Homo Soloensis: Pengertian, Sejarah, Ciri, dan Hasil Kebudayaannya

Pengertian Homo Soloensis atau Homo erectus soloensis
Homo Soloensis

Pengertian Homo Soloensis
Homo soloensis (Homo erectus soloensis) atau sering pula disebut Manusia dari Solo atau Solo Man adalah hominid atau manusia purba yang diperkirakan hidup di daerah Sungai Bengawan Solo purba pada Zaman Batu Tua atau Paleolitikum.

Subspesies yang telah punah ini sempat diklasifikasikan sebagai Homo sapiens soloensis, tetapi sekarang dimasukkan ke dalam spesies Homo erectus. Oleh sebagian ahli, Homo soloensis dianggap segolongan dengan Homo neanderthalensis yang merupakan manusia purba dari Asia, Eropa, dan Afrika.

Sejarah Homo Soloensis
Penemuan
Homo Soloensis merupakan manusia kera berbadan tegak yang berasal dari Solo. Homo Soloensis hidup pada masa akhir Pleistosen Atas. Fosil manusia purba ini ditemukan di Ngandong, di tepi sungai Bengawan Solo pada sekitar tahun 1931-1934. Para peneliti Homo Soloensis di antaranya von Koenigswald, Oppennorth, dan Ten Haar.

Hasil temuan Homo Soloensis pada lapisan Pleistosen Tengah mempunyai arti penting karena menghasilkan satu seri tengkorak berjumlah besar dalam waktu yang singkat di satu tempat. Hasil temuan ini berupa bagian atap tengkorak, tulang dahi, dan tulang kering. Dari temuan ini dapat disimpulkan jenis kelamin, usia dan bahkan kapasitas otak.

Berdasarkan fosil yang ditemukan, para ahli memperkirakan jenis Homo Soloensis bukan kera, melainkan manusia. Diperkirakan Homo Soloensis hidup sekira 900.000 – 300.000 tahun yang lalu.

Menurut Von Koenigswald, Homo Soloensis lebih tinggi tingkatannya bila dibandingkan dengan Homo Erectus. Para ahli memperkirakan Homo Soloensis merupakan evolusi dari Pithecanthropus Mojokertensis. Homo Soloensis oleh sebagian ahli digolongkan sezaman dengan Homo Neanderthalensis yang merupakan manusia purba jenis Homo Sapiens.

Von Koenigswald berpendapat bahwa manusia purba asal Solo ini sudah berada pada tingkatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan spesies pithecanthropus erectus. Itulah mengapa dinamakan dengan sebutan homo yang berarti manusia, karena para ahli menduga makhluk hidup ini sudah berkembang secara akal daripada spesies sebelumnya.

R. Weidenreich juga mendukung pendapat tersebut. Koenigswald dan Weidenreich memperkirakan bahwa hominid solo ini merupakan manusia purba hasil evolusi pithecanthropus mojokertensis yang dikenal juga sebagai homo mojokertensis. Hal ini didasarkan pada struktur tubuh pada fosil yang diperkirakan telah mengalami penyempurnaan.
 
Masa Hidup
Melihat dari karakteristik fosil yang ditemukan, para ahli memperkirakan Homo Soloensis hidup pada 900—300 ribu tahun silam. Adapun usia kerangka yang diteliti kira-kira sudah berusia 143.00-550.000 tahun, meskipun perlu penelitian lebih lanjut guna memastikan kemungkinan lainnya. Apalagi saat ditemukan kondisi fosil sudah tidak sepenuhnya berwujud sempurna.

Manusia purba dari Solo ini mempunyai volume otak yang bekisar antara 1000-1200 cc sehingga banyak ahli berpandangan subspesies ini sudah berkembang dari segi kecerdasan. Kebudayaan yang terkenal hasil peninggalan hominid solo yakni alat serpih, kapak genggam, serta peralatan yang dibuat dari bahan tulang atau tanduk binatang.

Dari sana, para ahli berusaha mengumpulkan gambaran bagaimana kehidupan hominid solo ini di masa Paleolitikum. Manusia purba cenderung tinggal di kawasan sekitar sungai, ditandai dengan banyaknya penemuan fosil yang tak jauh dari sungai.

Hal ini diasumsikan karena sungai memberikan suplai air dan binatang yang menunjang kehidupan manusia purba. Sebagaimana karakteristik manusia zaman praaksara lainnya, Homo Soloensis bertahan hidup dengan mengandalkan hasil dari alam.

Namun ada yang berbeda antara subspesies homo sapiens ini dengan spesies sebelumnya yaitu meganthropus dan pithecanthropus yang masih merupakan nomaden dan menerapkan gaya hidup berburu dan meramu.Manusia purba ini sudah bisa mengolah makanan melalui cara-cara pertanian yang sangat sederhana. Kehidupannya pun sudah tidak nomaden, karena menetap tinggal di suatu wilayah yang dirasa ideal.

Alat-alat khas zaman Paleolitikum seperti kapak genggam dan kapak perimbas digunakan sebagai sarana bertahan hidup. Selain itu, kehidupannya yang sudah mulai menetap juga dapat dilihat pada terbentuknya Kjokkenmoddinger ataupun abris sous roche. Bukti-bukti hidup manusia yang sudah mulai menetap.
 
Dugaan Kekerabatan
Banyak ahli yang berspekulasi bahwa hominid solo mempunyai kekerabatan dengan manusia purba spesies lainnya. Itulah yang diduga menjadi penyebab kesamaan fisik hominid solo dengan manusia purba spesies lain. Misalnya, dari hasil analisis fitur anatomi pada hominid solo yang serupa dengan homo sapiens subspesies javanthropus.

Ada juga peneliti yang membuat klasifikasi Homo Soloensis dianggap nenek moyang suku Aborigin, anatomi tubuhnya yang serupa menjadi dasar anggapan ini. Namun kemudian diketahui bahwa tidak ada kaitan antara hominid solo dengan suku Aborigin. Jika pun ada kekerabatan, maka itu berasal dari spesies leluhur di atas homo sapiens.

Ciri Homo Soloensis
Morfologi atau ciri fisik subspesies homo sapiens ini sebenarnya lebih serupa dengan homo erectus. Namun pada beberapa aspek, hominid solo lebih unggul dan bisa dikatakan lebih sempurna dari homo erectus. Contohnya adalah cara berjalan sudah lebih tegak dan mampu melangkahkan kaki lebih sempurna. Berikut beberapa ciri-ciri fisik secara umum dari homo soloensis di antaranya,
1. Mempunyai volume otak antara 1000 sampai 1200 cc
2. Otak kecil dari homo soloensis berukuran lebih besar dibanding otak kecil pada manusia Pithecanthropus Erectus
3. Tengkorak kepala berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus
4. Mempunyai tinggi badan sekitar 130 sampai 210 cm
5. Otot pada bagian tengkuk yang mengalami penyusutan
6. Bentuk muka tidak menonjol ke depan
7. Tonjolan pada kening agak terputus di tengah tepatnya di atas hidung
8. Sudah bisa berdiri tegak (erect) dan berjalan dengan lebih sempurna
9. Bentuk fisiknya menyerupai manusia saat ini
10. Berat badannya berkisar antara 30 sampai 150 kg

Postur tubuh Homo Soloensis diperkirakan setinggi 130—210 cm. Sub spesies ini juga memiliki keunikan yaitu otot pada bagian tengkuknya mengalami penyusutan. Wajahnya pun tidak lagi menonjol ke depan seperti spesies manusia purba di generasi atasnya. Bagian dahi agak miring ke belakang, serta di tengkoraknya terdapat tonjolan di dekat alis yang lebih tebal.

Tengkorak hominid solo lebih besar jika dibandingkan dengan pithecanthropus erectus. Volume otaknya pun lebih besar, yaitu sekitar 1000-1200 cc. Adapun berat tubuh manusia purba satu ini berkisar antara 30-150 kilogram. Jika dibayangkan sekilas, postur tubuh hominid solo sudah hampir serupa dengan manusia saat ini.
 
Hasil Kebudayaan Homo Soloensis
Terdapat beberapa hasil kebudayaan dari manusia purba homo soloensis di antaranya,
1. Kapak Perimbas. Kapak perimbas merupakan alat yang dipakai buat menimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata buat berburu. Alat ini bisa kalian temukan di daerah Gombong (Jawa Tengah), Lahat (Sumatera Selatan), Sukabumi (Jawa Barat), dan juga Goa Choukoutien (Beijing).
2. Perkakas dari Tulang. Alat perkakas dari tulang ini biasanya digunakan sebagai alat buat menusuk, pengorek bahkan dipakai sebagai mata tombak. Perkakas atau alat yang terbuat dari tulang ini bisa kalian temukan di wilayah Ngandong dekat Ngawi, Jawa Timur.
3. Kapak Genggam. Kapak Genggam yaitu alat yang dipakai sebagai media buat memotong, mencetak bahan habis pakai harian, penggalian umbi, memotong dan juga menguliti hewan. Cara memakai kapak genggam ini dengan cara kamu menggenggam gagang dari kapak tersebut.
4. Alat Serpih. Alat Serpih merupakan sebuah alat perkakas yang dibuat dari bahan pecahan batu kecil. Media atau alat serpih ini dipakai sebagai alat buat penusuk, pemotong daging, dan juga pisau.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Homo Soloensis: Pengertian, Sejarah, Ciri, dan Hasil Kebudayaannya"