Pengertian Psychological capital (Modal Psikologis), Dimensi, dan Cara Mengembangkannya

Table of Contents
Pengertian Psychological capital atau Modal Psikologis
Psychological capital (Modal Psikologis)

A. Pengertian Psychological Capital (Modal Psikologis)

Psychological capital (Modal Psikologis) adalah suatu kondisi/state psikologis yang positif pada individu yang terbarukan, saling melengkapi dan dapat saling bersinergis. Psychological capital merupakan gambaran yang bersifat positif dari individu yang memiliki karakteristik efikasi diri, optimisme, harapan dan resiliensi yang diukur berdasarkan adaptasi dan modifikasi dari psychological capital questionnaire (PCQ).

Individu dengan psychological capital yang tinggi akan menjadi individu yang fleksibel dan adaptif untuk bertindak dengan kapasitas yang berbeda untuk memenuhi tuntunan secara dinamis. Secara khusus, psychological capital berfokus pada kekuatan daripada kelemahan, kesehatan dan vitalitas, bukan penyakit dan patologi. Psychological capital berbeda halnya dengan modal ekonomi tradisional (traditional economic capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital).

Psychological capital atau modal psikologis secara singkat telah disebutkan dalam berbagai karya tentang ekonomi, investasi, dan sosiologi, namun istilah PsyCap dalam bidang psikologi positif cenderung baru (Luthans, Luthans, & Luthans, 2004). Hal ini dimulai beberapa tahun yang lalu ketika psikolog Martin Seligman melakukan penelitian yang menantang lapangan untuk mengubah dari keasyikan dengan apa yang salah dan disfungsional pada orang-orang, dengan apa yang benar dan baik tentang mereka.

Psychological Capital (Modal Psikologis) Menurut Para Ahli
1. Luthans dkk (2007), modal psikologis sebagai sebuah pengembangan kondisi psikologis yang positif dari seseorang yang memiliki karakteristik memiliki keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk mengeluarkan usaha dalam rangka menyelesaikan tantangan dalam pekerjaan, membuat tekad positif dalam mencapai keberhasilan sekarang dan di masa yang akan datang, tekun dalam pencapaian tujuan, jika perlu membuat jalur dalam mencapai tujuan dalam rangka untuk mencapai keberhasilan, dan ketika mengalami masalah atau kesulitan, mampu bertahan dan bahkan bangkit untuk mencapai kesuksesan.
2. Bakker & Demerouti (dalam Kumara, 2017), modal psikologis diartikan sebagai aspek psikologis individu yang memiliki hubungan dengan rasa gembira dan kemampuan memanipulasi, mengontrol, dan memberi dampak pada lingkungan sesuai keinginan dan kemampuan karyawan, yang ditandai oleh efikasi diri, optimisme, harapan, dan resiliensi
3. Osiwegh (dalam Khasan, 2018), modal psikologis adalah suatu pendekatan yang dicirikan dengan dimensi-dimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja.
4. Lewis (dalam Kaplan & Bickes,2013), psychological capital adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam mencapai kinerja organisasi yang diinginkan.
5. Osigweh (dalam Sukamto 2012), psychological capital adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensi-dimensi yang dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja organisasi.

B. Dimensi Psychological Capital (Modal Psikologis)

1. Dimensi Self Efficacy
Self efficacy adalah kepercayaan untuk sukses. Dalam menjelaskan self efficacy, Luthans berpedoman pada konsep dari Bandura. Menurut (Luthans, dkk, 2007), self efficacy adalah kepercayaan atau keyakinan diri yang dimiliki individu untuk mengarahkan motivasi, kemampuan dan tindakan untuk menyelesaikan suatu tugas atau tantangan. Self efficacy sering disamakan dengan sifat percaya diri, di mana individu tersebut percaya pasti bisa menuntaskan tugas seberat apapun dan kompleks-nya tugas dan pekerjaan tersebut.

Self efficacy yang tinggi mampu mendorong individu untuk menyukai tantangan, mereka percaya dengan kompetensi dirinya, dan yakin bisa mengelola beragam sumber daya untuk menaklukkan segala tantangan. Individu dengan efficacy yang tinggi tidak menunggu tujuan-tujuan yang menantang ditetapkan bagi mereka, sebaliknya mereka terus menerus menguasai diri mereka sendiri dengan tujuan yang semakin lama semakin tinggi.

Dalam teori sosialnya, Bandura (dalam Malik, 2013) menjelaskan self-efficacy sebagai kepercayaan seseorang terhadap kapabilitas dirinya untuk melakukan suatu tugas yang spesifik. Self-efficacy memiliki tiga dimensi di antaranya,
a. Magnitude (ukuran besarnya), terkait level kesulitan tugas yang seseorang percayai dapat merealisasikan;
b. Strength (kekuatan), mengacu pada apakah keyakinan terhadap magnitude kuat atau lemah; dan Generality (keumuman) menunjukkan atau mengindikasikan bagaimana tingkat pengharapan digeneralisasikan pada berbagai situasi.

