Politik Adu Domba: Pengertian, Sejarah, Upaya, dan Dampaknya

Table of Contents
Pengertian Politik Adu Domba atau divide et impera
Politik Adu Domba (Divide et Impera)

A. Pengertian Politik Adu Domba

Politik adu domba (divide et impera) atau politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
 
Secara harfiah kata Devide et Impera diartikan menjadi kata pecah, dan berkuasa. Strategi itu diperkenalkan oleh seorang bernama Julius Cesar guna sebagai upaya dalam membangun kekaisaran Romawi. Devide et Impera atau politik adu domba adalah strategi politik, militer, dan ekonomi dengan cara memunculkan perpecahan pada suatu daerah agar dapat mudah untuk mereka kuasainya.

Politik pecah belah ini kemudian menjadi strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik.

Politik Devide et Impera di Nusantara, terutamanya di wilayah Indonesia pertama kali dipopulerkan oleh Belanda lewat VOC atau disebut juga Vereenigde Oostindische Compagnie. Selain monopoli yang merupakan salah satu siasat yang dilakukan oleh VOC guna menaklukkan Nusantara yaitu Devide et Impera.

Politik adu domba ini juga dijadikan sebagai suatu kebiasaan bagi VOC guna melakukan hal politik, ekonomi, dan juga militernya. Orientasinya yaitu mencari sebuah keuntungan dengan sebanyak-banyaknya dengan cara menaklukkan raja-raja yang berada di wilayah Nusantara.

B. Asal Usul Politik Adu Domba

Penjajah kolonial (Belanda) memiliki strategi politik pecah belah yang digunakan untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca kemerdekaan Indonesia 1945. Politik pecah belah adalah pertengkaran yang digunakan untuk bertujuan memecah belah suatu bangsa agar dapat menaklukkan wilayah atau daerah yang bertujuan untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah belah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah untuk dikuasai.

Belanda membentuk negara boneka pada tahun 1947-1948 yang meliputi lima negara boneka, antara lain Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan dan Negara Jawa Timur. Tujuan belanda membentuk negara boneka untuk menjanjikan kemerdekaan pada negara-negara tersebut.

Sejarah awal terjadinya suatu Perang Dunia II tersebut, bertepatan pada tanggal 6 dan 8 Agustus 1945. Pada saat itu Jepang telah mengaku kalah dari tentara sekutu dengan pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki. Pada tanggal 14 Agustus 1945, akhirnya Jepang menyerah pada sekutu dan kemudian para sekutu memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo.

Status quo memiliki arti bahwa kondisi untuk tetap menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Pada tanggal 16 September 1945 di Tanjung Priok terdapat rombongan Belanda dan perwakilan sekutu yang sedang berlabuh.

Kehadiran tentara sekutu tersebut, didampingi (Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) NICA yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. Pertemuan tersebut membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 yang membahas mengenai staatkundige concept atau disebut juga dengan konsepsi kenegaraan.

Kekalahan Jepang mengakibatkan terjadinya kekosongan pemerintahan yang berkuasa di Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945 para pemuda (Golongan Muda) membuat strategi dengan melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta yang kemudian membawa keduanya ke Rengasdengklok Peristiwa tersebut merupakan penculikan terhadap dua bapak proklamator Republik Indonesia (Soekarno-Hatta) ke Karawang, Jawa Barat yang bertujuan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Hal tersebut bertolak belakang dengan Belanda yang menolak akan kemerdekaan Indonesia 1945, karena Belanda ingin kembali berkuasa. Hal tersebut yang mengawali terjadinya agresi militer I 1947 dan agresi militer II 1948.

Agresi Belanda I dan II, terjadi Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Belanda masih kokoh untuk meminta pengembalian semua wilayah bekas jajahan Belanda yang masih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan merdekanya negara Indonesia membuat negara tersebut menjadi negara berdaulat. Serta membuat Indonesia harus melawan Belanda untuk mempertahankan teritori yang sudah dideklarasikan dari Sabang sampai Merauke.

Sementara itu pada Perjanjian Linggarjati Pada tahun 1946, terjadi suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Linggarjati di Linggarjati, Jawa Barat yang dihadiri oleh pihak Indonesia yaitu Sultan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh Wim Schermerhorn. Perjanjian tersebut menghasilkan resolusi yang melemahkan Indonesia secara de Facto yang hanya mengakui Jawa, Sumatera dan Madura sebagai bagian dari negara Indonesia.

Hingga akhirnya terjadilah suatu Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947. Pada perundingan perjanjian Linggarjati pihak Belanda dari Wakil Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil perundingan tersebut tidak berlaku lagi, menegaskan tersebut terjadi pada tanggal 21 Juli 1947.

Pihak Belanda akan memulai operasi militer (Agresi Militer Belanda I) yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer tersebut bernama Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Pembentukan agresi Belanda bertujuan untuk merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam terutama pada minyak.

Sedangkan Perjanjian Renville 1948 terjadi akibat tindakan Belanda yang membentuk agresi militer I akhirnya pihak Amerika Serikat turun tangan untuk menetralkan situasi dengan menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Oleh sebab itu kedua belah pihak menandatangani perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville yang sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Hasil perundingan dari perjanjian renville 1948 adalah Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata tapi kehilangan sebagian wilayahnya, sedangkan untuk Belanda hanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia (RI) di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera serta meminta Tentara Negara Indonesia (TNI) menarik pasukannya dari wilayah pendudukan.

Setelah itu, terjadilah suatu Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948. Pada saat itu Belanda melakukan pemberontakan pada tanggal 19 Desember 1948 terhadap isi perjanjian renville dan melanggar gencatan senjata. Belanda melakukan penyerangan dengan mengerahkan 80.000 pasukannya yang kemudian menyerang ibu kota Indonesia yang pada saat itu di Yogyakarta. Selain itu Belanda melakukan penangkapan beberapa tokoh Indonesia antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.

Kemudian, terbentuklah Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Ketika itu Amerika Serikat melakukan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan menekan Belanda dan Indonesia di Den Haag pada tanggal 2 November 1949. Perundingan tersebut membahas terkait pengembalian seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia termasuk Papua di dalamnya.

Hasil perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda menyetujui untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda menjadi Indonesia. Wilayah Papua Barat merupakan satu-satu bagian wilayah yang tidak dipindahkan ke Indonesia, tetapi akan dibahas kembali setelah setahun kemudian pada tahun 1950.

Hingga akhirnya Negara bagian Indonesia Timur atau yang tepatnya berada di daerah Papua wilayah Indonesia pada tahun 1947 hingga 1948 mengakibatkan Belanda menguasai Indonesia dengan mudah dan membagi-bagi menjadi kelompok kecil dengan total 6 bagian negara antara lain Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan dan Negara Jawa Timur.

Negara bagian Papua masih belum dikembalikan oleh Belanda hingga tahun 1961 yang seharusnya Belanda harus mengembalikan Papua menjadi bagian wilayah dari Indonesia yang sesuai dengan hasil perundingan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang dibahas satu tahun kemudian pada tahun 1950. Alasan Belanda masih menjadikan wilayah Papua menjadi miliknya karena Belanda masih mau mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik dan untuk memperkuat basis ekonominya di wilayah Papua.

Tindakan tersebut membuat Belanda untuk mendirikan negara boneka Papua. Pada tanggal 19 Oktober 1961 Belanda memulai dengan membentuk komite bernama New Guinea Council . Komite tersebut bertugas untuk merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional atau disebut juga Bendera Bintang Kejora, cap negara, memilih lagu kebangsaan yaitu Hai Tanahku Papua dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua.

Pada tanggal 18 November 1961 Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua dan peraturan tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Selain itu pada tahun 1961 Belanda mendirikan pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua (PVK) dan tentara buatan Belanda yang terdiri dari pribumi Papua.

Oleh sebab itu, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh bangsa kolonial. Beberapa hal tersebut meliputi teknik dalam politik pecah belah, dan juga upaya-upaya dalam politik adu domba. Nah, untuk mengetahuinya lebih jelasnya kamu dapat memperhatikan penjelasan di bawah ini.

C. Upaya Dalam Politik Adu Domba

Di dalam melakukan politik pecah belah ini terdapat beberapa unsur yang dijadikan sebagai teknik pada politik adu domba di antaranya,
1. Mendorong, dan menciptakan sebuah perpecahan di dalam masyarakat guna mengurangi aliansi yang dapat melawan kekuasaan yang berdaulat.
2. Mempromosikan, atau membantu mereka yang ingin melakukan kerjasama dengan kekuasaan yang berdaulat.
3. Mendorong permusuhan, dan rasa ketidakpercayaan antar kelompok atau masyarakat.
4. Mendorong sikap konsumerisme yang bertujuan untuk melemahkan biaya politik maupun militer.

Terdapat berbagai macam strategi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa kolonial. Salah satu strategi para penjajah yang paling ampuh untuk menghadapi perlawanan dengan penguasa lokal, yaitu melalui politik adu domba. Langkah awal dari VOC yakni mampu untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan besar yang berada di wilayah nusantara dengan memanfaatkan perang antar saudara maupun adanya permusuhan antar kerajaan.

Setelah rencana pertama mereka berhasil dengan menggunakan politik adu domba. Mereka juga sukses untuk membuat bangsa Indonesia berkonflik dan berebut kekuasaan di wilayah nusantara. Dengan membuat efektivitas devide et impera pun menjadi Efektif dan memperoleh perhatian secara khusus dari pemerintah kerajaan Bangsa kolonial karena berhasil membuat sebuah perpecahan yang terjadi di wilayah nusantara.

Terdapat beberapa macam upaya-upaya yang dilakukan bangsa kolonial guna menaklukkan wilayah kekuasaan Nusantara ketika menerapkan politik devide et impera di antaranya,
1. Menjadi Teman dan Menciptakan musuh
Pada upaya-upaya ini, Bangsa kolonial, berusaha untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai teman. Setelah itu, mereka menciptakan seorang musuh secara bersama. Hal itu karena manakala bangsa kolonial telah berteman, maka segala proses negosiasi dan diplomasi tersebut akan berjalan secara mudah, dan lancar. Dengan semua halnya menjadi mudah maka akan membuat negara tersebut menghancurkan negara lainnya. Hingga akhirnya membuat pihak lain dijadikan sebagai saingan bisnis VOC. Itulah yang dinamakan menciptakan musuh.

2. Manajemen isu
Pada upaya yang kedua ini yaitu dengan manajemen isu, pada biasanya pola yang dilakukan bangsa kolonial yaitu dengan menebar selentingan kabar maupun desas-desus baik dilakukan di lingkungan politik atau sosial. Bentuk lain dari manajemen isu yaitu propaganda.

3. Bermain di dua sisi
Upaya yang dilakukan berikutnya yaitu bermain di dua sisi. Bangsa kolonial pada umumnya akan berpihak oleh dua kubu yang saling bertentangan seolah berada posisi netral.

4. Merekrut pemimpin lokal
Pada umumnya kolonial akan merekrut seorang pemimpin lokal menjadi bagian dari rantai manajemen bawah. Trik itu dilakukan guna memberikan pengakuan yang mengatasnamakan bangsa kolonial terhadap entitas politik di suatu daerah. Hal itu serupa dengan terjadinya sebuah Perang Diponegoro dan Kesultanan Melayu.

5. Mengatur terjadinya perang saudara
Langkah itu dilakukan dengan memakai pribumi sebagai kekuatan militer guna melawan bangsanya sendiri. Pola tersebut tampak pada sejarah di Sumatera Barat pada tahun 1821-1837, yang mana ketika itu bangsa kolonial berhasil untuk memprovokasi Kaum Adat guna melakukan sebuah peperangan melawan Kaum Padri.

D. Dampak Politik Adu Domba di Indonesia

Pada masa penjajahan Belanda, politik adu domba memberi dampak yang sangat besar terhadap keutuhan wilayah-wilayah di nusantara. Ketidaktahuan rakyat pada masa itu membuat Belanda dengan mudah memecah belah persatuan dan muncul kelompok-kelompok kecil dengan kedudukan yang lemah. Permusuhan antar kelompok tersebut kemudian berkembang menjadi bentrok antar wilayah yang sering terjadi. Tujuan untuk mencapai persatuan pun makin sulit dicapai.

Di masa sekarang, politik adu domba menyebabkan perselisihan di masyarakat seolah masyarakat kita masih suka diadu-adu dan mudah terpancing isu. Budaya baca yang rendah membuat masyarakat lebih sering melahap mentah-mentah berita yang beredar. Akibatnya masalah kecil bisa berkembang menjadi masalah yang besar. Misalnya saja elit politik yang memanfaatkan isu-isu bertema SARA dan sengaja dilempar ke media untuk memunculkan ketegangan di masyarakat.

Hal ini tentunya mengancam kerukunan dan toleransi antar umat beragama, suku dan ras. Tersebarnya berita-berita yang belum tentu kebenarannya juga dapat membuat resah masyarakat. Hubungan pertemanan pun menjadi renggang hanya gara-gara memiliki pandangan politik yang berbeda.

Unsur-unsur yang digunakan dalam strategi politik adu domba sebetulnya adalah untuk menciptakan perpecahan dan mencegah terbentuknya kelompok yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar. Akibatnya muncul tokoh-tokoh ‘boneka’ yang saling melemahkan satu sama lain dan mendorong rasa tidak percaya antar masyarakat.

Harapan kita sebagai bangsa Indonesia tentu tidak ingin negara menjadi terpecah belah. Maka dari itu kita jangan lagi mau diadu domba. Sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk selalu menguatkan tali persatuan tanpa memandang suku, agama dan ras.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment