Pahlawan Revolusi: Pengertian, Daftar dan Profilnya

Pengertian Pahlawan Revolusi
Pahlawan Revolusi

A. Pengertian Pahlawan Revolusi
Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diserahkan kepada sebanyak perwira militer yang gugur dalam tragedi Pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) G30S/PKI yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30 September 1965. Gelar Pahlawan Revolusi diberikan oleh pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 1965 melalui Keputusan Presiden. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini dinyatakan juga sebagai Pahlawan Nasional.

B. Daftar Pahlawan Revolusi
Beriku adalah korban peristiwa G30S PKI yang kemudian diberi gelar pahlawan revolusi oleh pemerintah. Hingga sekarang mereka telah dikenal sebagai pahlawan nasional.
1. Jenderal TNI Ahmad Yani
Jenderal TNI Ahmad Yani adalah salah satu korban dari peristiwa G30S PKI yang kini dikenal sebagai pahlawan revolusi. Beliau diketahui lahir di Purworejo, Jawa Tengah. Jenderal Ahmad Yani lahir pada tanggal 19 Juni 1922. Pada waktu muda, beliau pernah mengikuti wajib militer dan berperan sebagai tentara Hindia Belanda. Lalu saat Jepang menjajah Indonesia, Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA).

Kemudian setelah Indonesia merdeka, Ahmad Yani mulai bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia yang waktu itu masih memiliki nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ahmad Yani menjadi seorang komandan tentara di wilayah Magelang. Beliau berhasil mempertahankan kota tersebut dari serangan tentara Inggris setelah adanya proklamasi kemerdekaan.

Selain itu, Ahmad Yani juga pernah melakukan perang gerilya saat melawan Belanda di peristiwa agresi militer Belanda. Setelah adanya pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, beliau lalu ditarik ke Kota Tegal, Jawa Tengah. D i kota tersebut Ahmad Yani bersama pasukan khususnya yaitu Banteng Raiders. Di mana mereka berhasil menumpas dan mengalahkan pemberontakan Darul Islam yang dulu dibentuk oleh Kartosuwiryo.

Dari prestasinya tersebut, akhirnya membuat pihak pemerintah Indonesia mengirim Ahmad Yani untuk mengikuti kursus militer di Amerika Serikat. Di sana Ahmad Yani dipersiapkan untuk menjadi calon jenderal. Lalu, setelah pulang ke Indonesia, beliau ditarik lagi ke Markas Besar TNI Angkatan Darat yang berlokasi di Jakarta dan menjadi staf umum Jenderal AH Nasution.

Pada tahun 1958, Ahmad Yani berhasil meredam pemberontakan PRRI yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein di Sumatera Barat. Prestasi tersebut kemudian membuat Ahmad Yani dilantik menjadi Panglima Angkatan Darat. Beliau di sana menggantikan Jenderal AH Nasution.

Pada tanggal 30 September 1965 dini hari, Ahmad Yani diculik oleh pasukan yang bernama Cakrabirawa yang dipimpin langsung oleh Letnan Kolonel Untung. Di mana mereka berafiliasi dengan PKI. Saat diculik di kediamannya, Ahmad Yani ditemukan sudah tewas dengan luka tembak yang dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa. Jasad Ahmad Yani kemudian dibawa, lalu dimasukkan ke dalam sumur yang ada di wilayah lubang buaya.

Jasadnya bersama dengan korban yang lainnya berhasil diangkat pada tanggal 4 Oktober 1965. Kemudian, Ahmad Yani dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan yang ada di daerah Kalibata, Jakarta. Setelah itu, pemerintah Indonesia memberikan gelar kepada Ahmad Yani sebagai Pahlawan Revolusi.

2. Mayor Jenderal Siwondo Parman
Pahlawan revolusi yang kedua adalah Mayor Jenderal Siswondo Parman. Beliau lahir pada tanggal 14 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau sempat masuk ke sekolah kedokteran. Akan tetapi berhenti setelah Jepang menjajah Indonesia.

Dimasa kekuasaan Jepang, Parman bekerja sebagai polisi militer. Saat itu pekerjaan itu memiliki sebutan Kempetai. Tak lama setelah itu, Parman akhirnya dikirim ke Jepang untuk mengikuti pelatihan intelijen. Namun setelah Jepang sudah tidak menjajah Indonesia, Parman beralih menjadi seorang penerjemah.

Karir militer Parman di TNI dimulai saat beliau bergabung di TKR atau Tentara Keamanan Rakyat. Parman bergabung di TKR setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Beberapa bulan kemudian, Parman diangkat menjadi kepala staf polisi militer yang berada di Yogyakarta.

Hanya butuh waktu beberapa tahun saja, Parman sudah naik jabatan menjadi kepala staf Gubernur militer di Jabodetabek yang berpangkat Mayor. Adapun prestasi yang pernah Parman lakukan yaitu menggagalkan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA. Di mana pasukan tersebut dipimpin langsung oleh Raymond Westerling yang kemudian membuat Parman dikirim untuk sekolah polisi militer di Amerika.

Beliau sempat menduduki jabatan di markas besar Polisi Militer Indonesia, menjadi atase di militer Indonesia yang ada di London serta Inggris, bahkan memegang jabatan di Departemen Pertahanan Indonesia. Kemudian setelah itu, Parman diambil lagi ke Indonesia untuk dijadikan asisten intelijen bagi KSAD Jenderal Ahmad Yani.

Pada tanggal 30 September 1965, Parman diculik oleh pasukan Cakrabirawa di kediamannya. Kemudian beliau dibawa paksa ke Lubang Buaya yang ada di wilayah Halim Perdana Kusuma. Di tempat itu, Parman ditembak bersama dengan beberapa perwira lainnya.

Jasadnya kemudian dimasukkan ke dalam sumur dan ditumpuk dengan jasad korban lainnya yang sudah dibunuh oleh PKI. Setelah jasad mereka ditemukan, kemudian pemerintah memberi gelar korban PKI sebagai pahlawan revolusi.

3. Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan
Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara pada tanggal 9 Juni 1925. Ketika jepang menguasai Indonesia, Pandjaitan baru saja menyelesaikan sekolahnya. Kemudian setelah tamat SMA, beliau menjadi anggota Gyugun atau bisa disebut sebagai tentara sukarela di wilayah Pekanbaru, Riau.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Pandjaitan mulai bergabung di dalam Tentara Keamanan Rakyat atau TKR yang baru saja dibentuk. Pertama bergabung, beliau menjabat sebagai komandan batalyon. Kemudian Ia ditugaskan menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.

Namun tak lama dari itu, Ia beralih menjadi Kepala Staf Umum IV di Komandemen Tentara Sumatera. Kemudian Ia menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia saat terjadi Agresi Militer Belanda yang ke I dan II.

Setelah adanya pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Pandjaitan naik jabatan yaitu menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di wilayah Medan. Lalu, Ia juga beralih menjadi Kepala Staf T dan T II/Sriwijaya.

Pada Tahun 1963, Ia dikirim ke Amerika Serikat guna mengikuti kursus militer di Associated Command and General Staff College di wilayah Fort Leavenworth. Pandjaitan juga sempat ditugaskan menjadi atase militer Indonesia di wilayah Bonn pada tahun 1960. Sebelumnya, Ia pernah mengikuti kursus atase militer pada tahun 1965. Setelah itu, dua tahun kemudian Ia ditugaskan kembali sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di bagian logistik.

Kemudian pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Pandjaitan diculik oleh pasukan Cakrabirawa dan menjadi salah satu korban G30S PKI. Hingga sekarang, Pandjaitan telah dikenal sebagai pahlawan revolusi.

4. Mayjen M.T Haryono
Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono atau biasa dikenal dengan nama Mayjen MT Haryono ini lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 20 Januari 1924. Setelah merampungkan pendidikan dasarnya, ia juga sempat menempuh pendidikan di Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran) di zaman Jepang, meskipun tidak sampai tamat karena Jepang menyerah.

Selepas proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, MT Haryono bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan juga memperoleh pangkat yakni Mayor. Pada masa mempertahankan kemerdekaan, MT Haryono beberapa kali mendapatkan tugas sebagai anggota delegasi Indonesia ketika perundingan dengan Inggris dan Belanda seperti pada Konferensi Meja Bundar (KMB).

Kemampuannya ketika berunding dan memahami beberapa bahasa asing seperti bahasa Jerman, Belanda, dan Inggris menjadikan dirinya didaulat sebagai atase militer Indonesia di Belanda. Setelah itu, dirinya kemudian kembali ke Indonesia dan diangkat menjadi Asisten atau Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani bagian pembinaan dan perencanaan.

5. Mayjen R. Suprapto
Mayjen R. Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada tanggal 20 Juni 1920. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, Suprapto lalu mengikuti sebuah pelatihan militer di Koninklijke Militaire Akademie yang berada di Bandung. Namun tak sampai selesai karena Jepang menguasai Indonesia.

R. Suprapto kemudian ditahan dan dimasukkan ke penjara. Akan tetapi dirinya berhasil melarikan diri. Ia juga sempat mengikuti sebuah pelatihan bernama keibodan, syuisyintai, dan seinendan yang diadakan oleh Jepang. Setelah itu, dirinya memutuskan bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.

Sama halnya dengan MT Haryono, selepas Indonesia merdeka R. Suprapto juga bergabung ke dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Dirinya berperan langsung dalam sebuah pertempuran Ambarawa bersama Jenderal Sudirman melawan tentara Inggris.

Setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda, R. Suprapto ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Selepas itu, ia pindah ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat dan Kementerian Pertahanan.

Beberapa tahun kemudian, R. Suprapto kemudian dilantik menjadi Deputi (Wakil) Kepala Staf Angkatan Darat bagi daerah Sumatera yang berada di Medan. Hingga akhirnya, ia kembali ke Jakarta sebagai salah satu perwira tinggi Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 waktu dini hari, R Suprapto dijemput oleh Pasukan Cakrabirawa dengan dalih dipanggil menghadap kepada Presiden Soekarno. Suprapto kemudian dibawa ke daerah Halim Perdanakusuma atau lebih tepatnya berada di lubang buaya.

6. Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo lahir di daerah Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 28 Agustus 1922. Setelah menuntaskan pendidikannya di AMS, dirinya kemudian menuntut ilmu di Sekolah Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta. Setelah tamat sekolah dirinya kemudian bekerja menjadi pegawai pemerintah di Purworejo, dan berhenti bekerja pada tahun 1944.

Pasca Indonesia merdeka tahun 1945, Sutoyo Siswomiharjo atau biasa dipanggil dengan nama pak Toyo memutuskan untuk bergabung dengan satuan Polisi Tentara Keamanan Rakyat. Tak lama kemudian ia memperoleh tugas menjadi seorang ajudan dari Jenderal Gatot Subroto yang masa itu menjabat sebagai komandan polisi militer.

Setelah lama bertugas di polisi militer, Sutoyo Siswomiharjo akhirnya menjabat menjadi kepala staf Markas Besar Polisi Militer di tahun 1954. Hanya beberapa tahun menjabat kemudian dirinya memperoleh tugas menjadi asisten atase militer di kedubes Indonesia di Inggris.

Selepas menyelesaikan sekolah staf dan komando di Bandung pada tahun 1960, Sutoyo ditugaskan menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat. Setelahnya, ia lalu naik sebagai Inspektur Kehakiman atau Jaksa Militer Utama dengan pangkat yaitu Brigadir Jenderal TNI.

Sutoyo Siswomiharjo termasuk ke dalam salah satu daftar perwira tinggi di Angkatan Darat yang diculik oleh pasukan Cakrabirawa. Kala itu, Sutoyo dijemput oleh pasukan Cakrabirawa di rumahnya. Kemudian dibawa ke lubang buaya yang berada di daerah Halim Perdanakusuma.

7. Kapten Czi. Pierre Tendean
Nama Lengkap dari Kapten Czi. Pierre Tendean adalah Pierre Andries Tendean. Dirinya biasa dikenal dengan nama Pierre Tendean lahir pada tanggal 21 Januari 1939. Semenjak kecil dirinya sudah memiliki cita-cita sebagai seorang tentara. Setelah menuntaskan sekolahnya, kemudian ia bergabung di sekolah militer Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD). Selama sekolah, ia bahkan sempat berpartisipasi dalam sebuah operasi militer memberantas pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di daerah Sumatera.

Selepas lulus, Pierre pun mendapat tugas menjadi seorang Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan dengan pangkat yaitu Letnan Dua. Beberapa tahun kemudian dirinya bergabung di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD). Dari situ ia memperoleh tugas sebagai intelijen di Malaysia saat Indonesia dan Malaysia mengadakan konfrontasi.

Dari situ, Pierre kemudian naik pangkat sebagai letnan satu dan ditarik sebagai seorang ajudan Jenderal A.H Nasution. Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Pasukan Cakrabirawa datang untuk menculik Jenderal A.H Nasution yang menjadi target utama.

Namun karena waktu yang sangat mendesak, pasukan Cakrabirawa tidak dapat membedakan antara Pierre Tendean dan A.H Nasution sehingga mereka membawa Pierre Tendean. Kemudian A.H Nasution berhasil melarikan diri dengan melompati pagar rumahnya tetapi dia mengalami luka pada kakinya.

Setelah itu, Pierre Tendean disiksa dan dieksekusi mati bersama dengan perwira tinggi Angkatan Darat lain yang telah diculik sebelumnya. Kemudian, Jasad Pierre Tendean dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya daerah Halim Perdanakusuma.

Itulah 7 pahlawan revolusi yang perlu kita ketahui. Semuanya gugur karena dibunuh oleh anggota PKI. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pahlawan revolusi adalah sebuah gelar yang diberikan kepada para perwira militer yang telah gugur dalam tragedi yang terjadi di tanggal 30 September 1965 atau tepatnya pada tanggal 1 Oktober dini hari. Sejak berlakunya UU nomor 20 Tahun 2009, gelar pahlawan revolusi juga telah diakui sebagai gelar Pahlawan Nasional.

Daftar pahlawan revolusi di atas merupakan sebagian dari pahlawan nasional yang perlu kita ingat perjuangan dan pengorbanannya. Nyawa telah mereka taruhkan untuk membela negeri kita ini. Jadi, sudah sepatutnya kita mengingat perjuangan mereka serta mengamalkan sikap dan sifat baik mereka untuk kemajuan bangsa serta negara.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pahlawan Revolusi: Pengertian, Daftar dan Profilnya"