Pengertian Financial Distress, Penyebab, Jenis, Cara Menangani, dan Contohnya

Table of Contents
Pengertian Financial Distress atau Kesulitan Keuangan
Financial Distress

A. Pengertian Financial Distress

Financial Distress (kesulitan keuangan) adalah suatu kondisi keuangan perusahaan sedang dalam masalah, krisis atau tidak sehat yang terjadi sebelum perusahaan mengalami kebangkrutan. Financial distress terjadi ketika perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban debitur karena mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya lagi.

Financial Distress ditandai dengan adanya penundaan pengiriman, kualitas produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank. Apabila kondisi financial distress ini diketahui, diharapkan dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki situasi tersebut sehingga perusahaan tidak akan masuk pada tahap kesulitan yang lebih berat seperti kebangkrutan ataupun likuidasi.

Financial Distress Menurut Para Ahli
1. Platt HD dan Platt MB  dalam Journal Of Economic tahun 2002, financial distress merupakan suatu tahap penurunan kondisi finansial yang terjadi pada perusahaan yang sebelumnya mengalami likuidasi atau kebangkrutan.
2. Brahmana (2007), suatu perusahaan bisa disebut sedang mengalami financial distress atau kesulitan keuangan jika perusahaan itu menunjukkan sejumlah angka negatif pada laba operasi, laba bersih, dan nilai buku ekuitas tersebut terjadi merger.
3. Hanifah (2013) financial distress adalah adanya perusahaan yang cenderung mengalami kesulitan likuiditas yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan perusahaan yang semakin lama semakin menurun dalam hal pemenuhan kewajibannya kepada pihak kreditur.
4. Bringham dan Daves (2002), financial distress dimulai ketika perusahaan tidak bisa memenuhi jadwal pembayaran atau ada indikasi bahwa perusahaan belum bisa menunaikan kewajiban.
5. Darsono dan Ashari (2005), financial distress yaitu ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo dan mengalami kebangkrutan.
6. Gamayuni (2011), financial distress adalah kondisi sulit keuangan atau likuiditas yang merupakan awal dari terjadinya kebangkrutan di sebuah perusahaan.
7. Platt dan Almilia (2002), financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan pada sebuah perusahaan dan terjadi sebelum kebangkrutan.
8. Santosa (2007), financial distress merupakan kondisi kesulitan untuk memenuhi kewajiban perusahaan atau kesulitan likuiditas yang diawali dengan kesulitan ringan sampai menjadi serius sehingga jumlah utang lebih besar daripada aset.

B. Penyebab Financial Distress

Setiap masalah keuangan dalam suatu perusahaan pasti memiliki penyebab, begitu pula dengan financial distress di antaranya,
1. Struktur modal kurang
2. Menggunakan alat dan metode yang ketinggalan zaman
3. Tidak memiliki catatan keuangan mumpuni
4. Tidak ada pengendalian kredit
5. Tidak ada perencanaan bisnis
6. Ketidakmampuan memahami kondisi pasar
7. Tidak memiliki backup plan
8. Kurangnya pengetahuan pemilik usaha soal bisnis
9. Kurang bekerja keras
10. Tidak mau mendelegasikan tanggung jawab ke pihak yang lebih mengerti

Sementara menurut Damodaran (1997), terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan financial distress di antaranya,
1. Kesulitan Arus Kas
Kondisi ini terjadi saat penerimaan pendapatan perusahaan yang didapat dari hasil kegiatan operasi ternyata tidak cukup untuk menutupi berbagai beban usaha yang muncul karena aktivitas operasi perusahaan. Selain itu, kesulitan arus kas juga bisa dikarenakan adanya kesalahan manajemen saat mengelola aliran kas perusahaan dalam melakukan pembayaran berbagai operasional perusahaan yang bisa memperburuk kondisi finansial perusahaan.

2. Besarnya Jumlah Utang
Kebijakan dalam mengambil utang biasa dilakukan perusahaan untuk bisa menutupi biaya yang muncul karena operasi perusahaan, dan hal ini akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk mengembalikan utang tersebut di masa depan. Saat tagihan utang sudah jatuh tempo, namun perusahaan tidak memiliki dana yang cukup untuk melunasi tagihan utang tersebut, maka kemungkinan pihak kreditur akan menyita aset perusahaan untuk menutupi kekurangan pembayaran tagihan utang.

3. Kerugian Kegiatan Operasional Perusahaan Dalan Beberapa Tahun
Kondisi ini adalah kondisi kerugian operasional perusahaan yang bisa menyebabkan arus kas negatif pada perusahaan. Kondisi ini bisa terjadi karena adanya beban operasional perusahaan yang lebih besar dalam hal pendapatan yang didapatkan perusahaan.

Walaupun perusahaan mampu mengatasi tiga masalah yang sudah kita bahas di atas, namun belum tentu perusahaan bisa menghindari financial distress, kenapa? Karena masih ada faktor eksternal perusahaan yang bisa menyebabkan terjadinya financial distress. Damodaran (1997) menjelaskan bahwa faktor eksternal perusahaan ini lebih bersifat makro, yang mana ruang cakupannya lebih luas.

Faktor eksternal bisa termasuk kebijakan pemerintah yang mampu menambah beban usaha yang ditanggung perusahaan, contohnya adalah tarif pajak yang meningkat dan mampu menambah beban perusahaan, kebijakan suku bunga pinjaman yang meningkat, yang mana mampu meningkatkan beban bunga yang harus ditanggung perusahaan, dan lain-lain.

C. Jenis Financial Distress

Menurut Gamayuni (2011), terdapat lima bentuk kesulitan keuangan atau financial distress di antaranya,
1. Economic failure. Suatu keadaan pendapatan perusahaan tidak dapat menutup total biaya perusahaan, termasuk biaya modal.
2. Business failure. Suatu keadaan perusahaan menghentikan kegiatan operasional dengan tujuan mengurangi (akibat) kerugian bagi kreditor.
3. Technical insolvency. Suatu keadaan perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban yang jatuh tempo.
4. Insolvency in bankruptcy. Suatu keadaan nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar aset perusahaan.
5. Legal bankruptcy. Suatu keadaan perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum.

Sementara Fahmi (2011), secara umum membagi financial distress atau kesulitan keuangan menjadi empat kategori di antaranya,
1. Financial distress kategori A (sangat tinggi dan benar-benar membahayakan)
Kategori ini memungkinkan perusahaan dinyatakan untuk berada di posisi bangkrut atau pailit. Pada kategori ini memungkinkan pihak perusahaan melaporkan ke pihak terkait seperti pengadilan bahwa perusahaan telah berada dalam posisi bankruptcy (pailit). Dan menyerahkan berbagai urusan untuk ditangani oleh pihak luar perusahaan.

2. Financial distress kategori B (tinggi dan dianggap berbahaya)
Pada posisi ini perusahaan harus memikirkan berbagai solusi realistis dalam menyelamatkan berbagai aset yang dimiliki, seperti sumber-sumber aset yang ingin dijual dan tidak dijual/dipertahankan. Termasuk memikirkan berbagai dampak jika dilaksanakan keputusan merger (penggabungan) dan akuisisi (pengambilalihan).

Salah satu dampak yang sangat nyata terlihat pada posisi ini adalah perusahaan mulai melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pensiun dini pada beberapa karyawannya yang dianggap tidak layak (infeasible) lagi untuk dipertahankan.

3. Financial distress kategori C (sedang dan dianggap masih bisa menyelamatkan diri)
Pada kondisi ini perusahaan sudah harus melakukan perombakan berbagai kebijakan dan konsep manajemen yang diterapkan selama ini, bahkan jika perlu melakukan perekrutan tenaga ahli baru yang dimiliki kompetensi yang tinggi untuk ditempatkan di posisi-posisi strategis yang bertugas mengendalikan dan menyelamatkan perusahaan, termasuk target dalam menggenjot perolehan laba kembali.

4. Financial distress kategori D (rendah)
Pada kategori ini perusahaan dianggap hanya mengalami fluktuasi finansial temporer yang disebabkan oleh berbagai kondisi eksternal dan internal, termasuk lahirnya dan dilaksanakan keputusan yang kurang begitu tepat.

D. Cara Menangani Financial Distress

Adapun beberapa cara ampuh dalam menangani financial distress yang terjadi pada perusahaan di antaranya,
1. Perusahaan bisa menjual beberapa aset utamanya, seperti kendaraan, mesin, gedung, tanah, dll. Dengan menjual aset tersebut, maka perusahaan bisa mengembalikan modal investor dan masih bisa menjalankan operasional perusahaan walau dengan modal yang minim.
2. Perusahaan bisa mengambil tindakan merger dengan perusahaan lain. Merger merupakan kombinasi atas dua atau lebih perusahaan menjadi satu, dimana perusahaan akan mengambil atau membeli seluruh aset dan liabilitas perusahaan, sehingga perusahaan yang melakukan merger memiliki saham minimal 50%.
3. Melakukan batasan belanja modal untuk ekspansi bisnis. Dengan kondisi financial distress, perusahaan tidak harus mengeluarkan modal untuk melakukan ekspansi usaha, modal harus lebih fokus digunakan untuk menghemat keuangan agar lebih efisien.
4. Menerbitkan saham atau obligasi baru. Umumnya, setelah perusahaan mampu mengembalikan modal pada para pihak investor. Maka perusahaan bisa menerbitkan saham ataupun obligasi baru untuk pendanaan jangka panjang dan meningkatkan modal perusahaan.
5. Pengajuan restrukturisasi kredit kepada bank. Cara ini bisa dilakukan jika kondisi perusahaan sudah tidak mampu lagi membayar bunga kredit pada pihak bank, sehingga perusahaan bisa meminta dibuatkan jadwal ulang pengembalian bunga kreditnya.
6. Selain mengajukan restrukturisasi kredit, pihak bank juga nantinya akan menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini dengan cara memberikan kredit tambahan agar dapat mengubah utang bank menjadi modal tambahan agar bisa dimanfaatkan untuk kegiatan operasional perusahaan.
7. Mengajukan permohonan bangkrut, sehingga perusahaan akan dinyatakan legal secara hukum dan bisa dipertanggung-jawabkan kondisi financial distress nya kepada publik. Namun sebelum itu, pihak perusahaan harus melakukan pendekatan dengan kreditur dan membawa rencana reorganisasi perusahaan.

E. Contoh Financial Distress

Sejak pandemi Covid 19 menjadi masalah dunia setahun lalu, banyak perusahaan lokal dan asing yang mengalami financial distress. Kondisi ini diperparah dengan adanya kebijakan lockdown yang membuat banyak sektor seperti pariwisata, transportasi, migas, dan makanan mati suri.

Bahkan per Maret 2021, tercatat ada 133 perusahaan di Amerika Serikat yang mengajukan perlindungan pailit. CNBC pun melaporkan, sekitar 30% restoran di Negara Adidaya tersebut terancam bangkrut dan tutup permanen akibat pandemi. Salah satu perusahaan yang sempat mengajukan pailit dan cukup membuat banyak orang kaget adalah The Hertz Cooperation dan Pizza Hut.

Menurut laporan keuangan terakhir, The Hertz memiliki aset senilai USD 25 miliar dan utang sebesar USD 24 miliar. Agar tidak terjadi tindakan ekstrem seperti kebangkrutan dan PHK pada seluruh karyawan, The Hertz segera meminta perlindungan untuk mendapat pinjaman lunak dari pemerintah Amerika Serikat.

Dalam kasus Pizza Hut, perusahaan waralaba itu mengajukan pailit pada Juli tahun lalu dan terancam tutup permanen karena tidak mampu menggaji karyawan. Kondisi tersebut memengaruhi kondisi franchise-nya di negara lain termasuk Indonesia. Untungnya, hingga saat ini Pizza Hut masih berdiri tegak dan mulai bangkit dari keterpurukannya.

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment