Pengertian Delinkuensi, Kategori Konsep, Aspek, Faktor, Ciri, dan Bentuknya
Delinkuensi |
A. Pengertian Delinkuensi
Delinkuensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Istilah delinkuensi (delinquency) dari bahasa Latin delinquere, artinya terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas menjadi jahat, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror dan tidak dapat diatur.
Delinkuensi mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun. Sementara perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk perbuatan anti sosial, melawan hukum negara, norma-norma masyarakat dan norma-norma agama serta perbuatan yang menimbulkan keresahan di masyarakat, dan merupakan gejala sakit secara sosial yang dapat mengganggu baik terhadap diri sendiri maupun orang lain yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja.
Perilaku delinkuen yang dilakukan remaja meliputi pelanggaran peraturan yang diberlakukan bagi anak seusianya, seperti membolos sekolah, atau mengonsumsi alkohol di mana perilaku tersebut ilegal. Perilaku delinkuen merupakan suatu bentuk perilaku ilegal yang mencerminkan peran kenakalan yang terus-menerus, di mana perilaku tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan yang sangat serius. Perilaku menyimpang tersebut diartikan oleh orang lain sebagai ancaman terhadap norma legitimasi masyarakat.
Delinkuensi Menurut Para Ahli
1. Walgito (dalam Sudarsono, 1997), istilah delinkuen lebih ditekankan pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak dan remaja, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan.
2. Fuad Hasan (dalam Hadisuprapto, 1997), perilaku delinkuen sebagai perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak dan remaja yang bila dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.
3. Simanjuntak (dalam Sudarsono, 1997), suatu perbuatan disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana seseorang tinggal atau suatu perbuatan anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.
4. Sudarsono (1997), perilaku delinkuen memiliki arti yang luas, yaitu perbuatan yang menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga, akan tetapi tidak tergolong pidana umum maupun khusus.
5. Lewis (dalam Short, 1987), perilaku delinkuen merupakan perilaku ilegal yang dilakukan oleh remaja meliputi, membolos, diasosiasikan dengan remaja yang suka melanggar peraturan, dan melanggar jam malam.
6. Kartono (2014), delinkuensi adalah perilaku jahat anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.
7. Gold dan Petronio (dalam Sarwono, 2016), kenakalan remaja atau juvenile delinquency adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh dirinya sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.
8. Chaplin (2011), delinquency merupakan satu pelanggaran, serangan, kesalahan, atau kejahatan yang relatif minor melawan undang-undang legal, khususnya dilakukan oleh anak-anak muda yang belum dewasa.
9. Ediati (dalam Febianti, 2017), perilaku delinkuensi merupakan perilaku yang melanggar norma sosial, hukum, dan agama yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa atau di bawah usia 18 tahun.
B. Kategori Konsep Delinkuensi
Bynum dan Thompson (1996) mengartikan perilaku delinkuen dalam tiga kategori di antaranya,
1. The Legal Definition
Secara legal perilaku delinkuen diartikan sebagai segala perilaku yang dapat menjadi kejahatan jika dilakukan oleh orang dewasa atau perilaku yang oleh pengadilan anak dianggap tidak sesuai dengan usianya, sehingga anak tersebut dipertimbangkan melakukan perilaku delinkuen berdasarkan larangan yang diberlakukan dalam undang-undang status perilaku kriminal dari pemerintah pusat, negara dan pemerintah daerah.
Namun, tidak semua perilaku pelanggaran dapat dikategorikan sebagai kriminal. Perilaku delinkuen merupakan perilaku yang dilakukan remaja, yaitu meliputi pelanggaran peraturan yang diberlakukan bagi anak seusianya, seperti membolos sekolah, atau mengonsumsi alkohol di mana perilaku tersebut ilegal.
2. The Role Definition
Segi peran memfokuskan arti perilaku delinkuen pada pelaku antisosial daripada perilaku antisosial, pengertian ini mengungkap, ”Siapakah yang melakukan perilaku delinkuen?”. Pengertian mengacu pada individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuen dalam periode waktu yang cukup lama, sehingga kehidupan serta identitas kepribadiannya terbentuk dari perilaku menyimpang (deviant).
Konsep sosiologis yang berhubungan dengan pengertian peran dalam mendeskripsikan perilaku delinkuen, yaitu status sosial dan peran sosial. Status sosial merupakan pengaruh posisi seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam kelompok sosial atau masyarakat. Peran sosial diartikan sebagai perilaku yang diharapkan untuk ditunjukkan dari seseorang yang memiliki status dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.
3. The Societal Response Definition
Pengertian dari segi societal response, menekankan pada konsekuen sebagai akibat dari suatu tindakan dan/atau seorang pelaku yang dianggap melakukan suatu perilaku menyimpang atau delinkuen, di mana audience yang mengamati dan memberi penilaian terhadap perilaku tersebut. Audience adalah kelompok sosial atau masyarakat di mana pelaku menjadi anggotanya.
Berdasarkan ketiga kategori pengertian di atas, Bynum dan Thompson (1996), mengartikan perilaku delinkuen dengan mengkombinasikan ketiga kategori tersebut: “Delinquency reffering to illegal conduct by a juvenile that reflects a persistent delinquent role and results in society regarding the offender as seriously deviant. Deviant is conduct that is perceived by others as violating institutionalized expectations that are widely shared and recognized as legitimate within the society.” (Bynum & Thompson, 1996)
C. Aspek Delinkuensi
Jensen (dalam Sarwono, 2016) membagi kenakalan menjadi empat aspek di antaranya,
1. Kenakalan Remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain.
2. Kenakalan Remaja yang menimbulkan korban materi seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
3. Kenakalan Remaja sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak lain seperti pelacuran dan penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukkan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini.
4. Kenakalan Remaja yang melawan status misalnya mengingkari status sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya.
D. Faktor Delinkuensi
Berbagai teori yang mencoba menjelaskan penyebab kenakalan remaja menurut Jensen (dalam Sarwono, 2016) dapat di golongkan di antaranya,
1. Rational Choice, kenakalan yang dilakukan atas dasar pilihan, interes, motivasi atau kemauannya sendiri.
2. Social Disorganization, yang menyebabkan kenakalan remaja adalah berkurangnya atau menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjaga keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat.
3. Strain, kenakalan disebabkan oleh tekanan yang besar dalam masyarakat.
4. Differential Association, kenakalan remaja akibat salah pergaulan.
5. Labeling, pemberian label atau dicap atau dianggap “anak nakal” .
6. Male Phenomenon, anak laki-laki lebih nakal daripada anak perempuan.
E. Ciri Delinkuensi
Remaja delinkuen itu mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak delinkuen (Kartono, 2014) di antaranya,
1. Perbedaan struktur intelektual
Terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang berbeda, biasanya remaja delinkuensi ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan verbal (Wechsler, 1930). Mereka kurang toleran pada hal-hal yang ambigius. Pada galibnya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain, bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai “gambar cermin” dari diri sendiri.
2. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang delinkuensi dan memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada remaja delinkuen ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.
3. Perbedaan ciri karakteristik individual
Remaja yang delinkuen ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang misalnya,
a. Rata-rata remaja delinkuen ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
b. Kebanyakan dan mereka terganggu secara emosional.
c. Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu menyelami norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.
d. Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.
e. Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
f. Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
g. Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan jahat.
F. Bentuk Delinkuensi
Masyarakat memandang beberapa perilaku sebagai negatif, misalnya perilaku tersebut ilegal karena status usia yang masih muda, inilah yang disebut status offenses. Menurut Bynum & Thompson (2013) yang termasuk dalam status offenses meliputi di antaranya,
1. School truancy, yaitu membolos jam pelajaran, membolos sekolah, keinginan rendah untuk berada disekolah, tidak betah berada dikelas untuk mengikuti pelajaran dan mendengarkan guru.
2. The purcase and consumption of alcholic beverages, yaitu mengkomsumsi alkohol dan obat-obatan.
3. Knowingly associating with immoral persons, yaitu bergaul dengan penjahat dan ikut terlibat melakukan tindakan kriminal seperti penyerangan dan mencuri
4. Running away for home, yaitu keinginan yang rendah untuk berada di rumah, pergi dari rumah tanpa pamit dan tanpa batas waktu yang wajar.
5. Ungorvernabilitty,yaitu menentang aturan dan perintah orang tua.
6. Curvew violation, yaitu melanggar jam malam, keluar malam tanpa orang tua.
Dari berbagai sumber
Post a Comment