Indische Partij: Pengertian, Tokoh, Latar Belakang, Tujuan, dan Pembubarannya

Table of Contents
Pengertian Indische Partij atau Partai Hindia
Indische Partij (Partai Hindia)

Pengertian Indische Partij

Indische Partij (Partai Hindia) adalah partai politik pertama di Hindia Belanda yang berdiri di Bandung pada 25 Desember 1912. Indische Partij merupakan satu di antara organisasi nasional yang berpengaruh terhadap pergerakan nasional. Partai ini didirikan Tiga Serangkai, yaitu E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat.

Partai ini diharapkan dapat memobilisasi kerjasama antara orang pribumi dan Eropa. Menghapuskan diskriminasi yang terjadi antara keduanya, sehingga kehidupan sosial di Hindia Belanda dapat berlangsung lebih adil bagi semua kalangan.

Indische Partij memberikan dampak signifikan bagi pergerakan di Indonesia, tetapi hanya bertahan selama satu tahun. Pada 4 Maret 1913, partai ini dibubarkan pemerintah karena berhaluan politik menentang Belanda. Meski tidak bertahan lama, keanggotaan Indische Partij mencapai 7.000 orang hanya dalam waktu satu tahun.

Tokoh Indische Partij

1. F.E. Douwes Dekker
Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) adalah seorang keturunan Belanda yang lahir di Pasuruan, Jawa Timur. Ia adalah wartawan, penulis, sekaligus aktivis politik yang hidup di antara dua identitas. Sehingga kepekaannya terasah dengan melihat adanya diskriminasi yang dialami oleh penduduk pribumi Hindia Belanda. Setiabudi mengenyam pendidikan di HBS, kemudian karena desakan ekonomi harus pergi dalam Perang Boer di Afrika Selatan.

Kepulangannya ke Hindia pada tahun 1902 menandai mulainya karier sebagai penulis dan wartawan. Ia kerap menulis laporan untuk harian De Locomotief di Semarang dan Bataviaasch Nieuwsblaad. Tulisannya pro pribumi dan tidak segan mengkritik kebijakan pemerintah. Lebih lanjut, ia juga membantu berdirinya Boedi Oetomo oleh Soetomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

Namun karena ia membutuhkan wadah yang menerima orang Eropa, ia membuat Indische Partij bersama Tjipto dan Suwardi. Dalam waktu satu tahun, IP menerima lebih dari 5.000 anggota dari Semarang dan Bandung. Meski akhirnya dibubarkan karena bersifat radikal. Setiabudi bersama Tjipto dan Suwardi diasingkan ke Belanda pada tahun 1913.

2. Tjipto Mangoenkoesoemo
Tjipto adalah putra seorang priyayi rendah di Ambarawa, Jawa Tengah. Meski begitu ia berhasil disekolahkan ke STOVIA. Di sekolah ini, ia mempertajam kebenciannya terhadap lingkungan yang melanggengkan feodalisme dan diskriminasi pribumi. Ia rajin menulis dan menerbitkannya melalui De Locomotief, membangun ide pro pribumi.

Tjipto berkontribusi dalam berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, meskipun berhaluan Jawa. Ia tak bertahan lama di dalamnya, dan kemudian membangun organisasi yang lebih inklusif yaitu Indische Partij.

Ia memprakarsai Komite Bumi Putera, yang digagas oleh Suwardi untuk mengkritik peringatan 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Pada praktiknya justru mengekang kemerdekaan pihak lainnya. Tjipto selanjutnya berpartisipasi dalam pergerakan generasi selanjutnya seperti Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Volkskraad sebagai penyumbang pemikiran.

3. Suwardi Suryaningrat
Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara adalah aktivis politik, penulis, dan guru yang berasal dari Pakualaman. Ia menyoroti diskriminasi yang tumbuh terhadap kalangan pribumi, terutama dalam bidang pendidikan. Sehingga ia mendirikan perguruan Taman Siswa sebagai bentuk upaya mendidik kalangan pribumi dengan usaha sendiri.

Sebelum itu, Suwardi yang berasal dari lingkungan Jawa mengorganisir Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta. Namun kemudian beralih kepada Indische Partij yang lebih progresif dan inklusif.

Pada tahun 1913, ia menerbitkan artikel berjudul “als ik een Nederlande was” atau “Andai Aku Seorang Belanda”. Berisikan kritik terhadap kondisi masyarakat pribumi Hindia di tengah perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas Perancis. Berkat tulisan ini dan aktivitas radikalnya, ia diasingkan ke Belanda pada tahun yang sama bersama Tjipto.

Setelah kembali ke Hindia tahun 1919, ia berupaya mendirikan sekolah yang terealisasi pada tahun 1922 dengan nama Taman Siswa. Suwardi terus berjuang melalui Taman Siswa, dan mengabdi sebagai Menteri Pengajaran Indonesia setelah kemerdekaan RI.

Latar Belakang Indische Partij

Latar belakang perjuangan Indische Partij karena adanya diskriminasi yang diterima oleh kalangan pribumi. Hal ini terus berlangsung bahkan setelah Politik Etis diumumkan oleh Ratu Wilhelmina. Dalam bidang ekonomi, pendidikan, bahkan kesempatan untuk berserikat dan memperjuangkan nasib sendiri dihambat oleh Pemerintah Kolonial.

Tokoh-tokoh Indische Partij berpendapat bahwa Belanda sebagai Pemerintah Hindia Belanda berkewajiban untuk memperjuangkan kesetaraan dan kesejahteraan bagi penduduk Hindia. Terlepas dari mereka orang Eropa, Asia Timur, maupun pribumi. Partai ini lebih jauh, memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda sebagai salah satu solusi untuk mencapai kesetaraan bagi penduduknya.

Tujuan Indische Partij

Tujuan utama Indische Partij adalah untuk membangun rasa patriotisme terhadap tanah air. Terdapat beberapa tujuan lain didirikannya Indische Partij di antaranya,
1. Memberantas rasa kesombongan rasial dan keistimewaan ras.
2. Memperkuat daya tahan rakyat Hindia dengan mengembangkan individu ke aktivitas yang lebih besar secara teknis dan memperkuat kekuatan batin dalam soal kesusilaan.
3. Memelihara nasionalisme Hindia dengan meresapkan cita-cita kesatuan kebangsaan.
4. Meluaskan pengetahuan umum tentang sejarah budaya Hindia, mengasosiasikan intelek secara bertingkat ke dalam suku dan antarsuku yang masih hidup berdampingan pada masa ini, menghidupkan kesadaran diri dan kepercayaan kepada diri sendiri.
5. Memberantas usaha untuk membangkitkan kebenciaan agama dan sektarisme.
6. Memperbaiki keadaan ekonomi bangsa Hindia, terutama dengan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
7. Mengadakan unifikasi, perluasan, pendalaman, meng-Hindia-kan pengajaran, yang semua hal tersebut ditujukan kepada kepentingan ekonomi Hindia, di mana tidak diperbolehkan adanya perbedaan perlakuan karena ras, jenis kelamin, atau kasta dan harus dilaksanakan sampai tingkat yang setingi-tingnya yang bisa dicapai.
8. Berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
9. Memperkuat daya rakyat Hindia untuk mempertahankan tanah air dari serangan asing.
10. Memperbesar pengaruh pro-Hindia di dalam pemerintahan.

Bubarnya Indische Partij

Indische Partij hanya bertahan selama kurang lebih tiga bulan. Namun dalam waktu singkat dapat merekrut ribuan anggota karena kampanyenya dapat diterima oleh kalangan pribumi, Eropa, Indo, dan Tionghoa. Partai ini merupakan salah satu dari beberapa organisasi politik radikal yang menjamur pada periode ini. Basis anggota terbanyak berasal dari Semarang dan Bandung, salah satu kota terpadat di Jawa.

Partai ini melakukan beberapa kampanye progresif antara lain mendukung artikel yang diterbitkan Suwardi berjudul “Als Ik een Nederlande Was” melalui harian De Express dan merancang Komite Bumi Putera yang menyoroti perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda yang dianggap kontradiktif dengan aktivitasnya di Hindia. Kegiatan-kegiatan yang secara langsung menyerang ketidakinginan pemerintah dalam mewujudkan keadilan bagi pihak-pihak lain di Hindia Belanda.

Tulisan satir yang dimuat di surat kabar De Expres tersebut sontak menuai kontroversi. Pemerintah kolonial pun turun tangan dan menuding bahwa tulisan Soewardi Soerjaningrat telah menghasut rakyat. Maka, para tokoh IP terutama Tiga Serangkai, diseret ke pengadilan kolonial. Diputuskan bahwa mereka harus menjalani hukuman pengasingan ke Belanda.

Sepeninggal Tiga Serangkai, IP dibubarkan paksa oleh pemerintah kolonial. Namun, nantinya beberapa bekas tokoh IP mendirikan organisasi baru bernama Insulinde. Soewardi Soerjaningrat sempat bergabung dengan Insulide setelah pulang dari pengasingan.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment