Politik Etis: Sejarah, Latar Belakang, Tokoh, Tujuan, Isi, Penyimpangan, dan Dampaknya

Sejarah Politik Etis atau Politik Balas Budi
Politik Etis (Politik Balas Budi)
Sejarah Politik Etis
Politik Etis (Politik Balas Budi) adalah politik pemikiran kolonial Hindia Belanda selama empat dekade dari 1901 sampai tahun 1942. Pada 17 September 1901, Ratu Belanda Wilhelmina mengumumkan bahwa Belanda menerima tanggung jawab politik etis demi kesejahteraan rakyat kolonial mereka.

Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.

Politik etis menandai dimulainya kebijakan pembangunan modern; sedangkan kekuatan kolonial lainnya berbicara tentang misi peradaban, yang terutama melibatkan penyebaran budaya mereka kepada orang-orang terjajah. Kebijakan tersebut menekankan pada perbaikan kondisi kehidupan material.

Namun, kebijakan ini menderita karena kekurangan dana yang parah, ekspektasi yang membengkak dan kurangnya penerimaan dalam pembentukan kolonial Belanda, dan sebagian besar lenyap oleh permulaan Depresi Besar pada tahun 1930.
 
Latar Belakang Politik Etis
Tercatat di dalam sejarah jika negara Indonesia sudah dijajah pemerintah Belanda untuk 350 tahun lamanya. Selama masa penjajahan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem tanam paksa.

Dalam sistem tanam paksa, rakyat Indonesia mengalami kerugian besar, baik berupa materiil maupun tenaga. Rakyat Indonesia merasakan penderitaan yang luar biasa akibat dari penindasan dan penekanan pemerintah kolonial.

Tanam paksa atau sistem kulvasi (Cultuurstelsel) merupakan suatu aturan yang mewajibkan setiap desa menyisihkan 20% sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, seperti kopi, tebu, teh, dan tarum. Hasil panen tanaman tersebut nantinya dijual, yang mana harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah kolonial.

Sementara, untuk warga yang tidak memiliki lahan pertanian atau perkebunan diwajibkan bekerja di perkebunan milik pemerintah selama 75 hari dalam setahun. Aturan ini ditetapkan oleh gubernur jenderal bernama Johannes Van Den Bosch, pada tahun 1830.

Sistem tanam paksa ini mendapat banyak protes dan kecaman dari warga Belanda karena dianggap tidak berperikemanusiaan. Untuk menyelamatkan hak rakyat Indonesia, tahun 1890 tokoh politik yang bernama C. Th. van Deventer mengemukakan politik etis sebagai desakan golongan liberal kepada parlementer Belanda.

C. Th. Van Deventer merupakan seorang ahli hukum Belanda. Ia mengisahkan perjuangan rakyat Indonesia yang hasilnya dinikmati oleh warga Belanda melalui tulisan di majalah  De Gids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang budi).

Gagasan van Deventer mendapat dukungan penuh dari Ratu Wilhelmina yang pernah menyebutkan dalam pidatonya di tahun 1901.

Dukungan Ratu Wilhelmina dibuktikan pula dengan terbitnya kebijakan baru yang berisi program-program untuk penduduk wilayah jajahan. Program yang dinamakan Trias van Deventer itu berisi 3 tujuan, yaitu Edukasi, Irigasi, dan Transmigrasi.

Pax Netherlandica
Pax Netherlandica merupakan salah satu kebijakan kolonial Belanda yang memiliki kaitan sangat erat dengan politik etis yang diterapkan pada zaman yang sama. Kebijakan kolonial ini berupaya untuk mengubah penjajahan Belanda di Indonesia dari hanya murni monopoli dan perdagangan, menjadi pemerintahan seutuhnya.

Pax netherlandica pada dasarnya menginginkan seluruh wilayah Indonesia ada dalam cakupan pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan, raja-raja lokal diharapkan dapat menjadi pejabat dalam sistem birokrasi pemerintahan Belanda.

Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi untuk memerintah Hindia Belanda dengan lebih efektif dan efisien, sehingga sangat berkaitan dengan politik etis.

Tokoh Politik Etis
Beberapa tokoh Politik Etis di antaranya, Mr WK Baron van Dedem, Hendrik Hubertus van Kol, Peter Brooschof, Conrad Theodore van Deventer, Walter Baron van Hoevel, Fransen van de Futte, Perdana Menteri Torbeck Douwes Dekker (Multatuli).

Kritikan tentang kebijakan pemerintah yang menyengsarakan pribumi disampaikan secara resmi pada 1891 dalam sidang Parlemen Belanda oleh Mr WK Baron van Dedem. Ia menuntut agar keuangan Hindia Belanda (koloni) dipisah dari keuangan Belanda (negeri induk) dan ada disentralisasi dalam pemerintahan.

Kritikan yang sama disampaikan oleh Hendrik (Henri) Hubertus van Kol, anggota Parlemen dari partai sosialis Belanda (SDAP). Peter Brooschof (jurnalis De Locomotief) menyatakan bahwa satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan dari penghasilan rakyat dan tidak mengembalikan sepeserpun.

Conrad Theodore van Deventer (1857-1915) tokoh liberal menyampaikan kritik melalui artikelnya Een Eereschuld (Hutang Kehormatan) yang dimuat dalam majalah De Gids 1899. Dalam artikel itu menyebutkan dalam kurun waktu 1867-1878, Belanda telah mengambil keuntungan 187 gulden.

Keuntungan itu seharusnya dikembalikan pada koloni karena pada dasarnya merupakan hutang kehormatan yang harus dibalas dengan kebijakan politik etis. Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli membuat buku berjudul Max Havelaar, yang dianggap paling berhasil mengubah opini rakyat Belanda melalui tulisannya.
 
Tujuan Politik Etis
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, politik etis bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pada saat itu, Belanda menganggap dirinya telah berhutang budi banyak pada bangsa Indonesia. Terutama karena rempah, kopi, dan sumber daya alamnya telah memperkaya Belanda dan membantunya bertransformasi menjadi negara besar di Eropa.

Hal ini penting mengingat bangsa Belanda pada saat itu dikuasai oleh kaum progresif yang menginginkan keadilan dan kesejahteraan, bahkan untuk para pribumi di wilayah-wilayah kolonial Belanda. Namun, begitu banyak aspek yang perlu dibenahi untuk dapat mencapai tujuan kesejahteraan penduduk pribumi di tanah jajahannya.

Isi Politik Etis
Melalui program politik etis, parlementer Belanda melaksanakan misi balas budi kepada bangsa Indonesia dengan memprioritaskan 3 bidang , yaitu edukasi, irigasi, dan transmigrasi.
1. Edukasi (Pendidikan)
Dalam bidang edukasi, parlementer Belanda wajib memberikan kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Hal tersebut dilakukan agar rakyat Indonesia dapat memiliki kemampuan dan pengetahuan sebagai modal untuk kemajuan bangsa dan negara.

Berdasarkan golongan dan status sosial, parlementer Belanda membagi sekolah menjadi 2 kelas. Kelas 1 ini untuk anak-anak PNS serta orang-orang dengan kekayaan atau kedudukan. Sementara, kelas dua diperuntukkan kepada anak-anak pribumi golongan bawah.

Keseriusan Belanda untuk meningkatkan tingkat pendidikan rakyat Indonesia terbukti di tahun 1901 sudah tersedia 14 sekolah di Ibukota Keresidenan dan 29 sekolah di Ibukota Afdeling. Kemudian, di tahun 1903 parlementer Belanda berhasil membangun 571 sekolah yang tersebar di Jawa dan Madura, yang mana terdiri dari 245 sekolah negeri dan 326 sekolah swasta.

Sekolah pada jaman itu memberikan pelajaran kemampuan dasar, seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu pengetahuan alam, ilmu bumi, ilmu sejarah, ilmu kedokteran, dan seni. Berikut daftar tingkatan sekolah yang tersedia di masa itu di antaranya,
a. Hollandsch Indlandsche School setara dengan Sekolah Dasar
b. Meer Uitgebreid Lagare Onderwijs setara dengan Sekolah Menengah Pertama
c. Algemeene Middlebare School setara dengan Sekolah Menengah Atas
d. Kweek School, dikenal juga dengan Sekolah Guru khusus. Di mana sekolah ini diperuntukkan kaum Bumiputera

Berikut beberapa contoh perguruan tinggi yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda di antaranya,
a. Technical Hoges School yang merupakan sekolah tinggi teknik yang kini dikenal dengan IPB atau Institut Pertanian Bogor
b. Technische Hoogere School (THS) atau sekolah tinggi teknik yang kini dikenal dengan Institut Teknologi Bandung (ITB)
c. Opleiding Van Indische Artsen / sekolah kedokteran
d. Rechts Hoogere School. Sekolah tinggi hukum

Selain untuk meningkatkan kompetensi dan juga produktivitas bangsa Indonesia, pemerintah Belanda merasa bahwa pendidikan sangat penting agar nanti Indonesia dapat memerintah dirinya sendiri serta menjalankan perekonomian yang maju dan produktif.
 
2. Irigasi (Pengairan)
Tidak hanya di bidang edukasi, program politik etis juga menyentuh bidang pertanian, terutama pada bidang pembangunan infrastruktur pengairan dan pendukung lainnya. Dari pembangunan pengairan ini, parlementer Belanda pun menunjukkan kepedulian mereka pada bahan pangan juga mata pencaharian petani.

Tujuan program ini yakni supaya kuantitas serta kualitas produk pertanian bisa meningkat. Dengan produktivitas pertanian yang meningkat, harapannya kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat meningkat pula dan komoditas ekspor yang dijual oleh Belanda pun dapat meningkat jumlahnya.

Di tahun 1885, di daerah Demak Berantas telah dibangun irigasi seluas 67.200 hektar. Di tahun 1902, prasarana irigasi tersebut mengalami perluasan menjadi 121.000 hektar. Hingga saat ini, masih banyak infrastruktur irigasi pemerintah Belanda yang bermanfaat dan digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk kepentingan sosial dan ekonominya.
 
3. Transmigrasi (Perpindahan penduduk)
Transmigrasi adalah salah satu upaya pemerataan jumlah penduduk dan mengatasi kepadatan penduduk dengan mendorong adanya perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke pulau lain yang masih sedikit penghuninya. Hal tersebut bertujuan agar daerah lain di luar Pulau Jawa dapat memiliki potensi yang sama dengan Pulau Jawa dan dapat berkembang dengan adanya sumber daya manusia yang memadai.

Selain itu, transmigrasi ini juga akan membawa dampak yang positif bagi penduduk, yaitu dengan terbuka luasnya lapangan pekerjaan, sehingga meningkatkan pendapatan penduduk. Dalam kurun waktu 35 tahun (1865-1900), jumlah penduduk di Pulau Jawa dan Madura mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, yang semula terdapat 14 juta jiwa menjadi 28 juta jiwa.

Oleh karena itu, dilakukan migrasi pada sebagian penduduk Pulau Jawa ke Pulau Sumatera, yang pada saat itu kekurangan sumber daya manusia untuk pengelolaan perkebunan.
 
Penyimpangan Pelaksanaan Politik Etis
Politik etis merupakan gagasan yang sangat mulia dari pihak Belanda, namun, dalam keberjalanannya, terdapat banyak penyimpangan dan juga penyelewengan kekuasaan. Pada program irigasi, terjadi penyimpangan di mana tanah-tanah yang dibangunkan irigasi hanya tanah yang subur dan dimiliki oleh perkebunan swasta milik Belanda.

Perkebunan dan lahan pertanian rakyat tidak diprioritaskan dalam pembuatan saluran irigasi dan infrastruktur penunjang lainnya. Oleh karena itu, terjadi ketimpangan produktivitas pertanian dan program irigasi ini gagal untuk meningkatkan secara signifikan produktivitas perkebunan rakyat Indonesia.

Pada program emigrasi dan transmigrasi penduduk, terjadi penyimpangan pada pemilihan lokasi-lokasi target transmigrasi di luar pulau Jawa. Daerah yang dipilih adalah kawasan-kawasan yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan Belanda.

Di sini, masyarakat yang ditransmigrasikan difungsikan sebagai tenaga kerja dan juga buruh kasar untuk menjalankan aktivitas perkebunan, terutama di daerah Sumatera. Program pendidikan juga sedikit menyimpang dan hanya berfokus pada golongan kaya, pejabat, ataupun kelas elite lainnya yang punya hubungan khusus dengan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Alih-alih memeratakan pendidikan dan juga meningkatkan taraf hidup masyarakat, program pendidikan ini bertujuan utama untuk menghasilkan tenaga administrasi yang murah dan terampil untuk menjalankan Hindia Belanda atas nama Belanda.

Meskipun berhasil meningkatkan pendidikan di Indonesia, pendidikan ini juga menyebabkan kesenjangan yang sangat tinggi antara golongan yang bisa mengenyam pendidikan dengan yang tidak.

Dampak Politik Etis
Dampak Negatif
Awalnya, kebijakan Politik Etis memang terlihat menguntungkan rakyat Indonesia. Akan tetapi, dalam perjalanannya terjadi penyimpangan Politik Balas Budi yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Dampak Negatif Dalam program irigasi, upaya pengairan yang ditujukan untuk aktivitas pertanian tidak berjalan mulus.

Air yang disalurkan ternyata hanya untuk orang-orang Belanda, sedangkan kaum pribumi seakan dipersulit sehingga menghambat kegiatan pertaniannya. Berikutnya, dalam program edukasi, pemerintah kolonial Hindia Belanda ternyata punya niatan buruk. Mereka ingin memperoleh tenaga kerja dengan kualitas SDM tinggi namun dengan upah rendah.

Program edukasi yang awalnya ditujukan untuk semua golongan, pada kenyataannya didominasi oleh orang-orang kaya atau dari kalangan bangsawan saja sehingga terjadi diskriminasi dalam hal pendidikan. 

Dampak Positif
Meskipun terjadi penyelewengan yang menimbulkan dampak negatif, Politik Etis setidaknya juga menghadirkan beberapa dampak positif bagi bangsa Indonesia. Diterapkannya Politik Etis memicu lahirnya berbagai organisasi pergerakan dan perhimpunan yang bersifat daerah maupun nasional di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain.

Program edukasi yang diberikan dalam Politik Etis melahirkan kaum terpelajar dari kalangan pribumi. Mereka inilah yang kemudian mengawali era pergerakan nasional dengan mendirikan berbagai organisasi yang berjuang melalui pemikiran, pengetahuan, hingga politik. Nantinya, berbagai organisasi pergerakan ini berganti wujud menjadi partai politik yang memperjuangkan kesetaraan atau merintis upaya kemerdekaan bagi Indonesia.

Politik Etis berakhir ketika Belanda menyerah dari Jepang tahun 1942 dalam Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua. Tahun 1945, giliran Jepang yang kalah di Perang Dunia Kedua sehingga membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Politik Etis: Sejarah, Latar Belakang, Tokoh, Tujuan, Isi, Penyimpangan, dan Dampaknya"