Pengertian Omnibus Law Cipta Kerja, Isi, dan Poin-poinnya

Pengertian Omnibus Law Cipta Kerja atau Omnibus Law atau Omnibus Bill
Omnibus Law (Omnibus Bill)

A. Pengertian Omnibus Law Cipta Kerja
Omnibus Law (Omnibus Bill) adalah Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk mencabut, menambah, dan mengubah beberapa UU sekaligus menjadi lebih sederhana. Kata ‘omnibus’ berasal dari Bahasa Latin, yang artinya ‘untuk semua’. Artinya, omnibus bersifat lintas sektor atau UU sapu jagat.

Mengutip dari demajusticia, konsep Omnibus Law bermuara pada negara yang menganut sistem hukum Common Law System, seperti Amerika Serikat. Sementara Indonesia menganut Civil Law System yang lebih mengutamakan kodifikasi hukum agar ketentuan hukum dapat efektif sebagaimana yang diharapkan.

Pengertian UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja merupakan bagian dari Omnibus Law. RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019 lalu. Ada tiga hal yang disasar pemerintahan Joko Widodo melalui Omnibus Law, yakni UU Perpajakan, Cipta Kerja, dan Pemberdayaan UMKM. Sejauh ini, terdapat 74 UU yang akan terdampak Omnibus Law.

UU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata. UU Cipta Kerja merupakan upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Banyaknya UU yang tumpang tindih di Indonesia membuat pemerintah mencoba menyelesaikannya dengan Omnibus Law, salah satunya ketenagakerjaan. Setelah disahkan oleh DPR, UU Cipta Kerja akan merevisi isi sejumlah pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

B. Isi UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
UU Cipta kerja ini terdiri atas 11 klaster pembahasan dengan beberapa poin di dalamnya, di antaranya,
1. Penyederhanaan perizinan berusaha
2. Persyaratan investasi
3. Ketenagakerjaan
4. Kemudahan dan perlindungan UMKM
5. Kemudahan berusaha
6. Dukungan riset dan inovasi
7. Administrasi pemerintahan
8. Pengenaan sanksi
9. Pengadaan lahan
10. Investasi dan proyek pemerintahan
11. Kawasan ekonomi

Dari sebelas klaster tersebut, tentunya ada ratusan pasal dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Namun dalam hal ini akan dipaparkan sejumlah pasal berkaitan langsung dengan ketenagakerjaan sebagaimana yang jadi perhatian banyak kalangan.

C. Poin-Poin UU Omnibus Law Cipta Kerja
Jika disandingkan dengan undang-undang pendahulunya, pada UU Cipta Kerja ini ada beberapa perbedaan terkait kebijakan ketenagakerjaan. Terdapat perubahan dan penghapusan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU 13/2003. Berikut poin-poin perubahan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan 13/2003:
1. Jam Kerja/Hari Libur
Poin terkait jam kerja atau hari libur dalam UU baru ini adalah:
a. Jam Kerja
Waktu kerja lembur menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.
Pada UU sebelumnya, disebutkan waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

b. Hari Libur Mingguan
Hari libur bekerja atau istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja.
Artinya, dalam seminggu hari kerja sebanyak 6 hari itu liburnya 1 hari.
Ini berbeda dengan UU 13/2003 yang mencantumkan bahwa istirahat mingguan sesuai Pasal 79 ayat (2) huruf b ada 2 pilihan, yakni istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

c. Istirahat Panjang
Tidak ada kewajiban bagi perusahaan atas pemberian istirahat panjang.
Jadi, hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus yang selama ini berlaku di UU sebelumnya itu diserahkan sebagai kewenangan perusahaan.

d. Cuti Haid
Tidak tercantum cuti haid bagi perempuan di hari pertama dan kedua.
Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti haid diubah atau dihilangkan
Dalam Pasal 81 UU 13/2003 diatur bahwa pekerja/buruh perempuan bisa memperoleh libur pada saat haid pertama dan kedua pada saat haid.

e. Cuti Hamil-Melahirkan
Tidak tercantum mengenai cuti hamil dan melahirkan.
Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti hamil-melahirkan diubah atau dihilangkan.
Pada UU sebelumnya Pasal 82, diatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di dalamnya termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran.

f. Hak Menyusui
Tidak tercantum mengenai hak menyusui.
Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait hak menyusui diubah atau dihilangkan.
Sebelumnya dalam Pasal 83 UU 23/2003 diatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

2. Status Pekerja/Karyawan
Pasal mengenai PKWT yang ada di UU Ketenagakerjaan dihapus. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Artinya, tidak ada batasan aturan pekerja bisa dikontrak alias status kontrak tanpa batas.
Pasal dalam UU 13/2003 yang dihapus ini adalah Pasal 59, yang mengatur perjanjian PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.
Jika mengacu pada penjelasan Pasal 59 ini, artinya masa kontrak pekerja maksimal 3 tahun, dan setelah itu dilakukan pengangkatan atau tidak dilanjutkan.

3. Upah
Aturan mengenai pengupahan diubah menjadi 7 kebijakan, di antaranya,
a. Upah minimum
b. Struktur dan skala upah
c. Upah kerja lembur
d. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
e. Bentuk dan cara pembayaran upah
f. Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah
g. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya

Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan ada 11 kebijakan pengupahan.
4 ketentuan terkait pengupahan pada UU 13/2003 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja ini adalah:
a. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
b. Upah untuk pembayaran pesangon
c. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan
d. Denda dan potongan upah

a. Upah Satuan Hasil dan Waktu
Dalam UU Cipta Kerja ini, diatur mengenai upah satuan hasil dan waktu.
Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Ini termasuk juga upah per jam.
Upah satuan hasil ini ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.

b. Upah Minimum
Di UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, upah minimum disebutkan hanya berupa Upah Minimum Provinsi (UMP).
Artinya, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tidak digunakan lagi.
Sehingga penentuan upah minimum berdasarkan provinsi atau UMP.

c. Rumus Penghitungan Upah Minimum
Dalam menghitung besar upah minimum, dalam UU Cipta Kerja digunakan rumus:
UMt + 1 = UMt + (UMt) x % PEt)
Keterangan:
UMt: Upah minimum tahun berjalan
PEt: Pertumbuhan ekonomi tahunan
Tidak memasukkan perhitungan inflasi, tetapi menjadi pertumbuhan ekonomi daerah

Rumus penghitungan upah minimum dalam UU 13/2003 adalah:
UMt + {UMt, x (INFLASIt + % Δ PBDt)}
Keterangan:
UMt: Upah minimum yang ditetapkan
UMt: Upah minimum tahun berjalan
INFLASIt: Inflasi tahunan
Δ PDBt: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahunan

d. Bonus
Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja diatur mengenai pemberian bonus, atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai masa kerjanya.
Sementara itu dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya tidak diatur terkait dengan pemberian bonus ini.

4. Pesangon
Berikut beberapa poin mengenai pesangon dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan:
a. Uang Penggantian Hak
Tidak ada uang penggantian hak dalam UU Cipta Kerja.
Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengenai uang penggantian hak ini diatur dalam Pasal 154 ayat (4).

b. Uang Penghargaan Masa Kerja
Tidak ada uang penghargaan masa kerja 24 tahun dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.
Sebelumnya, dalam UU 13/2003 ini terkait pemberian uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah, yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (3).

c. Uang Pesangon
Terkait pesangon dalam UU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:
a) Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan
b) Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan
c) Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.
d) Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga jika pekerja/buruh meninggal
e) Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.

Sedangkan aturan mengenai uang pesangon dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 sebagai berikut:
a) Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena melakukan pelanggaran setelah diberi surat peringatan yang diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian perusahaan atau perjanjian kerja sama (diatur dalam Pasal 161).
b) Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perubahan status atau penggabungan perusahaan maupun perubahan kepemilikan perusahaan, sebesar 1 kali gaji, uang penghargaan masa kerja 1 kali, uang penggantian hak (diatur dalam Pasal 156).
c) Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi dan pailit (sesuai Pasal 164 dan 165)
d) Pemberian uang santunan pada ahli waris atau keluarga pekerja jika pekerja/buruh meninggal dunia.
e) Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun. Pesangon diberikan sebanyak 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak (sesuai Pasal 156 dan 167).

5. Jaminan Sosial
Pengaturan mengenai jaminan sosial dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU 13/2003 di antaranya,
1. Jaminan Pensiun
Tidak ada sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun.
Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan diatur bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp500.000.000.

2. Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Adanya pengaturan program jaminan sosial baru, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Jaminan kehilangan pekerjaan ini sebelumnya tidak diatur dalam UU 13/2003.

6. PHK
Berikut perbedaan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 dibanding UU Ketenagakerjaan ini.
Boleh Melakukan PHK
Dalam UU 13/2003, ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK, di antaranya,
a. Perusahaan bangkrut
b. Perusahaan tutup karena merugi
c. Perubahan status perusahaan
d. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
e. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
f. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
g. Pekerja/buruh mengundurkan diri
h. Pekerja/buruh meninggal dunia
i. Pekerja/buruh mangkir

Sementara itu, pada UU Omnibus Law Cipta Kerja ini bertambah 5 poin lagi, sehingga totalnya menjadi 14 alasan yang memperbolehkan perusahaan melakukan PHK, yaitu:
a. Perusahaan melakukan efisiensi
b. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
c. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
d. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
e. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pengertian Omnibus Law Cipta Kerja, Isi, dan Poin-poinnya"