Atribusi: Pengertian, Elemen, Proses, Teori, Contoh, Kesalahan, Kelebihan, dan Kekurangannya

Table of Contents
Pengertian Atribusi
Atribusi

Pengertian Atribusi

Atribusi adalah bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Atribusi menjelaskan mengapa seseorang berperilaku tertentu, ada motif dan maksud apa dibalik perilakunya (Myers, 2006; Baron & Byrne, 2006). Kita membuat sebuah atribusi ketika kita merasa dan mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu.

Elemen Atribusi

Ada tiga elemen dasar mengapa seseorang berperilaku tertentu (Shaver, 1983). Pertama adalah “persepsi”, riset yang dilakukan para ahli sejak tahun 1930an menunjukkan bahwa persepsi “membingkai” pengetahuan manusia sehingga mempengaruhi caranya dalam bersikap, berperilaku, bahkan memecahkan masalah yang rumit.

Lalu yang kedua adalah faktor perilaku, dan yang ketiga adalah adanya exposure waktu (terus-menerus dalam jangka panjang).

Proses Atribusi

Setidaknya ada tiga tahap proses atribusi yang dikembangkan oleh Kelley (1967) di antaranya,
1. Tahap awal (observation of an action). Yaitu apakah ada perilaku kasat mata yang dapat diamati? Jika “ya” maka proses kedua akan dilanjutkan. Jika “tidak” ada maka tahap kedua tidak dapat dilakukan.
2. Tahap kedua (judgement of intention). Apakah perilaku yang ditunjukkan punya tujuan tertentu? Jika “ya” maka lanjut ke proses terakhir. Jika “tidak” maka proses selesai sampai di sini.
3. Tahap terakhir (making a dispositional attribution). Apakah perilaku yang dimunculkan dilakukan atas keinginannya sendiri? jika “ya” maka dapat disimpulkan bahwa penyebab perilaku adalah faktor personal. Namun jika perilaku dilakukan atas desakan lingkungan, maka simpulan penyebab perilaku adalah faktor lingkungan.

Teori Atribusi

Teori atribusi merupakan teori berusaha untuk menerangkan perihal perilaku yang ada pada seseorang. Melalui teori ini, kita akan mempelajari proses ketika seseorang menginterpretasikan peristiwa, alasan, atau sebab dari perilaku yang dilakukan. Teori atribusi ini sudah sejak lama disusun oleh para ahli Psikologi Sosial seperti Heider; Jones & Davis; serta Kelley sejak tahun 1950-an melalui berbagai macam eksperimen sosial.

Teori atribusi yang dikembangkan oleh Fritz Heider, pada tahun 1958 yang menjelaskan bahwa perilaku seseorang akan ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari diri seseorang, dan kekuatan eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Temuan dan teorinya kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Harold Kelley dan Bernard Weiner.

Teori ini menjelaskan situasi di sekitar yang menyebabkan perilaku seseorang dalam persepsi sosial disebut dengan dispositional attributions dan situasional attributions. Dispositional atributions merupakan penyebab internal yang mengacu pada aspek perilaku individual yang ada dalam diri seseorang, misalnya kepribadian, persepsi diri, kemampuan, dan motivasi.

Sedangkan situasional attributions merupakan penyebab eksternal yang mengacu pada lingkungan sekitar yang dapat memengaruhi perilaku, misalnya kondisi sosial, nilai-nilai sosial, dan pandangan masyarakat.

Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang diyakini berada di bawah kendali individu itu sendiri, sedangkan perilaku yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan terpaksa berperilaku karena situasi atau lingkungan.

Perkembangan Teori Atribusi

Perkembangan awal teori Atribusi di dunia Psikologi melibatkan setidaknya ada 3 tokoh kunci yaitu Heider sekitar tahun 1950an, Jones & Davis pada tahun 1960an, dan Kelley di tahun 1960an akhir (Shaver, 1983).

Pada awalnya Heider serta Jones & Davis menekankan pentingnya “aktor” atau manusianya  sebagai “information processor”, alias yang penting adalah “otaknya”. Karena di situlah persepsi dan berbagai pengetahuan bersumber dan dinilai sangat mempengaruhi perilaku yang dimunculkan.

Sementara Kelley memiliki pendapat yang berbeda, menurutnya yang terpenting justru mengamati “lingkungan” sebagai penyedia stimulus. Termasuk di dalamnya mengamati kondisi yang memicu seseorang berperilaku tertentu, serta kebiasaan orang-orang di sekitarnya.

Perbedaan-perbedaan tersebut, akhirnya justru melahirkan model awal teori Atribusi yang sampai sekarang masih sering kita gunakan untuk menganalisis perilaku. Berikut adalah konsep yang kemudian dikembangkan, setidaknya ada dua kelompok besar mengenai Atribusi di antaranya,
1. Mengatribusikan perilaku diri kita sendiri atau disebut Attribution of Self atau looking glass self dilakukan dengan cara membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Tujuannya adalah untuk evaluasi diri.
2. Mengatribusikan perilaku orang lain atau Attribution to Other. Konsep ini menjelaskan alasan seseorang berbuat sesuatu dengan memahami “causality” dan “responsibility”. Causality berarti mencari tahu apakah si aktor sadar akan akibat dari perilakunya, seberapa besar efeknya, dan apakah ia mendapat tekanan dari lingkungan saat melakukannya.

Sedangkan responsibility adalah mengenai bagaimana si aktor kemudian bertanggungjawab terhadap perilakunya. Dengan mengetahui kedua hal tersebut maka proses mencari sebab mengapa suatu perilaku muncul menjadi lebih mudah.

Contoh Atribusi

Berikut beberapa macam contoh dari atribusi yang ada di dalam psikologi sosial di antaranya,
1. Konsensus
Konsensus merupakan salah satu atribusi dimana ketika seseorang melakukan suatu tindakan, itu karena memang ada “kesepakatan” yang menyatakan memang sewajarnya seperti itu. Contohnya yaitu ketika seorang wanita menangis karena dikhianati pasangannya, kita akan memberikan atribusi berupa konsensus yang menyatakan wanita tersebut menangis wajar karena mengalami perselingkuhan.

2. Korespondensi Inferensial
Bentuk korespondensi inferensial ini merupakan bentuk teori yang dikemukakan oleh Jones dan Davis(1965). Konsep atribusi yang dinyatakan dalam teori ini yaitu seseorang bisa disimpulkan melakukan sesuatu bisa karena faktor kepribadian atau faktor tekanan situasi yang ada di sekitarnya.

Misalnya seseorang yang berkepribadian baik mungkin akan terpaksa mencuri karena sangat kelaparan dan mengalami permasalahan keuangan.

3. Konsistensi
Atribusi ini menyatakan bahwa seseorang bisa saja mengalami kecenderungan tindakan yang sama bila mengalami pengalaman serupa. Sebagai contoh, orang akan menganggap bahwa seorang wanita menangis bersedih karena diselingkuhi, sebab sebelumnya ia pernah mengalaminya. Emosi dalam psikologi mencakup pola konsistensi seperti ini.

4. Non Common Effect
Non common effect merupakan atribusi yang dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab tindakan seseorang merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh orang lain. Sebagai contoh, ada seorang pria yang sudah berusia lanjut menikah dengan gadis usia remaja. Orang lain akan cenderung memberikan atribusi pada gadis remaja tersebut sebagai gadis materialistis yang mengincar harta lansia tersebut.

5. Freely Choosen Act
Atribusi dalam bentuk freely choosen act bisa dipahami sebagai tindakan yang dipilih karena keinginan sendiri. Contoh atribusi dalam psikologi sosial kategori ini yaitu saat orang bisa saja menyebut wanita materialistis ketika ia memutuskan untuk menikah dengan duda kaya raya.

6. Distingsi
Distingsi (distinctiveness) merupakan atribusi yang menunjukkan derajat perbedaan reaksi terhadap situasi-situasi yang berbeda. Sebagai contoh kita ambil lagi masalah perselingkuhan. Wanita bisa saja sama-sama menangis apabila diselingkuhi atau disakiti sahabatnya. Jika wanita menangis saat diselingkuhi, akan tetapi tidak pada saat disakiti sahabatnya, maka ada perbedaan derajat atribusi yang cukup signifikan.

7. Low Social Desirability
Istilah mudah untuk menggambarkan low social desirability adalah ketika seseorang menyimpang dari kebiasaan umum. Katakanlah ada seseorang yang sedang menyaksikan acara lawak. Ketika yang lainnya tergelak tertawa, dia justru menunjukkan rasa sedih atau malah menangis. Akan ada atribusi tertentu yang timbul kepadanya.

8. Kesalahan Atribusi Fundamental
Pada saat seseorang melakukan pengamatan terhadap tindakan orang lain, ia bisa saja salah melakukan kesimpulan. Sebut saja ketika seseorang menggeleng saat mengiyakan sesuatu, itu dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan padahal memang ia membawa faktor budaya yang demikian.

9. Efek Pengamat
Seseorang akan menilai penyebab orang lain mengalami sesuatu berdasarkan apa yang ia amati. Sebagai contoh, ketika seseorang terpeleset, kita bisa saja mengatakan bahwa ia kurang berhati-hati saat berjalan. Namun jika kita sendiri yang terpeleset, maka kita mengatakan bahwa lantainya yang licin.

10. Self-serving Biss
Ini merupakan kecenderungan seseorang dalam mengatribusi perilaku positif dari faktor internal dan perilaku negatif dari faktor eksternal. Contohnya yaitu ketika kita berhasil memenangkan kompetisi melukis, kita bisa menyebut bahwa kita berhasil karena kita berbakat. Namun saat kita gagal, bisa saja kita mengatakan bahwa jurinya tidak adil.

Kesalahan dalam Atribusi

Terdapat beberapa jenis kesalahan dalam atribusi di antaranya,
1. Kesalahan atribusi yang mendasar
Kesalahan atribusi yang umum di mana orang terlalu menekankan perilaku personal atau disposisi (internal) perilaku negatif orang lain atau hasil buruk dan meremehkan faktor situasional (eksternal). Ketika menafsirkan tindakan atau hasil positif orang lain, bagaimanapun orang terlalu menekankan penyebab situasional dan meremehkan penyebab disposisi.

Contoh kesalahan atribusi yang mendasar adalah “Jika kamu gagal, maka berarti kamu bodoh”. Dari contoh tersebut terlihat bahwa terdapat kecenderungan untuk merendahkan peran disposisi atau faktor internal atau faktor-faktor pribadi.

Merujuk apa yang dinyatakan oleh Heider bahwa orang-orang adalah prototipe dari asal usulnya maka dengan memandang orang sebagai sebuah prototipe dari asal usulnya sejatinya menuntun kita pada kesalahan atribusi yang mendasar.

2. Bisa melayani diri sendiri
Kesalahan di mana individu mengaitkan kesuksesan dan kegagalan mereka dengan faktor yang berbeda. Keberhasilan seseorang dan hasil positif dikaitkan dengan karakteristik internal dan disposisi sedangkan kegagalan seseorang atau hasil negatif dianggap berasal dari sebab eksternal dan situasional.

3. Atribusi defensif
Kecenderungan untuk menyalahkan korban atas kemalangan mereka sendiri. Atribusi defensif dapat disebut sebagai pengembangan dari kesalahan atribusi yang mendasar.

4. Efek aktor pengamat
Karena adanya perbedaan perspektif dan perbedaan informasi tentang suatu kejadian dan partisipan. Setiap aktor memiliki informasi yang lebih tentang perilaku di masa lalu dan lebih waspada terhadap faktor-faktor situasional dibandingkan pengamat.

Ketika pengamat memiliki informasi yang lebih tentang seseorang dan situasi, maka mereka akan menjadi kurang rawan terhadap kecenderungan tersebut.

Kelebihan Teori Atribusi

1. Teori atribusi menyediakan kemampuan dalam memberikan prediksi guna membantu kita mengatasi semua yang ditawarkan oleh kehidupan.
2. Teori atribusi efektif dalam memprediksi perilaku ketika identifikasi penyebabnya dilakukan dengan benar.

Kekurangan Teori Atribusi

1. Kesimpulan yang tidak akurat dapat menyebabkan penilaian yang salah.
2. Dapat menimbulkan pengharapan adanya perilaku tertentu dari diri sendiri atau orang lain yang bisa saja tidak akan menjadi kenyataan.
3. Dalam teori atribusi, berbagai penyebab lain mungkin diabaikan.
4. Dalam teori atribusi, kesimpulan yang dibuat oleh seseorang kemungkinan besar menjadi bias karena cenderung melestarikan citra dirinya.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment