Pengertian Hibah dan Ketentuannya

Table of Contents
Pengertian Hibah atau Hadiah dan Ketentuannya
Hibah (Hadiah)

A. Pengertian Hibah (Hadiah)

Hibah (hadiah) secara bahasa berarti pemberian kepada orang lain secara sukarela. Hibah mengacu pada sesuatu yang diberikan saat pemilik masih hidup, bukan saat sudah meninggal. Selain itu, hibah merupakan hadiah yang sering diasumsikan sebagai pemberian tanpa memandang hubungan pernikahan atau pertalian darah.

Dari sudut pandang agama Islam, hibah adalah barang berharga yang bisa diberikan kepada orang lain. Di mana orang tersebut bukan saudara kandung ataupun suami/istri. Pihak penerima hibah tersebut juga tidak diwajibkan memberi sejumlah imbalan atas hadiah yang diterima tersebut. Dengan demikian, tak ada ketetapan apapun yang mengikat setelah barang berharga tersebut diserahterimakan.

Sementara dari sudut pandang hukum bernegara, hibah bisa dipermasalahkan jika wujudnya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang memiliki nilai ekstra tinggi. Bila hal seperti itu terjadi, maka prosedur pemberian hibah ini harus disertai dengan bukti-bukti ketetapan hukum resmi secara perdata. Tujuannya, supaya penerima tidak digugat oleh pihak ketiga, termasuk oleh orang-orang yang termasuk ahli waris di kemudian hari.

Soal hibah ini di negara kita memiliki aturan yang tercantum dalam hukum perdata pasal 166 dan pasal 1667. Aturan tersebut menjelaskan, bahwa hibah ataupun pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak bisa ditarik kembali, baik berupa barang bergerak ataupun harta tidak bergerak ketika sang pemberi masih hidup.

B. Ketentuan Hibah dalam Hukum Negara

Sebagaimana negara memiliki aturan dalam pengertian dan pemberian hibah, berikut adalah ketentuan yang harus dipenuhi perihal pemberlakuannya menurut hukum negara.
1. Harta berupa tanah dan bangunan harus disertai dengan akta dari pejabat pembuat akta tanah (PPAT), yaitu berupa akta hibah.
2. Harta tanah tidak dikenai PPh jika diberikan dari orang tua kepada anak kandung.
3. Harta tanah dikenai PPh sebesar 2,5% dari harga tanah berdasarkan nilai pasar (jika dilakukan sesama saudara kandung).
4. Harta berupa harta atau barang bergerak harus dilakukan dengan akta notaris.
5. Harta adalah objek yang diberikan saat pemberi masih hidup.
6. Harta yang diberikan saat pemberi sudah meninggal dunia disebut wasiat. Wasiat dapat dibuktikan dengan surat yang diakui secara perdata.
7. Harta harus diberikan pada penerima yang sudah ada atau sudah lahir, tidak bisa diberikan kepada penerima yang belum lahir.
8. Pemberian harta bersifat final dan tidak bisa ditarik kembali.

Ketentuan pajak hibah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pemberian dalam bentuk hibah bisa dikenakan pajak karena dianggap sebagai bagian dari obyek pajak. Pada hakikatnya, hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lainnya dan penerimaan atas hasil hibah tersebut dinamakan sebagai bentuk penghasilan. Kendati demikian, tidak semua hibah masuk dalam kategori obyek pajak.

Mengacu pada Pasal 4 ayat 3 huruf a UU PPh tahun 1984, ada beberapa jenis penerimaan atau hibah atau hadiah yang tidak termasuk dalam obyek pajak di antaranya,
Bantuan atau sumbangan
Segala bentuk hibah yang berbentuk bantuan ataupun sumbangan, termasuk di dalamnya zakat yang diterima oleh badan amil zakat dan diberikan lagi kepada penerima yang berhak.

Hibah harta oleh keluarga sedarah
Tak ada pajak yang dibebankan pada hibah dalam bentuk harta yang diterima oleh keluarga sedarah dalam satu garis keturunan. Termasuk di dalamnya organisasi pendidikan, sosial, ataupun keagamaan dan orang pribadi yang menjalankan UMKM. Asalkan, pemberian ini tidak berdasarkan adanya hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, ataupun penguasaan di antara pihak yang bersangkutan.

Berbagai jenis penerimaan yang dikecualikan dari obyek pajak ini dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan atas hukum negara. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment