Kerajaan Ternate: Pengertian, Letak, Sejarah, dan Jatuhnya Ternate

Pengertian Kerajaan Ternate atau Kerajaan Gapi
Kerajaan Ternate (Kerajaan Gapi)

Pengertian Kerajaan Ternate
Kerajaan Ternate (Kerajaan Gapi) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Kerajaan Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kerajaan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-19.

Kegemilangan Kerajaan Ternate di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.

Pada masa kepemimpinan Sultan Hairun adalah masa kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol datang ke Maluku yang berusaha untuk memonopoli rempah-rempah. Persaingan kedua bangsa Eropa ini melibatkan kerajaan kembar yakni Ternate dan Tidore, di mana Bangsa Portugis langsung memihak Ternate dan Spanyol memihak Tidore.

Untuk menyelesaikan perselisihan ini maka pihak Paus turun tangan melalui perjanjian Saragosa atau perjanjian penetapan batas wilayah yang isinya adalah Spanyol harus meninggalkan Maluku dan pindah ke Filipina sedangkan Portugis tetap menguasai daerah-daerah Maluku.

Pada masa kedudukannya di Maluku, Bangsa Portugis mendirikan benteng Santo Paulo, namun semakin lama Portugis semakin mempertajam kekuasaannya atas monopoli perdagangan di Maluku. Hal ini mendapatkan perlawanan dari Sultan Hairun, meskipun pada akhirnya Sultan Hairun harus tewas lantaran ditusuk pada saat peresmian perjanjian perdamaian pada tahun 1570.

Letak Kerajaan Ternate
Secara geografis kerajaan Ternate dan Tidore terletak di Kepulauan Maluku, antara Sulawesi dan Irian Jaya letak terletak tersebut sangat strategis dan penting dalam dunia perdagangan masa itu. Pada masa itu, kepulauan maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar sehingga di juluki sebagai The Spicy Island.

Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan pada saat itu, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang dan bertujuan ke sana, melewati rute perdagangan tersebut agama Islam meluas ke maluku, seperti Ambon, Ternate, dan Tidore. Keadaan seperti ini, telah mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Sejarah Kerajaan Ternate
Sejarah berdirinya Kerajaan Ternate bermula dari keberadaan empat kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala marga atau disebut Momole. Empat kampung tersebut kemudian sepakat membentuk kerajaan, tetapi kala itu raja dan rakyatnya belum diketahui agamanya. Sejak zaman dahulu, Ternate dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, sehingga penduduknya telah berhubungan dengan para pedagang dari Arab, Melayu, ataupun China.

Seiring ramainya aktivitas perdagangan, ancaman dari para perompak pun semakin meresahkan. Setelah dilakukan musyawarah, para Momole sepakat menunjuk Momole Ciko sebagai kolano atau raja mereka. Sejak 1257 M, Momole Ciko resmi menjadi raja pertama Kerajaan Ternate dengan gelar Baab Mashur Malamo. Kerajaan ini terletak di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara.

Masuknya Islam ke Ternate
Agama Islam mulai disebarkan di Ternate pada abad ke-14. Sedangkan keluarga kerajaan baru secara resmi memeluk Islam pada masa pemerintahan Kolano Marhum (1432–1486 M). Hikayat Ternate menyebutkan bahwa ketika Kolano Marhum berkuasa, datang seorang alim dari Jawa bernama Maulana Husein yang mengajarkan membaca Al-Qur'an dan menulis huruf Arab.

Hal itulah yang membuat raja, keluarga kerajaan, dan masyarakat Ternate semakin tertarik untuk memeluk Islam. Kolano Marhum menjadi Raja Ternate pertama yang memeluk Islam, sedangkan putranya, Zainal Abidin, yang berkuasa antara 1486–1500 M mulai memberlakukan hukum-hukum Islam. Setelah bertransformasi menjadi kesultanan Islam, gelar kolano atau raja kemudian diganti dengan sultan.

Kedatangan Bangsa Portugis
Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506.

Tahun 1512 Portugis untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate di bawah pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan sultan, Portugis diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugis datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku.

Kedekatan Sultan dengan orang Portugis, menyebabkan timbulnya keresahan dalam masyarakat. Apalagi mereka ikut campur tangan dalam urusan-urusan internal kerajaan, seperti dalam pengangkatan dan penunjukan pewaris tahta. Menurut sumber yang bisa dipercaya Sultan Bayanullah wafat karena diracuni oleh orang-orang dekatnya sendiri yang kecewa oleh kebijakannya di atas.

Perang Saudara
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore di bawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.

Portugis memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugis. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugis. Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan.

Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugis untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugis, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).

Perlawanan Terhadap Portugis
Perlakuan Portugis terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugis dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun.

Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugis di Nusantara.

Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugis. Kedudukan Portugis kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.

Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka, Portugis di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur Portugis, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.

Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugis, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugis meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575.

Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.

Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.

Penjajahan Belanda
Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah bersatu dengan Portugis pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Di antaranya adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Jatuhnya Ternate
Beberapa sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai di bawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.

Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao di bawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung.

Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal di sana tahun 1927.

Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.

Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Kerajaan Ternate: Pengertian, Letak, Sejarah, dan Jatuhnya Ternate"