2. Dimensi Optimisme
Optimisme menurut (Luthans, dkk, 2007) adalah keyakinan yang bersifat realistis dan fleksibel. Optimisme haruslah diikuti dengan disiplin diri, kemampuan kuat untuk menganalisis pengalaman, merencanakan tindakan dan termasuk upaya atas pencegahan akan kondisi yang terburuk (Luthan, 2006). Optimisme tanpa realitas akan membawa individu pada kegagalan, karena seseorang terlalu menaruh harapan yang besar namun tidak mampu mengontrol dirinya untuk tidak mengurangi risiko atau sebuah ancaman yang ada.

Optimisme adalah sejenis keyakinan individu bahwa mereka akan mendapatkan hasil yang positif dalam setiap tugas dan pekerjaan yang mereka lakukan. Ketika dihadapkan pada peristiwa negatif yang menghadang, individu yang memiliki optimisme tinggi selalu melihat kejadian tersebut sebagai sesuatu yang bersifat sementara (temporer) dan bersifat spesifik (artinya tidak akan berlaku di situasi lainnya), sementara individu yang pesimis menginterpretasikan peristiwa-peristiwa buruk yang dihadapinya merupakan suatu yang permanen dan general (artinya akan terjadi pada semua peristiwa) (Luthans & Youssef, 2004).

Dengan cara pandang semacam itu, orang optimis selalu akan melihat kegagalan dengan kacamata “positif”, sehingga mereka tidak akan meratapi kegagalan tersebut dengan kesedihan yang berkepanjangan. Mereka tidak akan terjebak pada masa lalu dan hanya terus melangkahkan kaki ke depan dengan keyakinan positif. Tingkat optimisme dapat dikembangkan ketika individu didorong untuk melihat ketidakpastian di masa depan sebagai kesempatan untuk perkembangan dan kemajuan diri (Luthans & Youssef, 2004).

3. Dimensi Hope
Harapan menurut Luthans, dkk., (2007), adalah sebuah keinginan dan sebuah jalan untuk menuju sukses. (Snyder, dalam Luthans, dkk., 2007) mendefinisikan hope sebagai keadaan psikologis positif yang didasarkan pada kesadaran yang saling mempengaruhi antara: agency (energi untuk mencapai tujuan), path ways (perencanaan untuk mencapai tujuan). Artinya harapan tidak selalu merujuk emosi positif akan masa depan yang lebih baik. Namun yang lebih penting adalah untuk mengindikasikan adanya kecakapan untuk berhasil dan memiliki masa depan yang lebih baik.

Pada komponen ini, individu mampu menciptakan alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan ketika mendapat halangan. Dalam penelitian yang dilakukan Snyder, mendukung bahwa hope adalah keadaan kognitif atau ”berpikir” di mana seseorang mampu menetapkan tujuan -tujuan dan pengharapan yang menantang namun realistis dan kemudian mencoba mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan kemampuan sendiri, energi, dan persepsi kontrol internal.

4. Dimensi Resiliency
Resiliency menurut Luthans, dkk., (2007), adalah kembali ke keadaan semula dan jauh melebihi keadaan sebelumnya. Resiliency adalah kemampuan individu dalam mengatasi tantangan hidup serta mempertahankan energi yang baik, sehingga individu dapat melanjutkan hidup dengan lebih baik. Pandangan dari psikologi klinis, (Masten & Reed, dalam Luthans, dkk., 2007) mendefinisikan resiliency sebagai kumpulan fenomena yang dikarakteristikan oleh pola adaptasi positif pada konteks keterpurukan.

Dalam pendekatan psychological capital definisi ini kemudian diperluas, tidak hanya kemampuan untuk kembali dari situasi keterpurukan, namun juga tentang kemampuan individu untuk selalu terlibat pada kegiatan-kegiatan yang positif dan menantang yang mencerminkan adanya perkembangan diri dan tanggung jawab lebih baik (Luthans, dkk., 2007).

Individu yang memiliki daya resiliensi akan cenderung membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri ketika berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan pada kondisi stres hebat. Stres hebat merupakan kondisi di mana individu berada di bawah tekanan besar baginya. Individu yang resilien memiliki kecakapan untuk terus bertahan ketika dihadapkan pada cobaan ataupun kegagalan. Selama bertahan, mereka terus menciptakan jalan keluar untuk bisa terbebas dari tekanan.

Coutu (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan bahwa seorang yang resilien dikenali sebagai seorang yang:
a. Tabah menerima kenyataan;
b. Berkeyakinan penuh, sering kali ditopang oleh nilai-nilai yang digenggam kuat, bahwa hidup itu penuh arti;
c. Berkemampuan luar biasa untuk berbuat seadanya dan beradaptasi terhadap perubahan yang signifikan.

Sedangkan menurut Wolins (dalam Desmita, 2009), individu yang resilien memiliki tujuh karakteristik di antaranya,
a. Initiative (inisiatif), yang terlihat dari upaya mereka melakukan eksplorasi terhadap lingkungan mereka dan kemampuan individual untuk mengambil peran/ bertindak.
b. Independence (independen), yang terlihat dari kemampuan seseorang menghindar atau menjauhkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan dan otonomi dalam bertindak.
c. Insight (berwawasan), yang terlihat dari kesadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam lingkungannya atau bagi orang dewasa ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan menganalisis mengapa ia salah.
d. Relationship (hubungan), yang terlihat dari upaya seseorang menjalin hubungan dengan orang lain.
e. Humor (humor), yang terlihat dari kemampuan seseorang mengungkapkan perasaan humor di tengah situasi yang menegangkan atau mencairkan suasana kebekuan.
f. Creativity (kreativitas), yang ditunjukkan melalui permainan-permainan kreatif dan pengungkapan diri.
g. Morality (moralitas), yang ditunjukkan dengan pertimbangan seseorang tentang baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan bertindak dengan integritas.

C. Cara Mengembangkan Psychological Capital (Modal Psikologis)

Psychological capital atau modal psikologis seseorang dapat dikembangkan dan ditingkatkan berdasarkan masing-masing dimensinya.
1. Hope. Snyder, Luthans & Jensen (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menyampaikan cara mengembangkan harapan (hope) di antaranya,
a. Mengatur dan menglarifikasi target pribadi dan organisasi yang spesifik dan menantang.
b. Melakukan “metode langkah” untuk memecah target menjadi sublangkah yang dapat diatur sehingga dapat menandai peningkatan dan membuat pengalaman langsung terkait setidaknya kemenangan dan kesuksesan kecil.
c. Mengembangkan setidaknya satu alternatif atau jalan kemungkinan untuk target yang telah disusun dengan disertai rencana tindakan.
d. Akui kesenangan dalam proses bekerja untuk menggapai target, dan jangan hanya fokus pada pencapaian akhir.
e. Bersiap dan bersedialah untuk menekuni rintangan dan permasalahan.
f. Bersiap dan terampil mengetahui kapan dan jalan alternatif mana yang bisa dipilih ketika rute utama menuju pencapaian target tidak lagi dapat dilakukan atau tidak lagi produktif.
g. Bersiap dan pintar dalam mengetahui kapan dan bagaimana menarget kembali untuk menghindari jebakan atau harapan yang salah.

2. Optimisme. Untuk mengembangkan optimisme, Schulman (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan langkah-langkah di antaranya,
a. Identifikasi keyakinan menaklukkan diri ketika dihadapkan pada sebuah tantangan.
b. Evaluasi keakuratan keyakinan.
c. Sekali keyakinan yang tidak berfungsi secara normal tereduksi, ganti dengan keyakinan yang lebih membangun dan akurat yang telah dikembangkan.

3. Resilience. Reivich & Shatte (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan cara pengembangan resiliensi dengan tahapan di antaranya,
a. Hindari jebakan pemikiran negatif ketika suatu hal mulai memburuk.
b. Uji keakuratan keyakinan terhadap permasalahan dan bagaimana mencari solusi jitu.
c. Tetapkan ketenangan dan kefokusan ketika emosi dan stres menyerbu.

4. Self-Efficacy atau Confidence. Self-efficacy atau kepercayaan diri dapat dikembangkan dengan memperhatikan pendekatan yang disusun Bandura (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) di antaranya,
a. Pengalaman ahli atau pencapaian performa. Hal ini sangat potensial untuk mengembangkan kepercayaan diri karena melibatkan informasi langsung terkait sukses. Bagaimanapun, pencapaian tidak secara langsung membangun kepercayaan diri. Proses situasional, seperti tugas yang kompleks, dan proses kognitif, seperti persepsi terhadap kemampuan seseorang, sama-sama berpengaruh terhadap perkembangan percaya diri.
b. Pengalaman atas nama orang lain atau memperagakan. Jika seseorang melihat orang lain seperti diri mereka berhasil dengan usaha yang dipertahankan, mereka akan mulai percaya bahwa diri mereka juga memiliki kapasitas untuk berhasil.
c. Persuasi sosial. Seorang individu yang kompeten dapat membantu mengembangkan kepercayaan diri orang lain dengan mempersuasi atau meyakinkan.
d. Rangsangan atau motivasi fisik dan psikis. Orang-orang sering kali bergantung pada apa yang mereka rasakan, baik secara fisik maupun psikis, untuk mengukur kapabilitas mereka. Bagaimanapun, kondisi fisik dan mental yang sempurna dapat menyebabkan tumbuhnya kepercayaan diri.
 

Dari berbagai sumber

Download

Aletheia Rabbani
Aletheia Rabbani “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan” _ Imam As-Syafi’i

Post a Comment