Aglomerasi Ekonomi: Pengertian, Faktor, Jenis, dan Teorinya

Pengertian Aglomerasi Ekonomi
Aglomerasi Ekonomi

Pengertian Aglomerasi Ekonomi
Aglomerasi ekonomi adalah sekumpulan kluster industri dan merupakan konsentrasi dari aktivitas ekonomi dari penduduk secara spasial yang muncul karena adanya penghematan yang diperoleh akibat lokasi yang berdekatan. Gagasan ini merupakan sumbangan pemikiran Alfred Marshall yang menggunakan istilah localized industry sebagai pengganti dari istilah ekonomi aglomerasi.

Kegiatan-kegiatan komersial, industri, serta jasa umumnya berkumpul di satu lokasi tertentu yang memiliki banyak keuntungan intrinsik. Hasil langsung dari fenomena ini adalah meningkatnya jumlah investasi pada lokasi tersebut. Dalam kasus aglomerasi, jumlah perusahaan yang banyak dalam suatu klaster akan meningkatkan efisiensi produksi dari setiap perusahaan. Contoh dari aglomerasi adalah kawasan ekonomi khusus.

Aglomerasi Ekonomi Menurut Para Ahli
1. Kuncoro (2002), aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen.
2. Malmberg dan Maskell (2001), dalam konteks ekonomi geografi, konsep aglomerasi berkaitan dengan konsentrasi spasial dari penduduk dan kegiatan-kegiatan ekonomi.
3. Montgomery (Kuncoro, 2002), aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity), yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen.
4. Bradley and Gans (1996), aglomerasi berkaitan dengan eksternalitas kedekatan geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi, bahwa ekonomi aglomerasi merupakan suatu bentuk dari eksternalitas positif dalam produksi, yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan kota.
5. Markusen (Kuncoro, 2002), aglomerasi merupakan suatu lokasi yang “tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa- jasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual.

Faktor Aglomerasi Ekonomi
1. Knowledge spillover
Knowledge Spillover memiliki makna mudahnya pertukaran informasi antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dikarenakan dekatnya proksimitas perusahaan tersebut. Dalam knowledge spillover ini, terdapat tacit knowledge yang berarti informasi sepenggal mengenai kondisi aktual. Informasi ini dapat membantu karyawan dan pemimpin perusahaan untuk memahami kondisi pasar secara lebih menyeluruh, terutama mengenai pergerakan pasar dan inovasi baru. Oleh karena itu, tacit knowledge dapat meningkatkan daya saing suatu perusahaan di pasar.

Contoh dari knowledge spillovers ini adalah pada klaster finansial seperti Wall Street, Marunouchi, atau London. Pada sektor finansial, informasi pasar sangatlah dinamis dan dapat berubah setiap waktu, oleh karena itu petinggi perusahaan harus dapat membuat keputusan dengan taktis dan cepat. Keputusan ini umumnya harus didahului dengan negosiasi, oleh karena itu akan lebih mudah jika semua perusahaan bertempat di suatu lokasi yang sama.
 
2. Non traded inputs
Jika beberapa perusahaan terletak dekat satu dengan yang lainnya, maka terdapat input tertentu yang dapat disediakan dengan lebih efektif. Input ini disebut sebagai non traded inputs. Input ini dapat berupa jasa ataupun infrastruktur yang dapat menunjang operasional suatu perusahaan.

Contoh dari non traded inputs adalah jaringan infrastruktur fiber optic internet cepat yang terdapat pada distrik finansial di London, firma hukum dan audit yang terdapat di Wall Street, serta perusahaan penyedia spare-parts di kota-kota otomotif seperti Detroit, Stuttgart, dan Munich.
 
3. Local skilled labour pool
Ketika suatu perusahaan ingin melakukan ekspansi ataupun pengembangan usaha, perusahaan tersebut akan membutuhkan tenaga kerja professional dalam jumlah banyak dengan spesialisasi. Mendapatkan tenaga kerja yang bermutu dalam jumlah banyak tidaklah mudah, oleh karena itu pekerja menjadi salah satu constraint suatu perusahaan dalam melakukan pengembangan atau ekspansi. Aglomerasi merupakan salah satu jawaban dari constraint tersebut.

Ketika suatu daerah menjadi terkenal akan karakteristik kerja tertentu, maka daerah tersebut akan menarik pekerja-pekerja professional pada bidang yang bersangkutan. Contoh dari fenomena ini adalah Wall Street, Marunouchi, dan London untuk industri finansial, serta Sillicon Valley untuk industri teknologi informasi.

Ketika pekerja profesional pada bidang tersebut berdatangan, maka kualitas pekerja akan meningkat secara perlahan. Kualitas yang tinggi dari pekerja lokal ini turut berkontribusi meningkatkan produktivitas dan inovasi dari lokasi aglomerasi.

Jenis Aglomerasi Ekonomi
Ahli ekonomi Hoover juga membuat klasifikasi ekonomi aglomerasi menjadi 3 jenis (Isard, 1979) di antaranya,
1. Internal Returns to Scale
Ketika banyak terjadi investasi di suatu tempat yang hanya dimiliki oleh satu perusahaan, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai internal returns to scale. Investasi yang besar pada suatu lokasi akan mendorong adanya pertumbuhan ekonomi yang besar pula pada lokasi tersebut. Contoh dari internal returns to scale adalah hangar Boeing Everett di Seattle, pabrik mobil Fiat di Turin, dan kompleks pertambangan Freeport di Tembagapura.
 
2. Economies of Localization
Economies of localization hampir sama sifatnya dengan internal returns to scale, hanya saja pada kasus ini, banyak perusahaan yang terlibat, namun masih berada dalam satu sektor. Contoh paling jelas dari economies of localization adalah aglomerasi industri otomotif di Detroit, Stuttgart, dan Nagoya, atau aglomerasi industri finansial di London, New York, dan Wall Street, serta industri teknologi informasi di Sillicon Valley.

Economies of localization menunjang pertumbuhan perusahaan-perusahaan yang berlokasi di lokasi tersebut dengan cara mengaplikasikan 3 faktor ekonomi aglomerasi diatas.
 
3. Economies of Urbanization
Economies of urbanization sama sifatnya dengan kedua aglomerasi diatas, namun bedanya adalah perusahaan yang terlibat bersifat lintas sektor. Pada kota-kota yang disebutkan diatas, seperti Detroit, Stuttgart, dan Nagoya, ekonomi kota tersebut bergantung pada satu sektor yaitu otomotif, dengan berbagai perusahaan di dalamnya yang bergerak pada sektor terkait. Lain halnya dengan economies of urbanization, pada kasus ini semua perusahaan baik yang lintas sektor maupun yang sama berlokasi di daerah tersebut.

Contoh dari aglomerasi ini adalah ibukota negara-negara berkembang seperti Jakarta, Kuala Lumpur, Singapura, dan Manila. Banyak sekali industri yang berlokasi di kota tersebut, tidak hanya terbatas pada satu atau dua sektor saja.

Berbeda dengan pendapat para ahli ekonomi yang lain, O’Sullivan (1996) membagi ekonomi aglomerasi menjadi dua jenis yaitu ekonomi lokalisasi dan ekonomi urbanisasi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas positif dalam produksi, yaitu menurunnya biaya produksi sebagian besar perusahaan sebagai akibat dari produksi perusahaan lain meningkat.

Teori Aglomerasi Ekonomi
1. Model Growth Pole
Ketika suatu aglomerasi perusahaan yang besar menentukan kebijakan, maka perusahaan lain yang terikat melalui hubungan customer-supplier akan terkena dampaknya. Ketika suatu perusahaan atau instansi memberikan investasi yang besar kepada suatu daerah atau suatu klaster industri, maka akan terjadi dampak positif seperti pembangunan infrastruktur dan juga menarik perusahaan-perusahaan lainnya.

Dalam growth pole, terdapat spread yaitu dampak positif, dan backwash yaitu dampak negatif, namun diasumsikan bahwa spread selalu lebih besar dibandingkan backwash. Kelemahan dari teori ini adalah tidak adanya framework analisis cost-benefit yang menjustifikasi feasibility dari investasi ini.
 
2. Model Incubator
Model incubator menyatakan bahwa semakin banyak sektor perusahaan yang ada dan semakin bervariasi ukuran perusahaan yang ada, semakin bagus pula klaster itu untuk menunjang inkubasi perusahaan-perusahaan kecil. Hal ini dapat terjadi karena keberadaaan perusahaan kecil yang bervariasi dapat menyediakan jasa-jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan startup untuk berkembang.

Jika suatu klaster dipenuhi oleh perusahaan besar, maka perusahaan tersebut akan cenderung menggunakan internal returns to scale sehingga perusahaan-perusahaan startup tidak dapat memanfaatkan jasa-jasa mereka.

Contoh dari model incubator ini adalah pada kota Pittsburgh dan New York, Pittsburgh merupakan kota yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di sektor tertentu seperti besi, baja, dan batubara, sedangkan New York merupakan kota yang dipenuhi oleh perusahaan dari berbagai ukuran dan sektor.
 
3. Model Product Cycle
Model production cycle menyatakan bahwa perusahaan cenderung meletakkan pabrik/kantor tergantung dengan life cycle produk mereka. Semakin awal life cycle nya maka perusahaan akan cenderung berlokasi di daerah aglomerasi, sedangkan semakin akhir life cycle nya maka perusahaan tersebut akan cenderung berlokasi di daerah perifer.

Hal ini terjadi karena semakin awal life cycle produk tersebut, semakin abstrak dan tinggi ilmu yang dibutuhkan untuk mendesain dan mengembangkan produk tersebut, sedangkan semakin akhir dari life cycle produk tersebut, maka semakin jelas apa best practice dari produk tersebut dan strategi produksi serta distribusinya.
 
4. Model Porter
Porter berfokus pada konsep competitiveness dibandingkan profitability. Competitiveness mencakup seluruh proses produksi dan distribusi, tidak hanya apakah menghasilkan untung atau tidak. Dengan adanya klaster, Porter berargumen bahwa perusahaan dapat meningkatkan laju pertukaran informasi serta komunikasi, sehingga akhirnya dapat meningkatkan inovasi.

Terdapat 3 faktor fundamental inovasi, yaitu kebaruan, perbaikan, dan pengurangan risiko. Perusahaan akan terdorong untuk meningkatkan inovasi agar dapat mencapai posisi monopoli terhadap kompetitornya, hal ini dapat diwujudkan dalam strategi branding, pembuatan produk baru, atau perbaikan produk lama.
 
5. Model New Industrial Areas
Model new industrial area meliputi aglomerasi industri seperti silicon valley, Cambridge cluster, dan Emilia Romagna manufacturing cluster. Menurut observasi, klaster ini berdasar pada model jaringan sosial, karena terdiri dari perusahaan yang ukurannya berbeda namun satu sektor. Umumnya perusahaan di klaster ini bersifat kooperatif dan tidak berkompetisi satu dengan yang lainnya.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Aglomerasi Ekonomi: Pengertian, Faktor, Jenis, dan Teorinya"