir lebih banyak bekerja, lebih banyak juga uang yang dihasilkan membawa fenomena ini berkembang kian pesat.

Occupational Medicine melalui studinya menemukan bahwa orang yang bekerja lebih lama, berapa pun usianya sangat mungkin mengalami kecemasan depresi dan masalah kesehatan tidur. Dari Forbes, 55% pekerja di Amerika Serikat tertekan oleh pekerjaannya.

Menurut Mental Health Foundation UK, di Inggris terdapat 14,7% pekerja menderita gangguan kesehatan mental disebabkan oleh pekerjaan. Sedangkan, di Jepang jumlah pekerja yang menderita penyakit jantung stroke dan gangguan mental meningkat tiga kali lipat karena kelelahan di tempat kerja.

Di Indonesia sendiri, 1 dari 3 pekerja menderita gangguan kesehatan mental akibat jam kerja yang panjang. Di era pandemi ini, dengan semakin berkembangnya seruan untuk produktif dari rumah memunculkan tren toxic hustle culture baru di Indonesia.

Penyebab Hustle Culture

Terdapat banyak menyebabkan kebiasaan atau gaya hidup semacam ini muncul di tengah-tengah masyarakat di antaranya,
1. Kemajuan Teknologi
Teknologi mempermudah manusia dalam mendapatkan informasi dengan cepat. Kemudahan tersebut membuat tidak ada batas waktu. Notifikasi tentang pekerjaan yang bisa muncul kapan saja seolah-olah memanggil kita untuk segera menyelesaikan tugas-tugas yang ada.

Sosial media turut mempengaruhi pada hustle culture. Banyak orang-orang sukses yang memberikan saran dan nasihat pada netizen bahwa demi meraih kesuksesan perlu kerja terus menerus. Postingan di sosial media banyak yang membagikan tentang produktivitas.

Menunjukkan cuplikan berbagai macam aktivitas sehingga orang lain berpikir bahwa betapa sibuknya mereka. Masyarakat menganggap bahwa seseorang akan berharga jika melakukan banyak kegiatan dan produktif.

Jadi, muncullah perasaan bersalah saat sedang rebahan, nonton film, jalan-jalan karena hal tersebut bukan hal produktif. Ujungnya seorang pekerja bisa terjebak dalam toxic productivity yang berpengaruh negatif terhadap psikis.

2. Konstruksi Sosial
Tak bisa dimungkiri bahwa masih banyak orang yang menilai bahwa tolak ukur kesuksesan hidup seseorang adalah jabatan dan kondisi finansial yang baik. Semakin cepat dan tinggi karier seseorang, maka hidupnya disebut semakin mapan dan mereka semakin dipandang oleh masyarakat.

Jadi, siapa yang berhasil membeli aset di usia muda, maka ia akan menjadi patokan bagi orang-orang di sekelilingnya. Alhasil, banyak kaum muda yang terpacu untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya untuk membeli rumah, kendaraan, atau sekedar meningkatkan taraf hidup.

Meskipun tujuannya baik, hal ini tidak selamanya benar. Hustle culture ini malah memaksa seseorang untuk bekerja tidak mengenal lelah hanya demi bisa dipandang sukses oleh lingkungan sekitar.

3. Toxic Positivity
Toxic positivity bisa diartikan sebagai dorongan untuk tetap berasumsi positif meski sedang mengalami situasi tertekan. Asumsi ini biasanya hadir dari dalam hati atau perkataan orang di sekitar. Jadi, sering kali saat Anda merasa lelah karena pekerjaan yang menumpuk, Anda bukannya berhenti tetapi malah muncul kalimat seperti, “Jangan menyerah, kamu pasti bisa. Ayo kerja lagi!”

Ada juga, kalimat yang lebih menohok seperti “Masa gitu aja capek? Kapan suksesnya?” Toxic positivity ini juga tidak bisa dimungkiri semakin berkembang selama pandemi COVID-19. Di masa ekonomi yang penuh tantangan ini, banyak orang yang bekerja lebih giat. Namun, tidak sedikit dari mereka yang kemudian mengalami stres, tetapi enggan meluapkan emosinya.

Akibat toxic positivity, mereka dipaksa untuk tetap tegar dalam situasi tersulit sekalipun. Pada akhirnya, kesehatan mental jadi korbannya.

Dampak Hustle Culture

1. Tingkatkan Risiko Penyakit
Penelitian yang dilakukan Current Cardiology Reports pada 2018 menemukan bahwa orang yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Bisa seperti infark miokard atau serangan jantung dan penyakit jantung koroner yang mematikan.

Jam kerja panjang menyebabkan tekanan darah dan detak jantung meningkat, karena aktivasi psikologis yang berlebihan dan stres. Selain itu lembur kerja juga berkontribusi pada resistensi insulin aritmia, hiperkoagulasi dan iskemia antara yang sudah memiliki beban aterosklerotik tinggi, diabetes hingga stroke.

2. Gangguan Kesejahteraan Mental
Risiko gangguan pada kesehatan mental, beberapa masalah yang dialami merupakan gejala depresi, kecemasan, hingga pikiran untuk bunuh diri. Hustle culture membuat pekerja mengalami burnout dan memberi efek negatif untuk kesehatan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan burnout adalah sebagai sindrom yang disebabkan karena stres berkepanjangan.

Burnout syndrome menyebabkan pekerja akhirnya merasa pesimis dengan hasil yang dikerjakan, hingga membuat para pekerja kurang memiliki motivasi dan energi untuk kembali bekerja dan tak mampu memenuhi kompetisi. Kesehatan mental dengan bekerja lebih memiliki hubungan yang sangat berkaitan.

3. Hilangnya Work Life Balance
Merupakan kondisi yang seimbang antara karier dan kehidupan pribadi, stres yang muncul karena pekerjaan bisa seketika hilang jika seseorang melakukan aktivitas yang disenangi. Seperti bertemu keluarga, pasangan hingga berkumpul bersama teman. Sosialisasi sangat berpengaruh pada kebahagiaan dan membuat seimbang dengan pekerjaan.

Indonesia tak luput dari booming budaya kerja yang gila ini, tak sedikit pekerja yang mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja berlebih. Termasuk di masa pandemi, kampanye produktif di rumah berisiko meningkatkan tren hustle culture karena bekerja dari rumah justru membuat hilangnya batasan jam kerja seperti di kantor.

Cara Keluar dari Hustle Culture

Agar tidak terjebak dalam hustle culture, berikut beberapa hal yang bisa Anda lakukan di antaranya,
1. Menggunakan nomor personal dan business
Banyak pekerja yang menggunakan Whatsapp untuk sarana komunikasi kerja. Sedangkan, Whatsapp pun digunakan juga untuk keperluan personal. Gunakan dua nomor yang berbeda agar tidak tercampur antara urusan pribadi dan pekerjaan.

Setelah jam kantor selesai, matikan ponsel kerja agar tidak melihat notifikasi pekerjaan. Dengan melakukan langkah yang sederhana ini dapat memberikan batas antara kehidupan personal dengan profesional.

2. Memanfaatkan weekend dan cuti dengan maksimal
Hari libur atau istirahat digunakan dengan sungguh-sungguh fokus pada urusan di luar pekerjaan. Nikmat setiap momen selama liburan dengan me time, pergi dengan keluarga atau teman dan lain-lain.

3. Membuat daftar prioritas
Mengurutkan daftar tugas dari hal yang paling esensial agar bisa mengerti mana saja pekerjaan yang penting. Skala prioritas dapat dibuat dengan kuadran Tyranny of the Urgent.
Kuadran 1 yaitu masalah penting dan mendesak. Maka perlu segera dikerjakan
Kuadran 2 yaitu penting namun tidak mendesak. Artinya, tugas harus diselesaikan namun bisa dikerjakan lain waktu.
Kuadran 3 yaitu mendesak namun tidak penting. Tugas seperti ini bisa didelegasikan kepada seseorang.
Kuadran 4 yaitu tidak mendesak dan tidak penting jadi tidak perlu melakukan ini.

4. Hindari multitasking
Mengerjakan banyak tugas dalam waktu bersamaan merupakan hal yang tidak efektif. Dalam multitasking, pikiran terbagi-bagi sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja. Lebih baik kerjakan satu persatu dengan fokus sehingga bisa memberikan hasil yang terbaik.

5. Membuat lingkungan kerja yang menyenangkan
Jika suatu saat Anda memiliki posisi penting dalam sebuah organisasi buatlah sebuah lingkungan kerja yang menyenangkan. Merancang sebuah sistem kerja atau program yang mendukung kesehatan mental pekerja. Perubahan akan lebih cepat terjadi jika diinisiasi oleh seseorang yang memiliki kekuatan.

Hustle culture sudah menjadi gaya hidup yang dinormalisasi oleh banyak orang. Padahal ini bukan hal yang baik untuk kondisi fisik dan psikis individu. Diperlukan kesadaran dari diri sendiri dan pihak manajemen untuk menciptakan budaya kerja yang menyenangkan.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment