Kerajaan Tidore: Pengertian, Sejarah, Kejayaan, Akhir, dan Peninggalannya

Pengertian Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore

Pengertian Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.

Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805). Sultan Nuku berhasil membawa persatuan antara Ternate dan Tidore untuk sama-sama melawan bangsa Belanda.

Sejarah Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore berpusat di Gam Tina dengan Sultan Ciriliati atau Sultan Djamaluddin sebagai rajanya. Sultan Ciriliati, yang masuk Islam berkat dakwah seorang ulama dari Arab, diketahui sebagai raja atau kolano pertama yang memakai gelar sultan. Dengan masuknya Islam ke Kerajaan Tidore, berbagai aspek kehidupan masyarakat baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budayanya pun ikut terpengaruh.

Sepeninggal Sultan Ciriliati, singgasana diwariskan ke Sultan Al Mansur (1512-1526 M), yang kemudian memindahkan ibu kota kerajaan ke Tidore Utara, lebih dekat dengan Kerajaan Ternate. Dalam sejarahnya, Kerajaan Tidore memang mengalami beberapa kali pemindahan pusat pemerintahan karena berbagai sebab. Letak ibu kotanya yang terakhir adalah di Limau Timore, yang kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.

Kejayaan dan Akhir Kesultanan Tidore
Kejayaan Kesultanan Tidore terjadi pada masa Sultan Saifuddin (1657-1689 M) yang berhasil membawa kemajuan hingga Tidore disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Maluku. Masa keemasan Kesultanan Tidore juga dirasakan di era kepemimpinan Sultan Nuku pada awal abad ke-19. Sultan Nuku memperluas wilayah kekuasaan Tidore sampai ke Papua bagian Barat, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai Kepulauan Pasifik.

Tak hanya itu, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dan Tidore untuk menghadapi penjajah Belanda yang dibantu Inggris. Kegemilangan mengusir bangsa asing membuat Kesultanan Tidore mencapai kemajuan dengan pesat. Di tengah suasana damai dan makmur, Sultan Nuku berpulang pada 14 November 1805 dalam usia 67 tahun.

Sepeninggal Sultan Nuku, Belanda berusaha kembali mengincar Tidore. Hal ini diperparah dengan banyaknya polemik internal yang membuat Kesultanan Tidore akhirnya jatuh dalam penguasaan Belanda. Seiring kemerdekaan Indonesia pada 1945, Kesultanan Tidore bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidore, tepatnya Sofifi, ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara. Beberapa peninggalan sejarah Kesultanan Tidore yang masih tersisa adalah Istana Kadato Kie serta Benteng Torre dan Tahula.

Peninggalan Kerajaan Tidore
Beberapa peninggalan dalam Tidore  di antaranya,
1. Benteng Torre dan Tahula
Torre Torre dan Tahula adalah sebuah peninggalan dari zaman kolonial Portugis, dan Torre Torre dibangun pada 1512 dan dibangun di dekat ruang makan Sultan Zainul Abidin, dan terletak dekat dengan Instana Kie (Kadato Kie). Benteng ini digunakan dengan wilayah Portugis yakni sebagai melawan Belanda, benteng tersebut memiliki letak di bagian kota Soa Sio.

2. Kadato Kie (Istana Kie)
Sejarah dalam Kerajaan Tidore telah meninggalkan berbagai warisan sejarah dengan nama Kadato. Kadato sendiri memiliki sebuah bangunan istana dan sering disebut sebagai Kie Palace atau Kedaton Kie. Bangunan itu ada sejak 1812 dan dibangun di bawah Sultan Syahjuan
.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Kerajaan Tidore: Pengertian, Sejarah, Kejayaan, Akhir, dan Peninggalannya"