Pengertian Ekstradisi, Unsur, Asas, Jenis, Prosedur, dan Prosesnya

Pengertian Ekstradisi
Ekstradisi

A. Pengertian Ekstradisi
Ekstradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyerahan orang yang dianggap melakukan kriminalitas oleh suatu negara kepada negara lain yang diatur dalam perjanjian antara negara yang bersangkutan. Istilah ekstradisi atau extradition berasal dari bahasa latin ekstradere. Ex artinya ke luar, sedangkan Tradere berarti memberikan atau menyerahkan. Sedangkan dalam bahasa inggris, kata extradition berarti penyerahan.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.

Perjanjian yang tertua yang membahas masalah ekstradisi adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM. Isinya kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang ditemukan di dalam wilayah pihak lain (Nusbaum, 1969).

Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi antara lain yaitu; konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain. Sementara orang yang dapat diekstradisikan di antaranya,
1. Orang tersebut harus dalam pencarian oleh petugas hukum dari suatu negara, baik karena tuduhan melakukan suatu kejahatan dan belum diadili atau karena orang tersebut telah terbukti bersalah tetapi belum menjalani hukuman yang dijatuhkan kepadanya.
2. Dalam banyak kasus, orang tersebut harus bukan warga negara dari negara tempat orang tersebut melarikan diri atau bersembunyi (negara diminta) untuk mengekstradisi.

Ekstradisi Menurut Para Ahli
1. C.S.T. Kansil, ekstradisi adalah pemindahan seseorang dari suatu negara ke negara lain secara paksa untuk diajukan ke depan sidang pengadilan atau dimasukkan penjara untuk suatu kejahatan yang timbul jikalau seseorang yang dituduh atau telah dijatuhi hukuman mencari perlindungan (atau pada waktu itu bertempat tinggal) di negara lain.
2. I Wayan Parthiana, ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya, ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara yang diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara yang meminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan/atau pelaksanaan hukumannya.
3. Budiarto (1980), ekstradisi adalah suatu proses penyerahan tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.

B. Unsur Ekstradisi
Terdapat beberapa unsur dalam hukum ekstradisi menurut Parthiana (2004) di antaranya,
1. Unsur subjek
a. Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sangat berkepentingan untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Untuk mendapat kembali orang yang bersangkutan negara atau negara-negara tersebut harus mengajukan permintaan penyerahan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara atau negara-negara ini berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau dengan singkat disebut negara peminta (The Requesting State).
b. Negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh terdakwa) atau si terhukum itu bersembunyi. Negara ini diminta oleh negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi atau negara peminta, supaya menyerahkan orang yang berada di wilayah itu (tersangka atau terhukum), yang dengan singkat dapat disebut negara-diminta (The Rewuested State).

2. Unsur objek
Yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri (tersangka, tertuduh, terdakwa atau terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara-negara diminta supaya diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut sebagai orang yang diminta. Meskipun dia hanya sebagai objek saja yang menjadi pokok masalah antara kedua pihak, tetapi sebagai manusia dia harus tetap diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga.

3. Unsur tata cara atau prosedur
Unsur ini meliputi tentang tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan tersebut haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua pihak atau apabila perjanjian itu belum ada, juga bisa didasarkan pada saat asas timbal baik yang telah disepakati.

4. Unsur tujuan
Yaitu untuk apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negara peminta kepada negara-diminta oleh karena ia telah melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara/ negara-negara peminta. Atau dia melarikan diri ke negara-diminta setelah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti. Untuk dapat mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan, negara peminta lalu mengajukan permintaan penyerahan atas diri orang tersebut kepada negara-diminta.

C. Asas Ekstradisi
Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1979 dijelaskan bahwa terdapat beberapa asas umum yang dikenal dalam bidang ekstradisi di antaranya,
1. Asas kejahatan rangkap (double criminality), yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan.
2. Asas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak.
3. Asas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri.
4. Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di wilayah yang termasuk atau tidak dianggap termasuk dalam yurisdiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi.
5. Asas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang dari negara yang diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya.
6. Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan yang telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang di negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak (non bis in idem/ne bis in idem).
7. Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan diekstradisikan selain dari pada untuk kejahatan mana ia diserahkan, kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujuinya.

Sementara I Wayan Parthiana menyebutkan bahwa asas-asas ekstradisi di antaranya,
1. Asas kejahatan ganda (double criminality principle), yaitu suatu asas yang mensyaratkan bahwa kejahatan yang dapat dijadikan alasan dalam permohonan ekstradisi atas orang yang diminta adalah kejahatan yang telah diancam hukuman baik hukum pidana dari negara peminta ataupun hukum dari negara yang diminta.
2. Asas kekhususan (principle of speciality), yaitu suatu asas yang mewajibkan negara peminta untuk hanya menuntut, mengadili maupun menghukum orang yang diminta berdasarkan kejahatan yang dijadikan alasan untuk permintaan penyerahan ekstradisinya.
3. Asas tidak menyerahkan warga negara (non extradition of nationals), yaitu suatu asas yang memberikan kekuasaan pada negara-negara untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri yang melakukan kejahatan di dalam wilayah negara lain.
4. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal), yaitu suatu asas yang menyebutkan bahwa apabila alasan untuk permintaan ekstradisi oleh negara peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara diminta harus menolak permintaan tersebut.
5. Asas non bis in idem (ne bis in idem), yaitu suatu asas yang dijadikan alasan untuk permintaan ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata telah diadili dan/atau telah dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat, maka negara yang diminta diharuskan menolak permintaan dari negara peminta tersebut. Asas ini memberikan kepastian hukum jaminan kepastian hukum bagi orang yang pernah dijatuhi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, baik putusan itu merupakan putusan pembebasan ataupun pelepasan dari tuntutan pidana maupun putusan yang berupa penghukuman atas dirinya.
6. Asas daluwarsa atau asas lewat waktu (lapse of time), yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat diserahkan oleh negara yang diminta kepada negara peminta dikarenakan hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa atau lewat waktu menurut hukum dari salah satu maupun hukum dari kedua belah pihak.

D. Jenis Ekstradisi
Terdapat tiga jenis sistem ekstradisi menurut Damaian (1991) di antaranya,
1. Ekstradisi sistem daftar (list system/enumerative system), yaitu sistem yang memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu kejahatan mana yang dapat diekstradisi. Contoh: Perjanjian Ekstradisi antara Inggris dan Amerika Serikat 1969, dalam Pasal 3 menentukan 27 jenis kejahatan atau tindak pidana.
2. Ekstradisi sistem tanpa sistem daftar (eliminative system), yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan apakah suatu kejahatan yang dapat diserahkan atau tidak tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisikan. Contoh: Perjanjian Ekstradisi antara Italia dan Panama 1930 menentukan minimum 2 tahun.
3. Ekstradisi sistem campuran, yaitu campuran antara ekstradisi enumeratif dan ekstradisi eliminatif serta mencantumkan juga kejahatan dengan minimum dan maksimum hukuman yang dapat diekstradisi. Contoh: Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Philipina 1976 dalam pasal II A.

E. Prosedur dan Proses Ekstradisi
Dalam Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi telah diatur tentang bagaimana prosedur dan proses ekstradisi, baik Indonesia sebagai negara diminta maupun Indonesia sebagai negara peminta.
1. Indonesia Sebagai Negara Diminta Ekstradisi
Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1979 tersebut, yang mengatur bahwa prosedur yang harus dilakukan apabila negara lain mengajukan permintaan ekstradisi kepada pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Negara peminta mengajukan permintaan pencarian, penangkapan, dan penahanan sementara (provisional arrest) atas orang yang dicari kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) atau Jaksa Agung Republik Indonesia (Jaksa Agung) dengan menjelaskan mengenai orang yang dicari berikut identitas, tindak pidana yang dilakukan, ancaman hukuman, serta informasi mengenai keberadaannya di Indonesia. Permintaan dimaksud dapat diajukan melalui saluran diplomatik atau melalui Interpol.
b. Kepolisian atau kejaksaan berdasarkan surat permintaan tersebut selanjutnya melakukan pencarian dan melakukan penangkapan dan penahanan sementara sesuai dengan permintaan negara peminta.
c. Setelah orang dicari dapat ditangkap atau ditahan, selanjutnya kepolisian atau kejaksaan melalui saluran diplomatik atau Interpol memberitahu kepada negara peminta, agar negara peminta mengajukan permintaan ekstradisi kepada pemerintah Republik Indonesia (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia/Menkum) paling lambat 20 hari terhitung sejak dilakukan penangkapan atau sesuai perjanjian ekstradisi antara negara peminta dan Indonesia.
d. Jika dalam waktu yang telah ditentukan tersebut pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia/Kemenlu) tidak menerima permintaan ekstradisi dari negara peminta, maka kepolisian atau kejaksaan harus membebaskan orang yang dimintakan ekstradisinya.
e. Permintaan ekstradisi dan berkas persyaratan disampaikan oleh negara peminta kepada Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu) melalui saluran diplomatik. Selanjutnya Menlu memberitahukan kepada Kapolri, Jaksa Agung,  Menkum, dan Mahkamah Agung bahwa permintaan ekstradisi dari negara peminta telah diterima.
f. Menkum  melakukan pengecekan tentang kelengkapan berkas permintaan ekstradisi tersebut yang dikirimkan oleh Menlu. Jika ada kekurangan kelengkapan Menkum akan meminta kepada negara peminta melalui saluran diplomatik untuk melengkapi dokumen yang kurang.
g. Dalam hal belum ada perjanjian ekstradisi, apabila berkas permintaan ekstradisi telah lengkap, Menkum dapat meminta pertimbangan  Kapolri, Jaksa Agung, dan Menlu untuk meminta keputusan Presiden, apakah permintaan ekstradisi tersebut diterima atau ditolak. Jika diterima (disetujui), Menkum meneruskan permintaan ekstradisi tersebut kepada Kapolri untuk diproses. Apabila ditolak, Menkum meminta kepada Menlu untuk memberitahukan penolakan tersebut kepada negara peminta.
h. Dalam hal ada perjanjian ekstradisi, Menkum mengirimkan berkas asli permintaan ekstradisi kepada Kapolri atau Jaksa Agung untuk proses lebih lanjut (tidak memerlukan keputusan Presiden).
i. Kapolri atau Jaksa Agung memerintahkan penyidiknya untuk melakukan tindakan pemeriksaan orang yang dimintakan ekstradisi dan mengajukan berkas perkaranya kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).
j. JPU mempunyai waktu 7 hari untuk mengajukan berkas perkara kepada Pengadilan Negeri (PN) setempat.
k. PN memeriksa perkaranya dengan mengadakan sidang 2 atau 3 kali, kemudian membuat penetapan pengadilan tentang dapat atau tidak orang tersebut diekstradisikan.
l. PN menyampaikan penetapan tersebut kepada Menkum.
m. Setelah menerima penetapan pengadilan, Menkum meminta pertimbangan Kapolri , Jaksa Agung, dan Menlu.
n. Selanjutnya Menkum menyampaikan penetapan pengadilan, pertimbangan Kapolri, Jaksa Agung, dan Menlu kepada Presiden dan meminta keputusan Presiden atas permintaan ekstradisi yang diajukan negara peminta.
o. Presiden mengambil keputusan dan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden tentang apakah permintaan ekstradisi tersebut dikabulkan atau ditolak. Jika ditolak, maka orang yang dimintakan ekstradisi harus segera dibebaskan.
p. Setelah menerima Surat Keputusan Presiden, Menkum memberitahukannya kepada Kapolri, Jaksa Agung, dan Menlu untuk memberitahukannya kepada negara peminta.
q. Menkum juga memberitahukan kepada negara peminta melalui saluran diplomatik dan Interpol mengenai tempat, tanggal, dan jam penyerahan orang yang diekstradisikan.
r. Dalam pelaksanaan penyerahan dari pemerintah Indonesia (diwakili oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) kepada negara penerima (diwakili oleh kedutaan besar negara peminta) dibuat Berita Acara Penyerahan dengan disaksikan oleh staf Kemenlu dan perwakilan Polri.

2. Indonesia Sebagai Negara Peminta Ekstradisi.
Yang dapat mengajukan permintaan ekstradisi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Jaksa Agung Republik Indonesia. Permintaan ekstradisi dilakukan apabila orang yang dicari sudah diketahui keberadaannya secara di suatu negara. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1979 sebagai berikut :
a. Pasal 44 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1979, yang menyebutkan :
Apabila seseorang disangka melakukan sesuatu kejahatan atau harus menjalani pidana karena melakukan sesuatu kejahatan yang dapat diekstradisikan di dalam yurisdiksi Negara Republik Indonesia dan diduga berada di negara asing, maka atas permintaan Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kehakiman Republik Indonesia atas nama Presiden dapat meminta ekstradisi orang tersebut yang diajukan melalui saluran diplomatik.

b. Pasal 45 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1979, yang menyebutkan :
Apabila orang yang dimintakan ekstradisinya tersebut dalam Pasal 44 telah diserahkan oleh negara asing, orang tersebut dibawa ke Indonesia dan diserahkan kepada instansi yang berwenang.

Secara umum, permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi, dan tata krama internasional. Apabila ekstradisi terjadi karena permintaan di luar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara satu negara dengan negara yang lain, baik untuk kepentingan timbal balik ataupun sepihak. Praktek ekstradisi demikian disebut dengan ekstradisi terselubung (disguished extradition atau handing) over).
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment for "Pengertian Ekstradisi, Unsur, Asas, Jenis, Prosedur, dan Prosesnya"